Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Kisah Kopi, Telur Mata Sapi dan Sebuah Negeri

7 September 2015   07:52 Diperbarui: 7 September 2015   09:59 3802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stefan Bleekrode/Odditycentral.com

Sebagaimana yang sudah diketahui, di desa ini, kami hanya punya Kopi dan Telur Mata Sapi. Setiap hari, tak kenal jeda, apalagi ganti, hanya ada Kopi dan Telur Mata Sapi. Oleh itu, setiap anak yang pergi ke sekolah tiada pernah bertanya “Ma, bekal apa hari ini ?” atau “Ma, Adek pengen makan ini, ini, ini”. Tidak ada menu, tidak ada pilihan. Hanya ada Kopi dan Telur Mata Sapi.

Makdarit—maka dari itu—tubuh kami tinggi sekali, selalu menjulang seperti hendak menarik matahari. Tubuh kami juga ringan, mudah sekali berpindah sana sini. Sayang, mata kami kuning dan bibir kami hitam. Sehingga kami menjadi obyek dari banyak tanda tanya, kalau bukan rasa asing dan ketakutan.

Beberapa kesadaran yang baru berkunjumg kesini buru-buru menduga sangka, “orang-orang disini mungkin keturunan pelarian dari negeri di atas angin, keturuan leluhur yang bergerak dari utara, terdampar, dan tak bisa pulang. Keturunan yang setia menyecap Kopi dan Telur Mata Sapi setiap pagi”.

Beberapa kesadaran yang baru berkunjung kesini juga tergesa-gesa mengurai jawab, “orang-orang disini mungkin buah dari eksperimen ‘manusia Unggul” namun salah eksperimentasi hingga harus diasingkan begini”.

Beberapa kesadaran yang baru berkunjung kesini juga terseok-seok menyusun kira, “orang-orang disini adalah hasil dari hubungan incest yang terkutuk, karena itu mereka bahkan gagal menjadi Makhluk!”.

Begitulah beberapa teori tentang kami, sebuah desa yang setiap hari hanya hidup dengan Kopi dan Telur Mata Sapi. Kau baca sendiri kan ? Paling kurang ada tiga teori, pertama, yang berpikir mereka sejarawan, kedua, yang berpikir mereka ilmuwan, yang terakhir berpikir, mereka kaum bermoral. Hahaha!, terlalu pintar terhadap kenyataan!

Kau mau tahu kisah sesungguhnya ?

Minumlah Kopi, barang seteguk dua teguk. Lalu dengarkan kisah ini.

Kami lahir dari satu negeri yang miskin inspirasi. Ini perkara pertama. Negeri yang setiap hari penguasanya memproduksi daur ulang mimpi-mimpi beku, mungkin juga mimpi dengan takdir gagal. Kebiasaan mereka hanyalah mengutip sana sini, suka sekali menjadi catatan kaki. Sejarah masyarakat memang sarat catatan kaki, tak jarang, dari situ semua hal besar dimulai penulisannya. Masalahnya di kami, catatan kaki itu disangka teks utama, lalu mereka sibuk tenggelam di dalamnya, jadi pengekor yang kukuh hati.

Lalu, yang kedua, kami lahir dari sebuah negeri yang menyembah puja-puji. Kerja sedikit, kisahnya selangit. Berhasil sedikit, ceritanya diulang-diulang, menyalakan kamera dimana-mana. Sering tidak lagi jelas di benak kami, mana dongeng, mana fakta. Naif! orang-orang dengan kerja hebat tidak menulis untuk menabung puja puji. Orang-orang hebat tidak bekerja untuk komitmen-komitmen kecil, untuk pamrih pribadi.

Terus, yang ketiga, kami lahir dari sebuah negeri yang suka nyinyir dan penggosip. Seolah yang lebih dulu keluar dari rahim Ibu adalah bibir. Kepala dingin jarang sekali digunakan. Bibir panas selalu yang diurapi, setiap hari dengan terasi. Makanya, di sini, sensasi mudah sekali memancing gonjang ganjing. Orang-orang suka sekali dengan kehebohan. Reproduksi pikiran dan sensasi tumbuh tanpa jeda dan jarak.

Selanjutnya, yang keempat, kami merasa kami semua adalah “guru”, tak ada lagi yang menjadi murid. Sehingga semua orang merasa diri pintar, saking pintarnya sampai merasa tahu urusan dalam celana orang lain. Kami tidak pernah lagi mau belajar, tidak pernah tahu gagal, tidak pernah mencoba bertindak keluar dari cara-cara lama. Kami mudah puas dengan apa yang ada.

Berikutnya, yang kelima, kami lahir dari sebuah negeri dimana berkata dan bertindak itu saling bercerai, kalau bukan malah berperang. Kami tidak mengenal sikap kukuh, apalagi zuhud (menentang kenikmatan duniawi). Tiba-tiba saja kami menjadi orang paling bermoral, menyumpahi sana-sini, dan merasa memiliki kunci masuk surga sementara saat yang sama kami menabung materi dari cara-cara mafia memperkaya diri: bisnis terlarang, membunuh, dan merampas hak-hak orang lain.

Keadaan terus berlangsung begitu, hingga datang malapteka besar yang melindas kami semua. Lima energi negatif itu bertumbukan dan menghasilkan kekacauan yang tiada pernah terbayangkan. Semua saling memakan, semua saling menghancurkan. Kami, yang selamat hari ini, hanya beruntung karena jauh dari epicentrum kehancuran itu.

Puncaknya, yang tersisa di hari penghakiman itu hanyalah sepasang ayam kampung dan sehektar kebun kopi dan dua orang suami istri yang hidup jauh di hutan.

Begitulah, kisah yang huru hara melanda negeri kami sehingga lahir generasi serupa begini : tinggi kurus menggapai langit dengan bibir yang hitam, karena hanya makan Telur Mata Sapi dan Kopi setiap hari. Sebelum huru hara, kami negeri yang punya apa saja, mau makan apa saja, bisa dibikin ada. Sekarang semua itu tinggal cerita, kadang-kadang lebih seperti dongeng.

Jadi, kawan, jika kau mengenali lima perkara tadi, kira-kira sajalah. Mungkin negerimu sedang berada pada track serupa kami: menjadi negeri dimana penduduknya tinggi kurus menggapai matahari, bibir selalu hitam dengan mata yang kuning serupa burung hantu. Ya itu tadi, karena pada kami tinggal punya Kopi dan Telur Mata Sapi di setiap bangun pagi.

----
[Sarapan Pagi Kepada Kabut Asap, September 2015]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun