Anak-anak yang lahir di zaman reformasi, sebuah era digital lagi serba terbuka, dikepung bahaya dari mana saja.
Ada bahaya kekerasan fisik dan psikis di dunia pendidikan, ada bahaya kekerasan simbolik pada dunia kebudayaan, ada bahaya kekerasan seksual pada dunia pergaulan, dan, yang kembali terulang, bahaya kekerasan "darah daging" dari orang tua sendiri.
Pada kasus terbaru, kekerasan darah daging dari orang tua kandung sendiri, akal sehat publik kembali diguncangbanting. Pertanyaan yang serta merta muncul adalah bagaimana mungkin orang tua kandung yang dikabarkan berprofesi sebagai dosen tega melakukan itu ?. Jika pelakunya terbukti bersalah, maka sebagai seorang dosen yang dengan kata lain adalah juga pendidik di lembaga pendidikan tidak menjamin merupakan jiwa yang sama di dalam rumah terhadap anak-anaknya.
Berangkat dari kasus yang dilaporkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ini, terbersit satu pertanyaan yang terus menyasar nurani kita semua, bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi ?. Dimanakah akal sehat dan hati nurani sebagai orang tua difungsikan terhadap anaknya sendiri ?. Tanpa bermaksud memvonis pelaku yang masih dalam pemeriksaan polisi, saya berusaha mendiskusikan beberapa aspek yang kiranya relevan serta dapat memberi sedikit sudut pengertian terhadap kasus seperti ini.
Ketimpangan Daya Kerja Kecerdasan ?
Kasus ini seperti menunjukkan kepada khalayak bahwa struktur kecerdasan dalam diri manusia memang bersifat multiple. Ada yang mula-mula dikenal dengan Inteligence Quotient (IQ), lalu "ditemukan" lagi Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ). Secara umum, IQ menunjukkan daya kerja rasional, EQ menunjukkan daya kerja emosional, maka SQ menunjukan pada kerja kombanasi keduanya, meletakkan yang rasional dan emosional pada prinsip-prinsip luhur kehidupan dan kebahagian sejati.
Orang tua dari anak-anak yang ditelantarkan itu bisa jadi berada dalam ketimpangan daya kerja kecerdasan. Ketimpangan daya kerja kecerdasan seperti ini tentu saja tidak ditentukan secara determinatif oleh jenjang pendidikn formil. Dengan maksud lain, seseorang yang bergelar doktor dalam jenjang pendidikan formil, bisa saja merupakan seorang psikopat yang hidup bertetangga dengan lingkungan yang banyak anak-anaknya.
Dalam kasus di atas, posisi ekonomi yang mapan pun tak menjamin manusia tak jatuh pada kekacauan kepribadiannya sendiri. Kekacauan yang dapat membuat dirinya menjadi lebih bengis dari binatang atau, dalam bahasa filsafat, menjadi makhluk sub human.
Yang kiranya perlu diperhatikan, kondisi-kondisi yang mendegradasi manusia menjadi sub human bisa dikarenakan kombinasi banyak hal.
Apakah karena pengalaman hidup yang getir-traumatik, kepribadian yang sakit/terbelah (split personality),  atau justru karena proyek-proyek kekuasaan yangsecara ironis menjustifikasi proyeknya  dari aksi dehumanisasi. Kondisi-kondisi menyimpang seperti ini dapat berkontribusi dalam membentuk kepribadian yang jika tidak dapat disembuhkan, dapat melahirkan patologi perilaku sebagai kecenderuangannya.
Patologi perilaku seperti ini membutuhkan pendekatan khusus untuk memahami lingkungan tumbuh seperti apa yang menyebabkan orang tua menjadi sub human terhadap anak-anaknya sendiri.
***
Salah satu tantangan berat manusia adalah menjaga keseimbangan dirinya. Secara khusus, yakni merujuk pada kerja menyeimbangkan ketiga daya kerja kecerdasan agar optimal, Tentulah usaha demikian tidak cukup diserahkan kepada pribadi-pribadi, subyek-subyek hidup itu semata. Harus ada strategi sosial-budaya-moral kolektif yang ikut bekerja kondusif untuk mendukung mekarnya tiga potensi kecerdasan manusia tersebut.
Mengikuti pendasaran filosof Martin Heidegger, manusia itu seperti terlahir omelet, telur yang pecah berserakan, tidak berbentuk. Manusia tidak memiliki kemerdekaan memilih lahir seperti siapa dan hidup pada lingkungan seperti apa. Karena itu, sejak terlempar oleh proses penciptaan, ia harus menyusun sendiri jati diri dan daya kerja kecerdasan mengikuti rangkain pengamalan akan perjumpaan dengan yang lain, perjumpaan dengan kekelaman tragedi, perjumpaan dengan cinta kasih kebahagian, dan lain-lain perjumpaan. Manusia harus meramu segala jenis perjumpaan ini untuk mengukuhutuhkan dirinya.
Menurut saya, salah satu tantangan strategis kebanyakan orang tua adalah menjaga "kondisi omelet" dari anak-anaknya agar tidak menjadi busuk dan rusak tiada berguna. Yang ditantang kepada orang tua, termasuk orang dewasa di dalamnya, adalah menciptakan kondisi-kondisi produktif yang dapat menjadi konduktor bagi perkembangan dinamis dari daya kerja tiga kecerdasan, IQ, EQ, dan SQ. Menciptakan kondisi-kondisi produktif yang menstimuli pemekaran daya hidup akal budi dan kemanusiaan.
Jadi, jelas bagi kita semua, pada tanggung jawab yang seperti ini, menjadi orang tua bukan semata-mata berpengertian biologis. Menjadi orangg tua adalah juga menjadi generasi terdahulu yang tidak mewariskan sistem hidup yang buruk dimana anak-anak sebagai generasi penerus, tumbuh ke dalam kepribadian sub human dan sistem hidup yang mengawertkan dehumanisasi.
Menjadi orang tua adalah bekerja untuk menjaga peradaban dimana anak-anak adalah aset utamanya.
Salam.
Rujukan Berita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H