Yasraf Amir Piliang dalam Sebuah Dunia Yang Dilipat (2011) mengatakan jika saat ini televisi merupakan media yang paling banyak menyedot energi psikis dan pikiran. Dia mengatakan : televisi adalah tempat seleksi alam bagi ide, gagasan, tanda citra, dan makna-makna. Ide, gagasan, tanda citra, dan makna-makna yang paling kuat dalam menangkap perhatian dan pikiran orang (politisi retoris, kiai karismatis, paranormal mistis, bintang selebiritis, artis sensualis) akan menemukan tempat hidupnya di dalam pikiran orang-orang yang dipengaruhinya dan cenderung membiak di dalamnya…
Apa yang dilakukan semua televisi adalah sama saja yaitu memproduksi dirinya sendiri (self-replication) : layar menjadi lebih besar, piksel berlipat ganda, tontotan melahirkan tontonan lain, talkshow melahirkan talkshow lain, iklan melahirkan iklan lain, bintang melahirkan bintang lain. Untuk itu, ia menggunakan energy psikis pemirsanya sebagai medium mereka untuk bertumbuh, akan tetapi memberikan makna hidup sedikit sekali bagi mereka. ’ (hal 68).
Dengan kemampuan menyedot energi psikis dan pikiran itu, sampai disini, kita juga dapat mengandaikan bahwa ketersedotan psikis dan pikiran yang justru menjadi ladang perkembangbiakan apa yang ditonton, dapat mengkondisikan perilaku tertentu, seperti meniru gaya artis idola. Peniruan berdasarkan realitas tontotan akan sangat bergantung pula pada sejauhmana sosok artis idola itu dicitrakan oleh televisi.
Kita dapat melihat kondisi peniruan atas citraan yang disemburkan televisi ini dalam kelompok-kelompok fans club. Salah satu contoh yang cukup baik adalah kontroversi konser Lady Gaga di Indonesia. Perilaku the Monsters, yang jelas tidak hidup dalam keseharian yang sama dengan pujaannya Lady Gaga, dengan meniru dandan aneh sudah cukup membuat banyak agamawan mempertentangkan moralitas Barat dan Timur. Disinilah kerisauan moral para pemimpin agama membuncah ke permukaan dan mengalir deras dalam mimbar-mimbar khutbah Jumat.
Kerisauan moral yang terpantul dari khutbah Jumat diatas adalah kerisauan yang mewakili satu warga dunia, kerisauan institusional. Bukan sembarang dunia yang sedang dan akan terus berusaha menghadirkan ideal-ideal yang diyakini. Dunia ini merupakan jalan suci pembuktian diri terhadap sesuatu yang transenden (jalan agama-agama). Sedang pada saat yang bersamaan, dalam irama zaman kekinian, hadir pula satu jenis dunia yang memiliki kehendak untuk menguasai pikiran, menggeser relasi, membolak-balik konfigurasi, menghancurkan batas yang nyata dan maya, hingga menisbikan yang serba moral dan luhur.
Benturan dua dunia dan agennya inilah yang menjadi arena besar dari segala macam kerisauan akan masa depan moralitas itu. Semua agama yang mengacu pada kalam Tuhan mengalami ini, mengalami goncangan dengan kehadiran televisi, representator terbaik dari kuasa informasi dan hiburan. Ada bahaya besar yang dikandung oleh televisi, yang melampaui degradasi moral.
Bahaya itu adalah : ‘di dalam dunia yang dilipat, informasi mempunyai peran yang sangat sentral dalam mempercepat efek pelipatan ruang-waktu, yaitu dengan terciptanya apa yang disebut ruang-waktu informasi. Ini disebabkan, bahwa informasi yang pada awalnya adalah cara pengetahuan tentang dunia-yang dikemas dan disampaikan di dalam berbagai media dalam bentuk representasi-kini mengingkari dunia yang direpresentasikannya, oleh karena ia kini cenderung menjadi sebuah dunia otonom, yang terlepas dari dunia nyata yang diinformasikannya’ (Piliang, ibid, hal 65).
Ia melenyapkan dunia nyata, dunia hidup sehari-hari, pergi dari pikiran. Ia tak sekedar mengancam moralitas, ia justru melenyapkannya melalui peniruan ke peniruan lalu meninggalkan rujukan awal yang ditirunya tadi. Seperti para Ustad dadakan di sinetron religi bulan Ramadhan : ia membunuh fungsi Ustad dikampung-kampung yang ikhlas  mengumandangkan adzan, mengisi bak air wudhu, juga menyapu lantai mesjid seumur hidupnya. Ustad yang ditinggal jamaah pengajian karena lebih memilih episode sinetron.
Sang Khatib tengah berusaha mengingatkan kita dengan caranya, terserah pada kita, khawatir atau merayakan itu sebagai satu ekstase psiko-kultural.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H