George Ritzer, sosiolog kontemporer Amerika, yang termasyur dengan tesisnya Mcdonaldization of Society (diterbitkan Pustaka Pelajar tahun 1999), memberi kita tambahan perspektif kritis terhadap globalisasi.
Ada penulis yang mendekati globalisasi dalam sudut pandang ekonomi dan politik, semisal Coen Pontoh (Akhir Globalisasi, 2002), William Tabb (Tabir Politik Globalisasi, 2001), dan Walden Bello (De-Globalisasi,2004). Atau, seperti sosiolog Anthony Ginddens penulis 'The Third Way' yang termashyur itu, misalnya, melihat globalisasi dalam analogi ‘Juggernaut’, sebuah truck besar yang sedang melintas dan menghajar apa saja yang dilewati. Giddens menyebut itu sebagai gejala dari dunia yang berlarian (Runaway World, 2002).
Juga ada penulis yang melihat globalisasi sebagai globalisme, semisal Martin Steeger (2004) yaitu sebuah dunia makna, sistem pemikiran, juga nilai-nilai yang merepresentasi satu kawasan peradaban tertentu (khususnya AS dan Eropa) dan sedang dieksport kemana saja. Ada juga penulis yang melihat Globalisasi sebagai kontinuitas dari sistem dan praktik imperialisme global terhadap dunia ketiga hingga hari ini.
Karena itu mesti ada pula perlawanan global (global resistance) seperti yang tercermin dalam pemikiran James Petras, sosiolog yang mengamati perkembangan gerakan kiri dan indegenous movement di Amerika Latin.
Tentu banyak sikap dan sudut pandang terhadap fenomena globalisasi. Mereka yang menyanjungnya secara berlebihan, seperti Milton Friedman dan Friederich Hayek, mempercayai betul bahwa globalisasi (pasar bebas) akan membawa kemakmuran ekonomi, integrasi peradaban, dan penghargaan akab potensi manusia (individu) yang jauh lebih baik. Mereka disebut sebagai Hyper-Globalist. Termasuk juga para ekonom, praktisi perbankan, investor dan pemain valas yang dikelompokkan George Soros sebagai fundamentalis pasar.
Sedangkan para penulis dan judul buku yang telah disebutkan diatas pun tak sama orientasinya. Ada dari mereka yang menentang frontal globalisasi, yang dinilai hanya melayani kepentingan kapitalisme (neo-liberalisme) dan negara-negara maju. Mereka menawarkan tata dunia baru yang ‘terbalik’ dari skenario globalisasi yang sering dikampanyekan dalam kalimat the Another World is Possible guna melawan propaganda the World is Flat (Hayek) maupun TINA : There Is No Alternatif (Margareth Tharcher).
Globalisasi sebagai modus Meng-ekspor Kehampaan
Ritzer tetap hadir dengan perspektif sosiologi kritis terhadap globalisasi. Dalam pada itu, Ritzer melihat globalisasi dari sudut pandang sistem konsumerisme global dan praktik konsumsi turunannya, yang mula-mula khas Amerika, lantas dipompa meluas ke seluruh penjuru dunia. Contohnya adalah, bisnis makanan cepat saji (fast-food) dan penggunaan kartu credit (credit card) mula-mula berkembang di masyarakat Amerika.
Sekarang kita bisa menemukan gerai makanan cepat saji dimana saja, seperti Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, dan terutama, gerai Mcdonald. Termasuk juga penggunaan kartu kredit, Visa dan Mastercard, pada mulanya ditemukan dipertengahan abad 20 di Amerika Serikat. Kartu kredit memungkinkan orang belanja tanpa membawa buntelan uang tunai, sebagai cara berhutang yang mewah. Kiranya dua gejala diatas bukanlah berkembang sebatas praktik konsumsi saja, tetapi juga telah menjadi ideologi dari gaya hidup tertentu.
Terhadap gejala diatas, Ritzer menyebut dunia sosial (dunia bersama manusia) sedang mengalami peningkatan kehampaan. Kehampaan menunjuk pada sebuah bentuk dunia sosial yang umumnya disusun, dikontrol secara terpusat, dan termasuk tanpa isi substantif yang khusus. Dalam kasus pengguna kartu kredit, yaitu pada kasus penawaran yang tidak diminta terhadap pengguna kartu kredit, Ritzer menggambarkannya seperti ini:
“ Dalam hubungannya dengan definisi yang ditawarkan diatas, penawaran ini adalah kehampaan karena disusun dan dikontrol secara terpusat dan tidak ada perbedaan isi dalam undangan ini-ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan pemegang kartu potensial menerima undangan yang persis sama dalam kotak pos mereka. Bahkan jika pemegang kartu kredit potensial dikelompokkan kedalam kategori-kategori berdasarkan penilaian peringkat kredit mereka, tiap kelompok menerima undangan yang sama dengan batasan kredit yang sama”.
Dalam kasus Amerika Serikat, sebagai contoh peningkatan konsumsi itu terlihat pada pengguna kartu kredit. Penggunaan kartu kredit sebagai alat transaksi memang meningkat pesan dan cenderung akan terus naik. Penggunaan sejumlah kartu kredit utama (misalnya Visa dan Mastercard) meningkat dari 213 juta (1990) menjadi 419 (1999), dan diprediksikan akan naik menjadi 502 juta (2005).
Jumlah hutang kartu bank nasabah-nasabah Amerika tumbuh dari $ 2,7milyar (1986), menjadi $154 milyar (1990). $430 milyar ditahun 1998 dan diprediksikan akan mencapai $615 milyar ditahun 2005. sementara untuk pengeluaran dengan menggunakan kartu kredit bank naik dari $ 213 juta (1990) menjadi $ 830 juta (1998) dan diprediksikan akan menjadi $ 1,457 juta (2005).
Sederhananya Ritzer hendak mengatakan bahwa telah tumbuh sistem dan praktik konsumsi dimana manusia berhubungan dengan instrumen-instrumen teknologi non manusia dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Situasi interaksi yang demikian, interaksi yang anonim, menjauhkan manusia dari interaksi yang subyektif, face-to-face, dan langsung dengan sesamanya.
Dahulu, jika berbelanja ke pasar, jika hendak membeli sayur kita akan ketemu langsung dengan petani yang menanamnya, lantas terjadi transaksi jual beli. Perlahan situasi itu bergerser, petani tak lagi hadir sebagai penjual. Telah ada pedagang yang membeli produk pertanian itu sebelum sampai ke pasar yang kita kunjungi.
Walau telah begitu, jika hendak belanja, kita tetap saja mengalami interaksi sosial yang langsung dan subyektif sebagaimana situasi pasar tradisional.
Di dunia sosial sekarang, diperkotaan utamanya, orang membeli sayur di swalayan, mall, atau pasar modern lainnya. Pembeli tidak lagi dilayani penjual, pembeli melayani dirinya sendiri, membawar di kasir, terus cepat-cepat pulang. Anda mungkin akan ketemu pelayan, tetapi pelayan telah bekerja menurut prosedur pelayan tertentu. Sangat efektif dan efisien.
Penciptaan kontrol efektif dan efisien inilah yang memang diinginkan oleh instrumen-instrumen non manusia itu. Pada mulanya prinsip efektifitas dan efisiensi hanya bekerja dalam mesin ekonomi (kapitalisme), dengan kepentingan kontrol, akumulasi dan profit. Dalam perkembangannya, prinsip ini, yang disebut rasionalitas instrumental-teknologis oleh Herbert Marcuse dari sekolah Frankfurt, menjadi prinsip dominan dalam penataan dan perubahan masyarakat. Inilah konteks dehumanisasi dari masyarakat yang makin ter-teknologisasi secara global. Kata Mercuse, inilah ketertindasan yang sangat lembut, bahkan membuat si tertindas merasa nyaman dalam ketertindasannya (?).
Ritzer juga menyusun kontinuum, yang ditiap ujungnya berkelompok dua hal, yaitu kehampaan dan keberadaan.
Pada gugus kehampaan, didalamnya terdapat bukan tempat (non-places), bukan pelayanan (non-services), bukan orang (non-human) dan bukan benda (non-things). Sebaliknya pada gugus keberadaan, terdapat didalamnya tempat (places), orang (human) benda (things) dan pelayanan (services).
Dengan demikian, hubungan antara keberadaan dengan kehampaan adalah hubungan saling pengaruh dan bersifat transformatif. Saling pengaruh bermakna bahwa segala aktifitas pada gugus keberadaan akan memberi proses pada jenis kehampaan, pun jika terjadi proses yang sebaliknya. Transformatif berarti hubunganga keduanya cenderung berkembang menjadi jenis hungan yang secara kualitas makin khas dan kompleks.
Dalam kasus berbelanja dipasar, kita jelas menghadiri tempat yang namanya pasar. Tempat itu disebut pasar, bukan karena gedung atau bangunannya. Dalam bentuknya yang dulu, pasar justru tidak bergedung, tidak berbarak-barak. Pasar dulu, dan sebagian pasar tradisional sekarang, bukan saja ruang ekonomi, tetapi juga sebuah ruang yang menjadi bagian dari sejarah suatu masyarakat.
Misalnya saja keberadaan pasar Sembilan (9), di daerah jalan Samrat, dekat toko Akbar Ali, dia bukan saja pasar dalam arti ekonomi. Pasar sembilan, jika anda mau mendengarkan sejenak kesaksian orang-orang tua generasi kedua disitu, sekaligus menjadi ruang pertemuan kultural antara petani (datang dari daerah pegunungan Minahasa) dengan nelayan (umumnya etnik Gorontalo dan Sangihe).
Dalam berkembangan yang paling kompleks, terjadilah proses kawin mawin dan pembentukan kampung-kampung yang diidentifikasi menurut etnik. Dalam konsepsi Ritzer, pasar jenis ini, mewakili gambaran dari keberadaan, yaitu bentuk sosial yang tidak tersusun dalam kontrol terpusat dan memiliki makna (substansi) lokalnya yang khas dan khusus.
Kata Ritzer, keberadaan adalah sebuah bentuk sosial yang umumnya disusun, dikontrol secara asli, dan termasuk kaya dalam muatan substansinya yang berbeda (hal 9).
Kehampaan muncul dalam bentuk sosial yang disusun, terkontrol dan tak memiliki isi substantif (maknawi) yang khusus. Pasar supermodern, semisal Hypermart dan Giant, memiliki jaringan hampir disemua kota-kota besar di Indonesia. Di Jakarta saja kita bisa menemukan bukan satu Hypermart, demikian juga Giant.
Tentu saja ada jaringan manajemen dan kepemilikan yang mengontrol dan menerapkan prosedur kerja termasuk pelayanan yang sama bagi para karyawan. Hypermart bukan saja menjual makanan jadi, sayur-sayuran atau daging mentah. Bahkan binatang hidup (kambing misalnya) pun turut dijual. Seolah memberi pesan bahwa segala hal yang anda butuhkan, dari yang hidup sampai mati, yang segar sampai kalengan, produk Amerika sampai produk petani di ujung desa ada disini.
Walau sedahsyat itu, Hypermart dan Giant bukanlah pasar, dalam artian dia bukan tempat (non-places) dalam konsepsi Ritzer, karena itu posisinya ada dalam gugus kehampaan (nothing). Anda hanya datang untuk berbelanja, dilayani oleh pelayan yang hanya melayani anda dengan prosedur tertentu, membayar (tunai ataupun kartu kredit), terus pulang.
Semua harga telah ditentukan, tempat barang-barang yang anda butuh telah dikelompokkan, dan temapt pembayaran telah disediakan. Dimana-mana, apapun jenis dan skalanya, pasar modern dan supramodern, tak ada bedanya. Serba seragam dan dikontrol oleh jaringan kepemilikan yang tunggal. Dia tak memiliki makna lokal yang khusus, tetapi secara tepat mewakili rezim konsumsi global.
Kehampaan sedang diproduksi, dan marak dieksport lantas ditiru dibanyak negeri-negeri berkembang. Kota-kota di Indonesia saja hampir tak ada yang luput dari proses eksport itu. Dari Jayapura hingga Jakarta anda bisa melihat gerai-gerai makanan fast-food dipinggiran jalan dan di pusat perbelanjaan besar.
Anda pasti akan melihat bangunan-bangunan besar Hypermart dan Giant, juga swalayan kecil lainnya. Anda tak akan menemukan perbedaan yang khas dari tiap gerai fast-food dan tiap supermall, selain gedung dan isinya. Anda akan menemukan pelayan dengan serangam yang sama dan cara melayani yang sama. Anda juga akan menemukan barang-barang yang sama disetiap jaringan tokonya, yang bukan dari tangan kotor petani, nelayan, atau produsen lainnya. Semuanya menjalankan rasionalitas instrumental-teknologis. Tak ada yang substantif, tak ada makna khusus dari perjumpaan itu.
Dalam konteks ini, jelaslah, maka globalisasi kehampaan adalah meng-Globalnya bentuk-bentuk sosial yang disusun, dikontrol, dan tak memiliki isi substansi (maknawi) yang khusus dalam hubungan-hubungan sosial manusia. Kehampaan terutama sekali dicirikan dalam mode konsumsi masyarakat dunia. Sebelumnya, Karl Marx juga telah menunjukan itu. Dalam konsepsi Marx, situasi ini disebut keterasingan (alienasi), dan akarnya berada dalam mode produksi ekonomi yang digerakkan kepemilikan pribadi.
Kehampaan berkaitan dengan empat hal jika kita berinteraksi, atau melakukan aktivitas konsumsi melaluinya, yaitu, bukan tempat (non-places), bukan benda (non-things), bukan pelayanan (non-services) dan bukan orang (non-human). Jika masuk didalamnya, maka kita akan bergabung dalam dunia sosial yang disusun, dikontrol, dan tak memiliki substansi yang berbeda dan kaya.
Dari logika tafsir yang demikian, Ritzer menggambarkan dua gejala yang merupakan resultante dari perjuampaan antara globalisasi dan lokalitas. Pertama, adalah Glokalisasi, dimana globalisasi akan terus berdialektika dengan unsur-unsur lokal, sehingga proses globalisasi itu tak sepenuhnya sama ditiap tempat, termasuk terhadap juga jenis dan derajat keberadaan (something) dan kehampaan (nothing). Kedua, adalah gejala Grobalisasi, sebuah proses pertumbuhan (ekonomi) terus-menerus dari (penguasa) lokalitas dalam tata dunia pasar bebas kompetitif dan melindas apa saja batas-batas yang mengkerangkengnya.
Refleksi Akhir
Gambaran diatas adalah sekelumit pemikiran dari buku George Ritzer, yang sudah ditejemahkan dengan judul The Globalization of Nothing : Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi (Universtias Atmajaya Yogyakarta, 2006). Tentu saja akan lebih memperkaya wawasan jika kita membaca langsung bukunya.
Buku ini bisa membantu kita untuk mengembangkan sikap kritis terhadap segala sesuatu yang terlihat 'wow' dalam mantra besar Globalisasi.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H