***
Salah satu tantangan berat manusia adalah menjaga keseimbangan dirinya. Secara khusus, yakni merujuk pada kerja menyeimbangkan ketiga daya kerja kecerdasan agar optimal, Tentulah usaha demikian tidak cukup diserahkan kepada pribadi-pribadi, subyek-subyek hidup itu semata. Harus ada strategi sosial-budaya-moral kolektif yang ikut bekerja kondusif untuk mendukung mekarnya tiga potensi kecerdasan manusia tersebut.
Mengikuti pendasaran filosof Martin Heidegger, manusia itu seperti terlahir omelet, telur yang pecah berserakan, tidak berbentuk. Manusia tidak memiliki kemerdekaan memilih lahir seperti siapa dan hidup pada lingkungan seperti apa. Karena itu, sejak terlempar oleh proses penciptaan, ia harus menyusun sendiri jati diri dan daya kerja kecerdasan mengikuti rangkain pengamalan akan perjumpaan dengan yang lain, perjumpaan dengan kekelaman tragedi, perjumpaan dengan cinta kasih kebahagian, dan lain-lain perjumpaan. Manusia harus meramu segala jenis perjumpaan ini untuk mengukuhutuhkan dirinya.
Menurut saya, salah satu tantangan strategis kebanyakan orang tua adalah menjaga "kondisi omelet" dari anak-anaknya agar tidak menjadi busuk dan rusak tiada berguna. Yang ditantang kepada orang tua, termasuk orang dewasa di dalamnya, adalah menciptakan kondisi-kondisi produktif yang dapat menjadi konduktor bagi perkembangan dinamis dari daya kerja tiga kecerdasan, IQ, EQ, dan SQ. Menciptakan kondisi-kondisi produktif yang menstimuli pemekaran daya hidup akal budi dan kemanusiaan.
Jadi, jelas bagi kita semua, pada tanggung jawab yang seperti ini, menjadi orang tua bukan semata-mata berpengertian biologis. Menjadi orangg tua adalah juga menjadi generasi terdahulu yang tidak mewariskan sistem hidup yang buruk dimana anak-anak sebagai generasi penerus, tumbuh ke dalam kepribadian sub human dan sistem hidup yang mengawertkan dehumanisasi.
Menjadi orang tua adalah bekerja untuk menjaga peradaban dimana anak-anak adalah aset utamanya.
Salam.
Rujukan Berita