Mohon tunggu...
Tulus Ciptadi
Tulus Ciptadi Mohon Tunggu... -

Truly Taurus

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Surga Rangga

29 November 2010   04:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:12 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bulan Ramadhan telah tiba. Semua umat muslim di dunia menyambutnya dengan suka cita, termasuk orang-orang di komplek perumahan tempat tinggal Rangga. Berbagai kegiatan telah disiapkan oleh masjid Al-Istiqomah, satu-satunya masjid di komplek itu.

Salah satu kegiatan tersebut adalah ceramah agama untuk anak-anak setiap sore hari di masjid itu. Sebelum ceramah, terlebih dahulu anak-anak, dengan dibimbing oleh ustad Sanusi, tadarus Al Quran bersama.

Rangga adalah salah satu anak yang aktif mengikuti kegiatan ceramah dan tadarus itu. Karena kini Rangga telah duduk di bangku kelas 3 SD, ia meyakinkan dirinya untuk puasa secara penuh dan beribadah dengan total di bulan Ramadhan kali ini.

Sore itu adalah hari ketujuh bulan Ramadhan. Kegiatan ceramah & tadarus juga sudah berlangsung tujuh kali. Dengan sarung berwarna hijau dan baju koko berwarna senada, Rangga duduk di barisan paling depan. Anak-anak kini telah menyelesaikan tadarus bersama dan bersiap-siap mendengarkan ceramah.

Tema ceramah hari itu adalah tentang surga. Ustad Sanusi bercerita bahwa surga itu adalah tempat yang sangat indah, penuh pepohonan hijau serta bangunan-bangunan yang indah. Semua permintaan penghuni Surga akan dikabulkan oleh Allah, karena itu adalah balasan setimpal atas amal ibadah yang mereka kerjakan di dunia.

Di perjalanan pulang, Rangga membahas ceramah tentang surga tadi dengan sahabatnya, Seno. “Kalau masuk surga nanti, aku ingin punya sayap sehingga aku dapat terbang dan melihat seluruh isi surga!” Seru Rangga berapi-api sambil membentangkan tangannya.

“Kalau aku mau punya pesawat jet saja. Sayapmu pasti kalah dengan jetku!” Timpal Seno tidak mau kalah sambil ikut membentangkan tangannya.

“Ah tidak mungkin, ayo coba buktikan sekarang, siapa yang lebih cepat!” Rangga mulai berlari, diikuti oleh Seno. Kedua anak itu kini tampak berkejar-kejaran dengan tangan terbentang, seakan mereka sedang terbang di ketinggian surga.

Keesokan harinya, matahari bersinar dengan terik. Rangga sampai di rumah dengan peluh bercucuran dari seluruh tubuhnya. Ia ingin sekali minum, tapi itu tentunya akan membatalkan puasanya. Akhirnya ia memutuskan untuk mendinginkan diri dengan kipas angin di kamarnya.

Saat melewati dapur, Rangga melihat ibunya sedang minum segelas air. Rangga terpekik kaget, “Mama kok gak puasa?”

Hampir saja ibu tersedak air karena kaget saat mendengar pekikan Rangga. Ibu lalu meletakan gelas dan menghampiri Rangga. “Ibu sedang menstruasi. Setiap bulan sekali, seorang wanita dewasa menstruasi.” Ibu menjelaskan sambil membelai kepala Rangga.

“Saat wanita menstruasi, ia tidak boleh berpuasa. Tapi ia harus menggantinya di hari yang lain, saat ia sudah tidak menstruasi” lanjut ibu.

Rangga hanya diam. Suatu saat kalau ia masuk surga nanti, ia juga ingin menstruasi, sehingga ia tidak perlu berpuasa. Ia dapat menggantinya di hari lain saat dirinya cukup kuat. Begitu pikir Rangga.

Malamnya, Rangga bertengkar dengan adiknya, Nera. Penyebabnya adalah karena Nera ingin bermain game Barbie di Play Station, sedangkan Rangga ingin main game lainnya. Nera menangis, Rangga akhirnya disuruh mengalah. Rangga langsung menuju kamarnya dengan perasaan kesal.

Kalau aku masuk surga nanti, aku mau punya Play Station sendiri dan TV sendiri. Aku ingin punya kamar bermain sendiri agar aku dapat bermain sepuasku tanpa diganggu oleh Nera. Batin Rangga.

Perasaan kesal Rangga akhirnya memudar karena kini ia asik menuliskan benda apa saja yang akan dimintanya saat ia masuk surga kelak. Satu halaman sudah terisi berbagai keinginannya, mulai dari mainan Gundam terbaru, sepatu bola, hingga es krim dekat rumah nenek yang sangat lezat.

Keesokan sorenya, Rangga tampak berlari-lari kecil. Rupanya karena ketiduran, ia jadi terlambat mengikuti kegiatan tadarus dan ceramah. Syukurlah saat ia sampai, kegiatan tadarus baru akan dimulai. Rangga langsung mengambil posisi duduk di samping Seno.

Hari itu, tidak seperti biasanya, Seno tampak murung dan tertunduk lesu. Ceramah jenaka Ustad Sanusi, yang membahas tentang bagaimana cara bercanda yang baik dalam Islam, bahkan tidak membuat segores senyum di bibir Seno. Rangga yakin pasti ada yang tidak beres dengan sahabatnya yang satu ini.

Di perjalanan pulang, Rangga menghampiri Seno yang sengaja jalan berlambat-lambat. Rangga menanyakan mengapa Seno muram hari ini. Awalnya Seno tampak ragu untuk bercerita, namun akhirnya ia menceritakan penyebab kemurungannya.

“Kemarin aku membaca sebuah buku dari perpustakaan sekolah. Di buku itu dikatakan bahwa surga itu ada di telapak kaki ibu. Aku sedih. Aku tidak akan mungkin masuk surga. Aku kan sudah tidak punya ibu semenjak aku lahir” Seno menundukkan wajahnya. Setetes air mata jatuh di pipi kirinya.

Ibu Seno memang telah meninggal saat melahirkannya. Kini ia bersama kedua kakaknya diasuh oleh neneknya. Ayah Seno sendiri bekerja di luar kota. Setiap akhir pekan, ayah Seno pulang ke rumah.

Rangga merangkul bahu sahabatnya itu, dan kemudian berkata, “kamu pasti lupa tentang ceramah ustad Sanusi kemarin dulu. Saat di surga, kita dapat meminta apa saja.”

“Mungkin yang harus kita lakukan sekarang adalah beribadah lebih giat lagi. Kalaupun suatu saat kamu ternyata memang tidak masuk surga, kan ada aku yang akan meminta Allah agar membiarkanmu masuk surga.” Lanjut Rangga.

Seno kini mulai tersenyum. “Iya, kupikir kita memang harus beribadah lebih giat lagi. Aku akan terus mendoakan ibuku, karena ia juga harus masuk surga bersamaku. Begitu juga kakak, nenek dan ayahku.”

Di dalam hatinya, Rangga juga berjanji untuk melakukan hal yang sama. Beribadah lebih giat, dan terus mendoakan orang-orang yang dicintainya agar mereka dapat berkumpul bersama di surga.

“Nanti, di surga, kita juga harus tinggal bersebelahan ya, agar kita bisa terus bermain bersama.”

Kedua anak itu lalu tertawa gembira. Semoga mereka akan tetap mengingat dan melaksanakan janjinya itu saat dewasa nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun