Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Kisah Kopi, Telur Mata Sapi dan Sebuah Negeri

7 September 2015   07:52 Diperbarui: 7 September 2015   09:59 3802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terus, yang ketiga, kami lahir dari sebuah negeri yang suka nyinyir dan penggosip. Seolah yang lebih dulu keluar dari rahim Ibu adalah bibir. Kepala dingin jarang sekali digunakan. Bibir panas selalu yang diurapi, setiap hari dengan terasi. Makanya, di sini, sensasi mudah sekali memancing gonjang ganjing. Orang-orang suka sekali dengan kehebohan. Reproduksi pikiran dan sensasi tumbuh tanpa jeda dan jarak.

Selanjutnya, yang keempat, kami merasa kami semua adalah “guru”, tak ada lagi yang menjadi murid. Sehingga semua orang merasa diri pintar, saking pintarnya sampai merasa tahu urusan dalam celana orang lain. Kami tidak pernah lagi mau belajar, tidak pernah tahu gagal, tidak pernah mencoba bertindak keluar dari cara-cara lama. Kami mudah puas dengan apa yang ada.

Berikutnya, yang kelima, kami lahir dari sebuah negeri dimana berkata dan bertindak itu saling bercerai, kalau bukan malah berperang. Kami tidak mengenal sikap kukuh, apalagi zuhud (menentang kenikmatan duniawi). Tiba-tiba saja kami menjadi orang paling bermoral, menyumpahi sana-sini, dan merasa memiliki kunci masuk surga sementara saat yang sama kami menabung materi dari cara-cara mafia memperkaya diri: bisnis terlarang, membunuh, dan merampas hak-hak orang lain.

Keadaan terus berlangsung begitu, hingga datang malapteka besar yang melindas kami semua. Lima energi negatif itu bertumbukan dan menghasilkan kekacauan yang tiada pernah terbayangkan. Semua saling memakan, semua saling menghancurkan. Kami, yang selamat hari ini, hanya beruntung karena jauh dari epicentrum kehancuran itu.

Puncaknya, yang tersisa di hari penghakiman itu hanyalah sepasang ayam kampung dan sehektar kebun kopi dan dua orang suami istri yang hidup jauh di hutan.

Begitulah, kisah yang huru hara melanda negeri kami sehingga lahir generasi serupa begini : tinggi kurus menggapai langit dengan bibir yang hitam, karena hanya makan Telur Mata Sapi dan Kopi setiap hari. Sebelum huru hara, kami negeri yang punya apa saja, mau makan apa saja, bisa dibikin ada. Sekarang semua itu tinggal cerita, kadang-kadang lebih seperti dongeng.

Jadi, kawan, jika kau mengenali lima perkara tadi, kira-kira sajalah. Mungkin negerimu sedang berada pada track serupa kami: menjadi negeri dimana penduduknya tinggi kurus menggapai matahari, bibir selalu hitam dengan mata yang kuning serupa burung hantu. Ya itu tadi, karena pada kami tinggal punya Kopi dan Telur Mata Sapi di setiap bangun pagi.

----
[Sarapan Pagi Kepada Kabut Asap, September 2015]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun