Jika dulu orang harus datang langsung ke Malioboro untuk membeli batik atau suvenir, kini seharusnya produk-produk khas Malioboro bisa dijual secara online dengan sistem yang lebih terorganisir.Â
Ini tidak berarti menghilangkan interaksi langsung yang menjadi daya tarik utama, tetapi lebih kepada memperluas jangkauan pasar agar lebih banyak orang bisa berkontribusi pada ekonomi Malioboro, bahkan tanpa harus datang langsung ke sana.
Selain itu, keberlanjutan ekonomi Malioboro juga sangat bergantung pada kebijakan pemerintah daerah.Â
Kebijakan yang berpihak pada pelaku usaha kecil dan menengah harus terus didorong.Â
Relokasi pedagang, misalnya, harus dilakukan dengan pendekatan yang manusiawi, bukan sekadar memindahkan mereka ke tempat yang jauh dari keramaian tanpa solusi nyata.Â
Infrastruktur juga harus terus diperbaiki tanpa menghilangkan identitas Malioboro yang khas.
Pada akhirnya, Malioboro bukan hanya milik Yogyakarta, tetapi juga milik semua orang yang pernah merasakan atmosfernya, berbelanja di jalannya, atau sekadar duduk di bangku pedestrian sambil menikmati tawaran es teh dari pedagang keliling.Â
Ia adalah pusat perekonomian yang harus dijaga bersama, agar denyutnya tetap berirama dan tak pernah benar-benar padam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI