"Maaf, apa ini dengan Anisa?"
Pesan singkat itu tiba-tiba masuk ke WhatsApp Anisa.
"Ya, betul. Saya sendiri. Maaf, ini dengan siapa ya?" balas Anisa penasaran.
"Apakah ini Anisa yang duduk di kelas 9 di SMP X dan tinggal di perumahan Griya Mulya Abadi?"
Pertanyaan itu membuat Anisa terkejut. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak mencantumkan nama pengirim bisa tahu identitasnya dengan sangat detail? Hatinya gelisah, bertanya-tanya siapa sosok di balik pesan misterius itu.
Sebagai anak berusia 15 tahun, Anisa tidak biasa menghadapi situasi semacam ini. Meski begitu, ia mencoba tetap tenang. Dengan latar belakang keluarga terpandang---ayahnya seorang peneliti di perusahaan ternama dan ibunya seorang PNS---Anisa selalu diajarkan untuk sopan dan hati-hati. Setelah berpikir sejenak, ia pun memberanikan diri membalas pesan itu.
"Ya, benar. Maaf, dengan siapa ini ya? Kok tahu nama dan alamat rumah saya? Ada yang bisa saya bantu?"
Balasan pun segera muncul.
"Oh ya, kalau ingin tahu siapa saya, Dik Anisa salat Asar dulu dan mandi dulu, nanti saya beritahu."
Anisa makin bingung. Siapa orang ini, dan kenapa tiba-tiba menyuruhnya salat dan mandi? Rasa penasaran memuncak, membuatnya mencoba menelepon nomor itu tiga kali. Namun, tak satu pun panggilannya diangkat.
Tepat saat itu, ayahnya baru saja pulang dari masjid. "Anisa, ayo salat dulu. Sudah jam empat sore, jangan main HP terus," katanya lembut.
Anisa hanya mengangguk, lalu beranjak untuk menunaikan salat dan mandi. Namun, pikirannya tetap dihantui oleh pesan misterius tadi.
Setelah selesai, ia buru-buru mengambil HP-nya. Ternyata, pesan baru sudah masuk.
"Alhamdulillah kalau sudah salat dan mandi. Kenalan dulu ya, panggil saja saya Kak Budi. Saya alumni sekolah Y, yang terkenal itu."
Rasa lega sekaligus penasaran bercampur menjadi satu. Anisa pun membalas dengan penuh antusias.
"Wah, terima kasih, Kak. Kakak alumni sekolah Y? Ayah saya juga lulusan sekolah itu, loh!"
"Oh, iya? Ayahmu hebat, ya!" balas Budi.
"Benar, Kak. Ayah bilang kalau sekolah di sana itu tidak harus pintar, yang penting rajin belajar. Saya ingin sekali bisa sekolah di sana!"
Percakapan mereka pun terus berlanjut. Kak Budi memberikan semangat kepada Anisa untuk belajar lebih giat. Ia mengingatkan Anisa bahwa waktunya hanya tinggal dua bulan sebelum ujian akhir.
Hari-hari berikutnya, Kak Budi menjadi teman belajar yang setia bagi Anisa. Ia selalu memberikan penjelasan yang jelas dan mudah dipahami via WA, membuat Anisa merasa lebih percaya diri.
"Wah, Kakak hebat banget! Penjelasannya rapi, seperti ayah saya," puji Anisa.
"Biasa saja, Dik. Kakak hanya mencoba membantu," jawab Budi dengan rendah hati.
Semakin sering mereka berkomunikasi via WA, Anisa merasa semakin termotivasi. Ia bahkan mulai rajin belajar tanpa perlu diingatkan oleh ayahnya.
Suatu hari, Anisa dengan malu-malu berkata, "Kak, Nisa ingin sekali ketemu. Kakak baik banget, rasanya ingin tahu Kakak lebih dekat."
"Hehehe, nanti ya. Kalau Nisa sudah selesai ujian, kita bisa bertemu. Tapi ingat, jangan lupa belajar, ya?"
Waktu pun berlalu. Berkat kerja kerasnya, Anisa meraih nilai tertinggi dalam try out dan berhasil menjadi juara satu di sekolah.
"Alhamdulillah, Kak! Nisa dapat juara satu! Terima kasih banyak atas bantuannya selama ini," katanya penuh kebahagiaan.
"Selamat, Dik Nisa! Tapi ini baru langkah awal. Tetap semangat sampai ujian nanti!" balas Kak Budi via WA.
Hari pengumuman kelulusan tiba. Nilai Anisa hampir sempurna, dengan skor 100 di tiga mata pelajaran dan 90 di mata pelajaran lainnya. Ia langsung mengabari Kak Budi.
"Kak, Nisa berhasil! Nilai Nisa terbaik se-kecamatan!"
"Selamat, Dik Nisa. Kakak bangga padamu," jawab Budi via WA.
Anisa pun meminta izin kepada ibunya untuk bertemu dengan Kak Budi. Akhirnya, mereka sepakat bertemu di sebuah tempat. Namun, saat tiba di sana, sebuah kejutan besar menanti Anisa.
Ayahnya tiba-tiba datang dan berkata, "Nisa, mana orang yang membuatmu senyum-senyum sendiri saat main WA?"
Anisa terdiam. Ia kebingungan.
Lalu, tiba-tiba terdengar suara notifikasi dari HP ayahnya. Anisa mencoba menelepon nomor Kak Budi lagi, dan kali ini, deringan HP Kak Budi berasal dari kantong ayahnya.
"Loh, jadi... Kak Budi itu Ayah?" tanya Anisa dengan mata membelalak.
"Hehehe... Ayah hanya ingin memastikan kamu tetap semangat belajar. Dan lihatlah, kamu berhasil," jawab ayahnya sambil tersenyum bangga.
Anisa tak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa tersenyum, merasa bersyukur memiliki ayah yang begitu peduli padanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H