Tetapi, masih begitu banyak yang terlupa dari semua itu. Mulai akhir tahun 2022 banyak orang yang terdampak dari persiapan pagelaran ini, salah satu contohnya adalah keberadaan pasar rakyat, biasanya setiap Jumat pagi hingga sore, jalanan sekitar Pelabuhan Mulia Raja Napitupulu Balige dipadati oleh mereka yang menggantungkan hidupnya dari proses transaksi. Ratusan pedagang dan pembeli berkumpul di sana. Akan tetapi sejak proses pembangunan venue dilaksanakan, mereka dipindahkan jauh dari lokasi tersebut. Setidaknya berjarak kurang lebih 2 km dari lokasi semula. Pemerintah berdalih aktivitas demikian mengganggu proses persiapan yang sedang berjalan. Suka atau tidak mereka selalu dibenturkan dengan bayang-bayangan pihak keamanan yang berlalu-lalang di situ. Bahwa kehadiran aparat milter dengan jumlah yang banyak dan dilengkapi dengan peralatan-peralatan seolah Balige akan jadi medan pertempuran tentu sangat mengganggu pemandangan dan psikologis masyarakat sekitar. Bahwa akibat event tersebut juga, tersiar kabar bahwa Kapolda Sumatera Utara akan berkantor di Balige selama proses pelaksanaan event berlangsung. Seberapa penting kah event ini? Lantas apa dampak yang dirasakan oleh masyarakat?
Bahwa selain pedagang, ternyata beberapa situs sejarah yang berada di sekitaran kota Balige diratakan oleh panitia, dalihnya bangunan tersebut dianggap kumuh dan merusak pemandangan wisatawan yang berlalu-lalang nantinya.
Selain situs sejarah, beberapa rumah pun digusur paksa oleh pembangunan ini. Bahkan ada beberapa yang menolak namun tak mampu bertahan. Beberapa informasi yang terhimpun rumah-rumah itu sudah berumur puluhan tahun.
Mereka yang menggantungkan hidupnya dari seorang supir angkot pun dilarang untuk berlalu-lalang di hari kegiatan.
Selain itu, lokasi kegiatan event berada di Pelabuhan Mulia Raja Napitupulu Balige merupakan sandaran bagi kapal motor milik masyarakat yang menghantarkan masyarakat dari kampung-kampung di sekitaran danau Toba ke Balige dan sebaliknya.
Padahal sejak proses pembangunan ini dimulai, setidaknya beberapa minggu terakhir kapal ini sudah dilarang untuk masuk ke pelabuhan dengan berbagai alasan. Sehingga pemindahan pelabuhan yang cukup jauh menyebabkan sulitnya akses pun kenaikan ongkos penumpang.
Selain hal tersebut, Event F1H20 di Balige beberapa waktu lalu juga masih melahirkan sengketa terkait kepemilikan lahan masyarakat dengan pemerintah yang diduga secara sepihak mengatakan itu adalah tanah garapan, akan tetapi para keturunan Raja Muliaraja sebagai pemilik sah secara jelas telah membantah hal tersebut dengan putusan PN.Tarutung yang menetapkan bahwa tanah itu bukanlah tanah garapan. Bahwa akibat program ini, banyak masyarakat yang menjadi korban dan terkesan diabaikan oleh pemerintah baik pusat dan daerah.
Pemerintah seolah tidak melihat sejarah, bahwa setelah bom Hiroshima dan Nagasaki melanda Jepang, mereka tidak memulai dari fisik melainkan pemulihan mental rakyatnya. Nyatanya masyarakat sekitaran Danau Toba tidaklah anti kepada wisatawan pembangunan, akan tetapi apakah sektor pariwisata sudah menyentuh ekonomi rakyat? Nampaknya tidak, karena mereka harus tetap bertani, mencari ikan, berdagang dan sebagainya untuk melanjutkan hidupnya.
Pemerintah dikawasan Danau Toba juga harus belajar sebuah desa di pulau Bali misalnya, Tenganan menjadi sebuah contoh desa yang menganggap kehadiran wisatawan hanyalah bonus. Mereka tetap dengan kesibukannya masing-masing, petani akan tetap bertani, peternak pun akan tetap berternak dan sebagainya.
Ketika bencana melanda, seperti corona baru-baru ini yang melumpuhkan banyak sektor termasuk pariwisata tidak berpengaruh terhadap penghasilan mereka. Desa itu tetap berdaulat sekalipun di tengah wabah.
Seyogyanya masyarakat dikawasan Danau Toba tidak pernah menolak segala bentuk pembangunan, apalagi punya keinginan untuk menghadirkan jutaan wisatawan tiap tahun dari berbagai negara di Danau Toba. Akan tetapi, pemerintah juga harus mengukur kesiapan masyarakat menghadapi hal tersebut.