Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politik Relawan dan Tantangan Kekuasaan

25 April 2015   11:11 Diperbarui: 25 Oktober 2019   07:35 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pidato presiden Joko Widodo di acara KAA yang bernyali itu menuai kritik salah satu organisasi relawan.

Bukan karena isinya, tapi karena "penulis pidatonya". 

Di Kompas.com, dikatakan: "Jokowi bicara sebagai kepala negara. Kepala negara peserta KAA pun masih di sini. Kok sudah ngomong siapa penulis pidato?" ujar Ketua Umum Bara JP Sihol Manulang dalam siaran persnya, Kamis (23/4/2015). 

Lalu ada statement yang cukup keras dari Sihol yang bilang: "Kalaupun ada yang menuliskan pidato, pasti dia hanya membahasakan pemikiran Jokowi; bukan ada orang nulis, lalu Presiden baca. Janganlah menganggap diri hebat. Lingkaran Istana ini rupanya gemar bocor-bocoran ya," ujar Sihol. 

Isi berita yang lengkap dapat dibaca di  sini.

*** 

Beberapa dari kita yang membaca berita ini, mungkin merasa yang dilakukan Sihol sebagai salah satu koordinator relawan pemenangan Joko Widodo pada perhelatan pilpres kemarin terlalu berlebihan. 

Karena, naskah pidato itu tidak sekali ditulis lalu dibaca. Ada proses konsultasi, dimana ide-ide presiden didiskusikan dengan tim penyusun. 

Atau sebagaimana lazimnya mengerjakan "tulisan by order", tim penyusun harus mendapatkan pengarahan terlebih dahulu agar dapat memaknai garis-garis besar maksud presiden. Tidak usah gusar, orator hebat seperti Soekarno saja membutuhkan seorang Nyoto untuk naskah pidatonya, apalagi hanya seorang Joko Widodo yang tidak lahir dari tradisi pergerakan, debat dan rapat-rapat akbar politik. 

Jadi, pernyataan Sihol tidak perlu ditanggapi sekali pun menjadi berita paling populer di Kompas.com yang sudah dibaca 57,482 kali ketika tulisan ini disajikan. 

Kekhawatiran Sihol bahwa dengan menyampaikan siapa tim penyusun-pembuat pidato tersebut lalu sisi intelektualitas presiden jadi berkurang kadarnya sepertinya tidak signifikan dimunculkan kepada publik. Oleh karena itu, membicarakan pidato dan pembuatnya tidak lagi relevan. 

Melampaui polemik pidato Joko Widodo, saya lebih menangkap pernyataan Sihol dalam posisi sebagai relawan adalah pernyataan yang mencerminkan kondisi ruang dalam yang mungkin lebih kompleks. 

Kondisi "ruang dalam" itu bisa saja kita maknai sebagai suasana ruang batin mau pun dinamika wacana di dalam jaring relawan itu sendiri. 

Sebagaimana sudah banyak diulas-sampaikan, politik relawan dinilai baru muncul pada pilpres 2014 kemarin. Atmosfir pertarungan yang bipolaristik dan ditafsir sebagai bentuk representasi pertempuran kekuatan lama/status quo versus representasi kekuatan baru/pembaharuan menjadi salah satu katalisator terbentuknya politik relawan. 

Ditambah lagi, gerak digitalisasi ke dalam demokrasi paska Cold War melalui jaringan internet membuat politik relawan seolah "omni present dan deformatif serta memiliki kapasitas yang cukup efektif dalam mempengaruhi opini dan pilihan politik masyarakat luas". 

Persoalan yang muncul kemudian paska-memenangkan pertarungan politik sepertinya klasik. 

Bagaimana mengawal pemerintahan yang dimenangkan tadi? Apakah ikut terlibat di dalam kekuasaan atau menjadi pengawal kebijakan?

Politik Relawan Dan Tantangan Kekuasaan 
Secara generik, menyebut relawan atau kerelawanan adalah menyebut sesuatu yang selain sukarela juga spontan. Kerelawanan juga lahir dari kehendak untuk terlibat tanpa pamrih. Kehendak untuk terlibat tanpa imbalan materi, tanpa puja-puji, dan lain sejenisnya. 

Kerelawanan adalah spontanitas yang lahir dari pilihan-pilihan yang sudah dipikirkan. Dalam aksi-aksi sosial kemasyarakatan, sikap-sikap kerelawanan jauh lebih tua dibentuk. Ia telah menjadi sub kultur dalam komunitas-komunitas tertentu. Komunitas-komunitas seperti ini, yang memelihara sikap-cara hidup kerelawanan bisa juga dipandang sebagai bagian dari entitas di ranah Civil Society.

Mereka eksis di luar negara dan keluarga, namun bertindak kolektif untuk kepentingan publik. Mereka bisa sangat cair atau tumbuh dalam kelompok-kelompok kecil berjejaring dan bisa tidak terduga. Yang juga penting diperhatikan, aksi kerelawanan dalam dunia sosial cenderung menghindari politik kalau bukan malah "anti-politik". 

Beda urusannya jika kita memperluas aksi kerelawanan ke dalam politik. 

Dalam bahasa lain, menggunakan strategi kerelawanan ke dalam pertarungan politik yang sarat dengan negoisasi kepentingan ketimbang negoisasi nilai. Di sinilah,  ketika mewujud di dalam pertarungan politik, kerelawanan itu sendiri menjadi problematik. 

Ada tantangan kekuasaan yang tidak mudah dinafikan. Saya berusaha menginventarisir beberapa tantangan tersebut. 

Tantangan itu adalah, pertama, dinamika politik dalam bentuk apa pun, entah demokratis atau otoriter, nasional atau lokal, tidak pernah melepaskan diri dari kaidah siapa melakukan apa dan siapa mendapat apa? Saya merasa, kehadiran politik relawan sepertinya juga masih terjebak pada kaidah tua tersebut.

Kerelawanan yang seharusnya tanpa pamrih, tanpa kepentingan politik, mau tidak mau ikut terpengaruh. Ini bukan semata urusan berbagi kue, tetapi yang kiranya prinsipil adalah bagaimana mengawal kepentingan nilai pada kandidat politik yang sudah dimenangkan?

Sejauhmana kerelawanan itu tetap bisa bekerja di ranah masyarakat sipil untuk menjaga perjuangan nilai itu terwujud dalam skala kecil dan lambat ataukah mengambil posisi kekuasaan pada badan-badan negara yang lebih kuat secara sumberdaya, politik pun organisasional dan memungkinkan dorongan perubahan lebih cepat terwujud? 

Tantangan kedua, bagaimana mendefinisikan satu kepentingan nilai bersama, Common Value's, di dalam tubuh jejaring relawan tersebut sementara kelahirannya disyaratkan oleh inisiatif-inisiatif spontan dan "bebas". Kerelawanan dalam politik tidak muncul dari perdebatan ideologis yang rumit.

Ada beberapa kelompok yang mungkin menggunakan dalih dan interest ideologis, tapi saya kira, kebanyakan tidak. 

Karena itu, tantangannya, apakah ikatan atas nilai-nilai yang diyakini bersama adalah persoalan tersendiri yang harus direkatkan ataukah justru berkembang sendiri-sendiri? Tanpa memiliki rujukan nilai bersama yang menjadi "Ideal Type" mereka dalam berpolitik, aksi kerelawanan menjadi serakan-serakan yang bergerak seolah tanpa tujuan kolektif. 

Maka, pertanyaannya adalah sejauhmana mereka memiliki kemampuan memberi makna yang lebih substantif terhadap demokrasi dalam model gerak yang demikian?

Tantangan ketiga, sepertinya ada kebutuhan di masyarakat luas yang harus dipasok dari kehadiran politik relawan. Kebutuhan ini tidak lagi bisa diharapkan oleh infrastruktur politik yang dimiliki oleh partai-partai. 

Spesifiknya, kebutuhan itu adalah sejenis pendidikan politik yang mencerdaskan dan memberi opsi-opsi yang lebih rasional dari aksi politik relawan ketimbang digarap oleh aparatus partai politik. 

Pada konteks ini, kita akan mendiskusikan daya tahan, sumberdaya, juga konsistensi dalam melampaui peristiwa-peristiwa politik harian oleh karena mengikuti desain politik jangka panjang atau justru sibuk berjibaku di dalamnya. 

Dengan kata lain, orientasi politik relawan bukanlah menyusun sistem yang melahirkan pemimpin hebat, tetapi justru berjibaku dalam pertarungan harian dalam pilihan Baik atau Buruk, God or Evil. 

(Padahal) Tantangannya adalah kerelawanan yang terbuka, spontan, cair, dan bergerak itu bekerja membangun satu sistem atau hanya bergerak untuk koreksi-koreksi artifisial semata sementara pada saat yang sama, ada kebutuhan dan pengharapan kepada jenis gerakan seperti ini dalam mengimbangi gerak politik formal dari partai-partai yang melakukan pembusukan terhadap politik? 

Penutup 

Demikianlah beberapa tantangan yang coba saya inventarisir. Barangkali bisa menyumbang gagasan pada diskusi tentang demokrasi dan politik relawan. 

Salam!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun