“Saat wanita menstruasi, ia tidak boleh berpuasa. Tapi ia harus menggantinya di hari yang lain, saat ia sudah tidak menstruasi” lanjut ibu.
Rangga hanya diam. Suatu saat kalau ia masuk surga nanti, ia juga ingin menstruasi, sehingga ia tidak perlu berpuasa. Ia dapat menggantinya di hari lain saat dirinya cukup kuat. Begitu pikir Rangga.
Malamnya, Rangga bertengkar dengan adiknya, Nera. Penyebabnya adalah karena Nera ingin bermain game Barbie di Play Station, sedangkan Rangga ingin main game lainnya. Nera menangis, Rangga akhirnya disuruh mengalah. Rangga langsung menuju kamarnya dengan perasaan kesal.
Kalau aku masuk surga nanti, aku mau punya Play Station sendiri dan TV sendiri. Aku ingin punya kamar bermain sendiri agar aku dapat bermain sepuasku tanpa diganggu oleh Nera. Batin Rangga.
Perasaan kesal Rangga akhirnya memudar karena kini ia asik menuliskan benda apa saja yang akan dimintanya saat ia masuk surga kelak. Satu halaman sudah terisi berbagai keinginannya, mulai dari mainan Gundam terbaru, sepatu bola, hingga es krim dekat rumah nenek yang sangat lezat.
Keesokan sorenya, Rangga tampak berlari-lari kecil. Rupanya karena ketiduran, ia jadi terlambat mengikuti kegiatan tadarus dan ceramah. Syukurlah saat ia sampai, kegiatan tadarus baru akan dimulai. Rangga langsung mengambil posisi duduk di samping Seno.
Hari itu, tidak seperti biasanya, Seno tampak murung dan tertunduk lesu. Ceramah jenaka Ustad Sanusi, yang membahas tentang bagaimana cara bercanda yang baik dalam Islam, bahkan tidak membuat segores senyum di bibir Seno. Rangga yakin pasti ada yang tidak beres dengan sahabatnya yang satu ini.
Di perjalanan pulang, Rangga menghampiri Seno yang sengaja jalan berlambat-lambat. Rangga menanyakan mengapa Seno muram hari ini. Awalnya Seno tampak ragu untuk bercerita, namun akhirnya ia menceritakan penyebab kemurungannya.
“Kemarin aku membaca sebuah buku dari perpustakaan sekolah. Di buku itu dikatakan bahwa surga itu ada di telapak kaki ibu. Aku sedih. Aku tidak akan mungkin masuk surga. Aku kan sudah tidak punya ibu semenjak aku lahir” Seno menundukkan wajahnya. Setetes air mata jatuh di pipi kirinya.
Ibu Seno memang telah meninggal saat melahirkannya. Kini ia bersama kedua kakaknya diasuh oleh neneknya. Ayah Seno sendiri bekerja di luar kota. Setiap akhir pekan, ayah Seno pulang ke rumah.
Rangga merangkul bahu sahabatnya itu, dan kemudian berkata, “kamu pasti lupa tentang ceramah ustad Sanusi kemarin dulu. Saat di surga, kita dapat meminta apa saja.”