Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masjid Vs Televisi; Kisah Kerisauan Moral

5 Maret 2015   07:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:09 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14255211212086782908

[caption id="attachment_400963" align="aligncenter" width="680" caption="Sumber: Kompas.com"][/caption]

Tahun 2012.

Suatu Jumat di Manado, hampir seminggu sesudah Idul Fitri. Tulisan ini kisah tentang sebuah khutbah yang telah mencoba untuk masuk dalam permasalahan yang tidak sederhana dengan caranya yang mungkin membuat bosan. Tulisan ini juga mungkin tentang diskusi tentang moralitas yang tidak formal, lebih pada ranah kultural.

Sang Khatib memulai dengan merumuskan masalah keumatan hari ini dengan adanya bahaya besar dalam wujud gelombang yang berpotensi menghancurkan tatanan moral, yang menjauhkan umat dari ajaran agama (baca : Quran dan Sunnah Rasul).

Bahaya ini, demikian lanjut sang Khatib, terpancar dari realitas tontotan dengan penggerak utamanya adalah televisi. Televisi tidak lagi menjadi penyampai pesan yang mengajarkan teladan dan nilai-nilai yang baik bagi masyarakat penonton. Ia justru menjadi negavitas yang tak lagi mengabaikan batas moralitas,eh, malah aktif mendestruksinya. Sang Khatib menyebut sinetron sebagai salah satu contoh termaju untuk kasus ini.

Dalam daya sihir sinetron, jika kita bisa menyebutnya demikian, posisi dan penghargaan terhadap para ulama (mereka yang menjadi teladan moral) tengah turun kelas, kaum ulama tak lagi dihormati sepantasnya. Perilaku yang dahulu ditabukan, kini diperlakukan sebagai keumuman yang wajar, bahkan juga seharusnya sebagaimana berpacaran gaya SMA ala sinetron televisi. Televisi juga menayangkan jenis sinetron yang secara vulgar menampilkan kekerasan dan pembalasan dendam. Anak-anak, remaja, dan tak terkecuali kaum ibu, termakan oleh jejaring provokasi industri tontonan. Mereka lebih hafal nama-nama artis dan jam tayang sinetron ketimbang nama Guru Ngaji dan jadwal sholat lima waktu.

Sang Khatib mengkritik ini dengan menyebutnya sebagai gelombang besar penghancuran tata moral masyarakat ditandai dengan kecenderungan pada penyimpangan perilaku secara massal yang dilakukan terbuka, dan, akibatnya terjadi penjauhan umat dari tuntutan dan tuntutan kitab sucinya. Ini bahaya besar bagi agamawan dan umatnya (Islam). Inilah wujud dari jahiliyah modern itu.

Demikian intisari khotbah sang Khatib.

Masjid : Makna dan Arena

Secara religio-kultural, kita dapat memposisikan masjid sebagai ‘rumah makna’. Jika kita setuju bahwa agama memiliki fungsi sebagai tudung suci (sacred canopy, teori dari sosiolog Peter Berger), maka mesjid mewakili wujud fisik dari kehadiran tudung suci ini. Secara structural-fungsional, mesjid merupakan bagian dari gugus institusi agama, arena dimana nilai, norma, pengetahuan, laku harian dipraktikkan terus menerus. Dalam posisinya yang seperti ini maka mesjid juga merupakan unit dari penegasa identitas keagamaan, perawatan solidaritas (ukhuwah) dan kritik terhadap sesuatu yang dinilai ‘bermasalah’ di masyarakat luas.

Dalam riwayat tentang hubungan masjid, masyarakat dan peradaban Islam, Quraish Shihab mengatakan sekurangnya terdapat sepuluh fungsi dari mesjid, yakni sebagai (1), tempat ibadah, (2), tempat pendidikan, (3), santunan social, (4), menawan tahanan, (5), pengobatan para korban perang, (6), aula dan tempat menerima tamu, (7), perdamaian dan pengadilan sengketa, (8), pusat penerangan dan pembelaan Islam, (9), latihan militer dan persiapan peralatannya, dan (10), komunikasi dan konsultasi ekonomi, sosial dan budaya. (Majalah Risalah Nahdlatul Ulama, No 33/Tahun IVI/1433 H/2012).

Dari kesepuluh fungsi yang dirangkum Quraish Shihab diatas tergambar bahwa sejarah masjid tidak dibangun dari menegakkan urusan-urusan peribadatan umat saja. Namun juga terlihat jika mesjid juga memiliki fungsi pendidikan, pengadilan, pemerintahan hingga persiapan perang. Wajar jika dikatakan bahwa masjid merupakan soko guru peradaban Islam. Nahdlatul Ulama, dalam majalah yang sama, juga menegaskan jika masjid bukan sebatas rumah ibadah dalam konteks menyembah Tuhan semata (amal saleh perorangan, fardiyah). Masjid juga merupakan tempat menunaikan amal saleh kolektif (ijtimaiyah). Visi normative-kultural ini menegaskan bahwasanya mesjid akan selalu berposisi sebagai bagian terdepan (avant garde) membangun jejak peradaban Islam.

Tentu saja kehadiran mesjid berikut visi sosio-kulturalnya tidaklah berlangsung dalam ruang hampa. Maksudnya adalah kehadiran masjid sebagai institusi juga disertai kehadiran institusi yang lain, selain dari agama yang lain, juga dari institusi semisal adat dan pendidikan. Dalam system social, mereka berfungsi sebagai sub-sistem yang menjaga keberlangsungan tatanan. Posisi sebagai sub-sistem ini menggambarkan setidaknya beberapa pengertian berikut.

Pertama, bahwa masjid dalam proses kerja membentuk masyarakat akan selalu berdialektika dengan institusi lain (misalnya ajaran sosial Gereja) yang memiliki visi sejenis. Pada ruang demikian, selalu akan terjadi dinamika petukaran, harmonisasi atau konflik.

Kedua, umat, jamaah atau masyarakat yang menjadi agen/subyek sekaligus juga obyek yang menjadi sasaran dari bekerjanya fungsi-fungsi masjid diatas akan dipertemukan dengan ruang jumpa yang kaya dengan nila-nilai yang dieksternalisasi institusi yang lain. Makna dari pertukaran dan dialog dilevel komunitas akan dieksperimentasikan disini.

Ketiga, cara berfikir dan sikap para pemimpin agama akan sangat menentukan sejauh mana masjid atau institusi dengan visi sejenis ( : menjaga berseminya ayat-ayat Tuhan dimuka bumi). Apakah perjumpaan itu dimakna sebagai kekayaan hidup bersama atau ancaman akan sangat ditentukan oleh mereka ini.

Yang kita hendak pertegas disini adalah arena sosiologis dimana mesjid hadir dalam masyarakat juga  harmoni dan konflik yang terjadi dalam arena itu. Jika kita menyimak khutbah jumat diatas, ada kesan kuat kerisauan tanda dari pertentangan nilai. Terutama kerisauan tentang moralitas, laku hidup masyarakat dan posisi ulama/agamawan. Kerisauan yang tercermin dari pemberitahuan bahwa sekarang telah hadir institusi pengangkut nilai baru yang disebut media massa. Media massa sebagaimana mesjid juga merupakan unit yang mewakili sistem yang lebih besar dan kompleks. Ia membawa agama baru, agama yang menggabungkan kekuatan teknologi dan informasi sekaligus hasrat dan sensasi.

Masjid versus Televisi : Dua Dunia Bertengkar

Masjid mewakili kehendak dan kehadiran dari sistem makna, laku penghayatan, juga usaha menghadirkan dunia yang sesuai, yakni dunia yang berpayung pada tata nilai suci (sacred value’s); ia adalah referensi bagi tindakan. Disini eksistensi manusia dihadirkan, diujicobakan hingga saatnya tiba tujuan eskatologisnya : kembali bersatu dengan sang Maha Pemilik Dunia. Disini terdapat konsep yang merumuskan peranan individu, kewajiban dan hukuman, juga janji suci akan kehidupan yang lebih baik.

Jika kita bersetuju bahwa episode sejarah yang kini sedang dilewati umat manusia abad XXI adalah episode kuasa informasi maka kita juga bersetuju makna penting media massa sebagai unit yang memiliki kemampuan membentuk kesadaran manusia. Media massa juga mewakili kehadiran dari sosok dunia. Sebuah dunia yang paling minimal tersusun dari percampuran antara pendidikan, informasi dan hiburan dengan medium representasinya yang khas.

Ia memiliki kapasitas pendukung utama berupa teknologi yang memungkinkannya bergerak cepat dan mereproduksi diri terus menerus sembari melipat ruang dan waktu. Dalam kasus televisi (tele : jauh, visio : penglihatan) yang menjadi sumber kerisauan Khatib diatas, pada yang sama kita bisa menyaksikan tayangan berita sekaligus sinetron, film action sekaligus drama romantais. Dengan menekan angka 1, 2 atau 8 pada remote control misalnya, secepat hitungan detik, kita bisa berpindah saluran tayang. Singkat kata, bersama televisi, kita terlibat melipat ruang dan waktu.

Apakah televisi hanya melipat ruang dan waktu tanpa konsekuensi moral atau spiritual ?.

Yasraf Amir Piliang dalam Sebuah Dunia Yang Dilipat (2011) mengatakan jika saat ini televisi merupakan media yang paling banyak menyedot energi psikis dan pikiran. Dia mengatakan : televisi adalah tempat seleksi alam bagi ide, gagasan, tanda citra, dan makna-makna. Ide, gagasan, tanda citra, dan makna-makna yang paling kuat dalam menangkap perhatian dan pikiran orang (politisi retoris, kiai karismatis, paranormal mistis, bintang selebiritis, artis sensualis) akan menemukan tempat hidupnya di dalam pikiran orang-orang yang dipengaruhinya dan cenderung membiak di dalamnya…

Apa yang dilakukan semua televisi adalah sama saja yaitu memproduksi dirinya sendiri (self-replication) : layar menjadi lebih besar, piksel berlipat ganda, tontotan melahirkan tontonan lain, talkshow melahirkan talkshow lain, iklan melahirkan iklan lain, bintang melahirkan bintang lain. Untuk itu, ia menggunakan energy psikis pemirsanya sebagai medium mereka untuk bertumbuh, akan tetapi memberikan makna hidup sedikit sekali bagi mereka. ’ (hal 68).

Dengan kemampuan menyedot energi psikis dan pikiran itu, sampai disini, kita juga dapat mengandaikan bahwa ketersedotan psikis dan pikiran yang justru menjadi ladang perkembangbiakan apa yang ditonton, dapat mengkondisikan perilaku tertentu, seperti meniru gaya artis idola. Peniruan berdasarkan realitas tontotan akan sangat bergantung pula pada sejauhmana sosok artis idola itu dicitrakan oleh televisi.

Kita dapat melihat kondisi peniruan atas citraan yang disemburkan televisi ini dalam kelompok-kelompok fans club. Salah satu contoh yang cukup baik adalah kontroversi konser Lady Gaga di Indonesia. Perilaku the Monsters, yang jelas tidak hidup dalam keseharian yang sama dengan pujaannya Lady Gaga, dengan meniru dandan aneh sudah cukup membuat banyak agamawan mempertentangkan moralitas Barat dan Timur. Disinilah kerisauan moral para pemimpin agama membuncah ke permukaan dan mengalir deras dalam mimbar-mimbar khutbah Jumat.

Kerisauan moral yang terpantul dari khutbah Jumat diatas adalah kerisauan yang mewakili satu warga dunia, kerisauan institusional. Bukan sembarang dunia yang sedang dan akan terus berusaha menghadirkan ideal-ideal yang diyakini. Dunia ini merupakan jalan suci pembuktian diri terhadap sesuatu yang transenden (jalan agama-agama). Sedang pada saat yang bersamaan, dalam irama zaman kekinian, hadir pula satu jenis dunia yang memiliki kehendak untuk menguasai pikiran, menggeser relasi, membolak-balik konfigurasi, menghancurkan batas yang nyata dan maya, hingga menisbikan yang serba moral dan luhur.

Benturan dua dunia  dan agennya inilah yang menjadi arena besar dari segala macam kerisauan akan masa depan moralitas itu. Semua agama yang mengacu pada kalam Tuhan mengalami ini, mengalami goncangan dengan kehadiran televisi, representator terbaik dari kuasa informasi dan hiburan. Ada bahaya besar yang dikandung oleh televisi, yang melampaui degradasi moral.

Bahaya itu adalah : ‘di dalam dunia yang dilipat, informasi mempunyai peran yang sangat sentral dalam mempercepat efek pelipatan ruang-waktu, yaitu dengan terciptanya apa yang disebut ruang-waktu informasi. Ini disebabkan, bahwa informasi yang pada awalnya adalah cara pengetahuan tentang dunia-yang dikemas dan disampaikan di dalam berbagai media dalam bentuk representasi-kini mengingkari dunia yang direpresentasikannya, oleh karena ia kini cenderung menjadi sebuah dunia otonom, yang terlepas dari dunia nyata yang diinformasikannya’ (Piliang, ibid, hal 65).

Ia melenyapkan dunia nyata, dunia hidup sehari-hari, pergi dari pikiran. Ia tak sekedar mengancam moralitas, ia justru melenyapkannya melalui peniruan ke peniruan lalu meninggalkan rujukan awal yang ditirunya tadi. Seperti para Ustad dadakan di sinetron religi bulan Ramadhan : ia membunuh fungsi Ustad dikampung-kampung yang ikhlas  mengumandangkan adzan, mengisi bak air wudhu, juga menyapu lantai mesjid seumur hidupnya. Ustad yang ditinggal jamaah pengajian karena lebih memilih episode sinetron.

Sang Khatib tengah berusaha mengingatkan kita dengan caranya, terserah pada kita, khawatir atau merayakan itu sebagai satu ekstase psiko-kultural.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun