Sederhananya Ritzer hendak mengatakan bahwa telah tumbuh sistem dan praktik konsumsi dimana manusia berhubungan dengan instrumen-instrumen teknologi non manusia dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Situasi interaksi yang demikian, interaksi yang anonim, menjauhkan manusia dari interaksi yang subyektif, face-to-face, dan langsung dengan sesamanya.Â
Dahulu, jika berbelanja ke pasar, jika hendak membeli sayur kita akan ketemu langsung dengan petani yang menanamnya, lantas terjadi transaksi jual beli. Perlahan situasi itu bergerser, petani tak lagi hadir sebagai penjual. Telah ada pedagang yang membeli produk pertanian itu sebelum sampai ke pasar yang kita kunjungi.Â
Walau telah begitu, jika hendak belanja, kita tetap saja mengalami interaksi sosial yang langsung dan subyektif sebagaimana situasi pasar tradisional.Â
Di dunia sosial sekarang, diperkotaan utamanya, orang membeli sayur di swalayan, mall, atau pasar modern lainnya. Pembeli tidak lagi dilayani penjual, pembeli melayani dirinya sendiri, membawar di kasir, terus cepat-cepat pulang. Anda mungkin akan ketemu pelayan, tetapi pelayan telah bekerja menurut prosedur pelayan tertentu. Sangat efektif dan efisien.
Penciptaan kontrol efektif dan efisien inilah yang memang diinginkan oleh instrumen-instrumen non manusia itu. Pada mulanya prinsip efektifitas dan efisiensi hanya bekerja dalam mesin ekonomi (kapitalisme), dengan kepentingan kontrol, akumulasi dan profit. Dalam perkembangannya, prinsip ini, yang disebut rasionalitas instrumental-teknologis oleh Herbert Marcuse dari sekolah Frankfurt, menjadi prinsip dominan dalam penataan dan perubahan masyarakat. Inilah konteks dehumanisasi dari masyarakat yang makin ter-teknologisasi secara global. Kata Mercuse, inilah ketertindasan yang sangat lembut, bahkan membuat si tertindas merasa nyaman dalam ketertindasannya (?).
Ritzer juga menyusun kontinuum, yang ditiap ujungnya berkelompok dua hal, yaitu kehampaan dan keberadaan.Â
Pada gugus kehampaan, didalamnya terdapat bukan tempat (non-places), bukan pelayanan (non-services), bukan orang (non-human) dan bukan benda (non-things). Sebaliknya pada gugus keberadaan, terdapat didalamnya tempat (places), orang (human) benda (things) dan pelayanan (services).Â
Dengan demikian, hubungan antara keberadaan dengan kehampaan adalah hubungan saling pengaruh dan bersifat transformatif. Saling pengaruh bermakna bahwa segala aktifitas pada gugus keberadaan akan memberi proses pada jenis kehampaan, pun jika terjadi proses yang sebaliknya. Transformatif berarti hubunganga keduanya cenderung berkembang menjadi jenis hungan yang secara kualitas makin khas dan kompleks.
Dalam kasus berbelanja dipasar, kita jelas menghadiri tempat yang namanya pasar. Tempat itu disebut pasar, bukan karena gedung atau bangunannya. Dalam bentuknya yang dulu, pasar justru tidak bergedung, tidak berbarak-barak. Pasar dulu, dan sebagian pasar tradisional sekarang, bukan saja ruang ekonomi, tetapi juga sebuah ruang yang menjadi bagian dari sejarah suatu masyarakat.Â
Misalnya saja keberadaan pasar Sembilan (9), di daerah jalan Samrat, dekat toko Akbar Ali, dia bukan saja pasar dalam arti ekonomi. Pasar sembilan, jika anda mau mendengarkan sejenak kesaksian orang-orang tua generasi kedua disitu, sekaligus menjadi ruang pertemuan kultural antara petani (datang dari daerah pegunungan Minahasa) dengan nelayan (umumnya etnik Gorontalo dan Sangihe).
 Dalam berkembangan yang paling kompleks, terjadilah proses kawin mawin dan pembentukan kampung-kampung yang diidentifikasi menurut etnik. Dalam konsepsi Ritzer, pasar jenis ini, mewakili gambaran dari keberadaan, yaitu bentuk sosial yang tidak tersusun dalam kontrol terpusat dan memiliki makna (substansi) lokalnya yang khas dan khusus.Â
Kata Ritzer, keberadaan adalah sebuah bentuk sosial yang umumnya disusun, dikontrol secara asli, dan termasuk kaya dalam muatan substansinya yang berbeda (hal 9).
Kehampaan muncul dalam bentuk sosial yang disusun, terkontrol dan tak memiliki isi substantif (maknawi) yang khusus. Pasar supermodern, semisal Hypermart dan Giant, memiliki jaringan hampir disemua kota-kota besar di Indonesia. Di Jakarta saja kita bisa menemukan bukan satu Hypermart, demikian juga Giant.