Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Delete Contact

16 Februari 2015   15:33 Diperbarui: 9 Juni 2017   11:26 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: MessagingAppLab

Pernah pula di satu pagi yang basah. Di sebuah kantor bank daerah, Komen melihat perempuan muda berjalan tanpa alas kaki. Dua anak kecil turut di belakangnya juga tanpa alas kaki. Mereka masih bagian dari anak suku yang datang dari pegunungan. Serakan air berwarna coklat dilaluinya tanpa peduli. Ia menuju ruang mesin ATM, bukan hendak menarik duit.

Mereka hanya singgah, berteduh dari hujan. Mungkin juga penasaran mengapa ada mesin bisa mengeluarkan uang. Tas noken tetap terpasang di kepala.

Komen diam saja, menelisik atas bawah lalu menerawang. Ada perih di sudut hatinya. Matanya sembab. Air hujan yang jatuh serasa lebih lambat dari biasanya.

Pikiran terdidiknya bergerak mencari-cari kritik sosiologi yang bisa memberi makna untuk rangkain situasi tadi. Komen lalu ingat pada kritik-kritik Dependency Theory, tentang negeri postcolonial yang tersandera pembagian kerja internasional yang timpang. Tentang Kapitalisme yang membelah dunia dalam pusat dan pinggiran. Tiba-tiba Komen ingat dosennya, sang Pendeta yang energik itu.

Adakah Pancasila menyapa, memeluk hangat juga menyemai harapan Mama-Mama penjual pinang yang menunggu pembeli di trotoar sebuah pertokoan untuk masa depan yang cerah bahagaia ?. Memberi kesetaraan pada kaki-kaki kecil yang bertelanjang kaki di jalanan dengan ekpansi warga pendatang ?.

Inikah kemajuan yang dimaksud pejabat pemerintah di laporan pembangunan dan pidato-pidato politik di setiap upacara ?. Inikah pengulangan misi pemberadapan (civilization) yang menjadi proyek sejarah Negara-bangsa bernama Indonesia sesudah tuan-tuan kolonial itu pulang ke rumahnya ?.

‘Tapi apa guna saya mematut diri di hadap teori-teori sosiologi sementara sepatu pembangunan tetap saja berjalan menendang keluar Mama-Mama itu ?’, ujar lirih Komen dari rahang yang kini penuh pinang dan kepul asap Dji Sam Soe.

‘Sosiologi seperti ini tak praksis, ia justru menjinakkan kritik, menyimpangkan emansipasi. Mesti memilih jalan Che Quevarra atau Zapatista!’, tegas Komen seiring hujan yang jatuh di langit Abepura.

‘Sayang, lagi ba apa doe ? jang kuat bagadang neh’, teks Manado Melayu ini masuk di inbox pada handphone nokianya.  Sms yang tiba-tiba dari nona Sondakh.

Hati Komen mendadak getir, seperti ditikam sejuta petir. Hangus.

Selama masa sulit perkuliahan di Manado, nona Sondakh-lah yang merawat kesehariannya. Yang menjaga tiang-tiang pengharapan di jiwanya tetap tegak dengan kasih mesra yang tulus tak berbatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun