Mohon tunggu...
Rico Nainggolan
Rico Nainggolan Mohon Tunggu... Wiraswasta - quote

hiduplah layaknya bagaimana manusia hidup

Selanjutnya

Tutup

Analisis

KSPN Danau Toba Bermasalah, Masyarakat Pilih Diam dan Pura-pura Patuh?

24 Juni 2023   14:36 Diperbarui: 24 Juni 2023   14:38 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Euforia terhadap cita-cita pembangunan Pariwisata Danau Toba yang didengung-dengungkan oleh Pemerintah Pusat dan daerah nyatanya hingga saat ini hanya menjadi "angin segar" saja bagi perekonomian masyarakat local. Dan sepertinya hal tersebut masih akan tetap menjadi cita-cita yang selalu berjalan beriringan antara penindasan dan perampasan hak-hak masyarakat adat dengan kepentingan-kepentingan para investor dan para pemilik modal yang selalu mengorbankan masyarakat adat dengan bungkusan rapi yang disebut dengan Pembangunan Kawasan Pariwisata Danau Toba

Danau Toba yang secara administrasi dikelilingi 7 (tujuh) Kabupaten yaitu, Tapanuli Utara, Samosir, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Simalungun, Dairi, dan Karo merupakan Danau terluas di Asia Tenggara dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer. Danau yang terletak di Provinsi Sumatera Utara ini memiliki kekayaan alam dan budaya yang dijadikan sebagai sajian terhadap wisatawan yang berkunjung.

Kawasan Danau Toba yang termasuk didalam daftar 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional ( KSPN ) berdasarkan Perpres 58 Tahun 2017, saat ini pembangunanya terus dilaksanakan untuk mengupayakan kesejahteraan ekonomi masyarakat dengan menargetkan kunjungan wisatawan sebanyak 1.000.000 orang per tahunnya. Dan hal tersebut merupakan perjalanan panjang dari cita-cita masyarakat yang mengharapkan Danau Toba dapat  memberikan dampak ekonomi yang membangun. Setelah sebelumnya, melalui Perpres 49 Tahun 2016 Tentang Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), Pemerintah baik pusat dan daerah telah menyatakan komitmen pembangunan Pariwisata Danau Toba yang berkelanjutan dan diharapkan memberikan dampak yang positif bagi perekonomian masyarakat melalui BPODT.

BPODT yang merupakan satuan kerja yang berada dibawah Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dibentuk dengan tujuan melakukan percepatan pariwisata terintegrasi di kawasan danau toba. BPODT juga merupakan Badan Layanan Umum yang dikelola secara profesional dapat memprioritaskan upaya sinkronisasi dan koordinasi pemangku kepentingan terkait dengan bisnis,investasi dan industri pariwisata di kawsan Danau Toba. akan tetapi, setelah kurang lebih 7 ( tujuh ) tahun lembaga tersebut berdiri dan dengan dana kurang lebih ratusan miliyar yang telah digelontarkan untuk lembaga ini, nyatanya hingga saat ini belum memberikam dampak yang berarti bagi Pariwisata Danau Toba.

Bahwa setelah semua cita-cita pembangunan tersebut dirampungkan oleh pemerintah, mereka seolah lupa dan tidak mau mendengar suara-suara penolakan terhadap kebijakan-kebijakan yang dinilai akan merusak dan menimbulkan gejolak konflik horizontal antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah serta masyarakat dengan para investor. Diantaranya adalah konflik antara Masyarakat Desa Sigapiton dengan pihak Kaldera Toba ( Lahan Otoritatif milik BPODT ). Bahwa cita-cita pembangunan yang dikemas oleh BPODT nyatanya tidak selaras dengan apa yang terjadi dilapangan. Pembangunan yang direncanakan tersebut mendapat penolakan dari masyarakat akibat kurangnya kordinasi dan keterlibatan masyarakat local. Dan puncak permasalah tersebut adalah ketika pihak BPODT melakukan pembukaan jalan. Seperti dilansir dari TribunSolo.com, bahwa masyarakat Adat Raja Na Opat Sigapiton awalnya bertahan memperjuangkan lahan yang mereka yakini sebagai haknya. Namun, alat berat yang dikirim BPODT dikawal aparat masuk dan membuka jalan dari The Nomadic Kaldera Toba Escape menuju Batu Silali sepanjang 1900 m dan lebar 18 meter. Pembangunan jalan tersebut merupakan bagian dari pengembangan industri pariwisata di Kawasan Danau Toba. Bersamaan dengan dioperasikannya alat berat, BPODT mengajak aparat keamanan. Spontan kaum ibu Masyarakat Adat Raja Na Opat Sigapiton histeris dan membuka pakaiannya satu persatu. Mereka menghalau TNI/Polri dan Satpol PP yang mengawal alat berat  ke areal Batu Silali. Menurut salah seorang warga local marga Butar-butar, bahwa hingga saat ini masih terjadi konflik antara BPODT, Pemkab Tobasa dengan warga Masyarakat Adat marga Butarbutar dari Dusun Sileang-leang, Sigapiton. Buntut panjang persoalan tersebut ditandai dengan tidak 'clean and clearnya' lahan 386, 5 Ha di lokasi yang saat ini difokuskan pembangunan resort, hotel dan lain-lain.

Banyak pihak yang menilai bahwa aksi omak-omak tersebut terkesan sebuah setting-ngan, akan tetapi dari sisi sosiologinya jelas sekali bahwa aksi buka baju tersebut merupakan puncak kemarahan dan kekecewaaan warga terhadap penindasan yang mereka rasakan. Sebab suara dan penolakan mereka sudah tidak diperdulikan lagi oleh pihak BPODT dan Pemkab Toba, hingga mereka melakukan segala upaya untuk mempertahankan hak-hak mereka dengan melakukan aksi buka baju tersebut. Tidak sampai disitu saja bahwa kehadiran BPODT sebagai oase ditengah mati surinya pembangunan danau toba kembali melukai hati masyarakat local yang berada di lahan otorita BPODT tersebut. Adanya upaya-upaya menyingkirkan masyarakat local dari kawasan tersesbut juga terlihat dari cara pihak BPODT yang secara sepihak "menukar" posisi keberadaan masyarakat local yang membuka usaha didalam kawasan kaldera dengan usaha yang sama akan tetapi lebih memilih perusahaan dari luar kawasan otoritatif tersebut. Hal tersebut sudah cukup menunjukkan sikap arogansi dan sikap ketidakberpihakan BPODT.

Kawasan Pantai Bebas Parapat. Jauh sebelum masyarakat dan Presiden Jokowidodo meresmikan Pantai Bebas Parapat pada Februari tahun 2022 yang lalu, sebuah peradaban masyarakat telah ada dan hidup disana selama ratusan tahun lalu. Akan tetapi sejak Perda No.7 Tahun 1989 Tentang PENETAPAN SOSOR PASIR SEBAGAI PANTAI BEBAS DI KOTA PARAPAT diterbitkan, masyarakat harus merelakan walaupun dengan terpaksa meninggalkan peradaban yang telah menjadi historis dari nenek moyang mereka beralih fungsi menjadi Pantai Bebas Parapat yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Bahwa sebelum diresmikan oleh Presiden Jokowidodo, sejak tahun 2021, masyarakat telah menyampaikan protes keras terhadap Bupati Simalungun atas terbitnya SK dan IMB atas nama milik pribadi dikawasan Pantai Bebas Parapat yang secara notabene sudah menjadi aset Pemkab Simalungun sejak tahun 1989.

Akan tetapi pada tahun 2020 telah terbit sebuah surat pengakuan yang pada pokoknya menerangkan bahwa seseorang memiliki hak atas tanah dikawasan pantai bebas parapat yang secara jelas diketahui dan ditandatangani camat dan lurah ditahun tersebut dan telah dijadikan sebagai alas hak untuk melakukan sebuah akta jual beli. Sungguh sesuatu yang sangat ironis hal tersebut bisa terjadi ditas lahan milik pemerintah yang telah diduga kuat diperjual belikan oleh beberapa oknum Pemkab Simalungun. Bahwa akibat hal tersebut, berbagai upaya penolakan sudah dilakukan oleh masyarakat Parapat, termasuk diantaranya adalah menyampaikan langsung kepada Pemkab Simalungun yang pada saat itu diterima oleh Wakil Bupati Simalungun. Dengan membawa semua alat bukti dan keterangan secara langsung dari saksi dan para pelaku sejarah masyarakat telah menyampaikan segala dugaan dan meminta pemerintah mengusut tuntas dugaan permainan Mafia Tanah tersebut. Setelah beberapa kali melakukan aksi dan segala upaya, namun hingga saat ini pemerintah seolah tutup mata terhadap kasus tersebut. Sejatinya, pantai bebas parapat adalah untuk kepentingan umum dan kemajuan pariwisata danau toba, sebagaimana telah tertuang didalam perda tersebut.

Dan permasalahan pantai bebas parapat cukup membuktikan bahwa pembangunan pariwisata KSPN Danau Toba terkesan asal jadi dan hanya focus kepada pembangunan infrastruktur yang lebih banyak mengorbankan masyarakat local dan menguntungkan para investor.

Dan yang terakhir yang paling menyita perhatian publik adalah pro-kontra pembangunan Venue F1H20 di Balige. pagelaran lomba speed boat F1H2O yang berlangsung di Danau Toba sekitaran kota Balige, Kab. Toba, Sumatera Utara merupakan salah satu dari alasan percepatan wisata. Ajang yang berlangsung pada tanggal 24-26 Februari 2023 diikuti oleh pembalap boat dari berbagai negara di dunia.

Bukan hanya itu event ini digadang-gadang akan menggaet 25 ribu jiwa wisatawan dari dalam maupun luar negeri. Tentunya event demikian membutuhkan kerja-kerja serius di tengah waktu yang semakin mendekat.

Tetapi, masih begitu banyak yang terlupa dari semua itu. Mulai akhir tahun 2022 banyak orang yang terdampak dari persiapan pagelaran ini, salah satu contohnya adalah keberadaan pasar rakyat, biasanya setiap Jumat pagi hingga sore, jalanan sekitar Pelabuhan Mulia Raja Napitupulu Balige dipadati oleh mereka yang menggantungkan hidupnya dari proses transaksi. Ratusan pedagang dan pembeli berkumpul di sana. Akan tetapi sejak proses pembangunan venue dilaksanakan, mereka dipindahkan jauh dari lokasi tersebut. Setidaknya berjarak kurang lebih 2 km dari lokasi semula. Pemerintah berdalih aktivitas demikian mengganggu proses persiapan yang sedang berjalan. Suka atau tidak mereka selalu dibenturkan dengan bayang-bayangan pihak keamanan yang berlalu-lalang di situ. Bahwa kehadiran aparat milter dengan jumlah yang banyak dan dilengkapi dengan peralatan-peralatan seolah Balige akan jadi medan pertempuran tentu sangat mengganggu pemandangan dan psikologis masyarakat sekitar. Bahwa akibat event tersebut juga, tersiar kabar bahwa Kapolda Sumatera Utara akan berkantor di Balige selama proses pelaksanaan event berlangsung. Seberapa penting kah event ini? Lantas apa dampak yang dirasakan oleh masyarakat?

Bahwa selain pedagang, ternyata beberapa situs sejarah yang berada di sekitaran kota Balige diratakan oleh panitia, dalihnya bangunan tersebut dianggap kumuh dan merusak pemandangan wisatawan yang berlalu-lalang nantinya.

Selain situs sejarah, beberapa rumah pun digusur paksa oleh pembangunan ini. Bahkan ada beberapa yang menolak namun tak mampu bertahan. Beberapa informasi yang terhimpun rumah-rumah itu sudah berumur puluhan tahun.

Mereka yang menggantungkan hidupnya dari seorang supir angkot pun dilarang untuk berlalu-lalang di hari kegiatan.

Selain itu, lokasi kegiatan event berada di Pelabuhan Mulia Raja Napitupulu Balige merupakan sandaran bagi kapal motor milik masyarakat yang menghantarkan masyarakat dari kampung-kampung di sekitaran danau Toba ke Balige dan sebaliknya.

Padahal sejak proses pembangunan ini dimulai, setidaknya beberapa minggu terakhir kapal ini sudah dilarang untuk masuk ke pelabuhan dengan berbagai alasan. Sehingga pemindahan pelabuhan yang cukup jauh menyebabkan sulitnya akses pun kenaikan ongkos penumpang.

Selain hal tersebut, Event F1H20 di Balige beberapa waktu lalu juga masih melahirkan sengketa terkait kepemilikan lahan masyarakat dengan pemerintah yang diduga secara sepihak mengatakan itu adalah tanah garapan, akan tetapi para keturunan Raja Muliaraja sebagai pemilik sah secara jelas telah membantah hal tersebut dengan putusan PN.Tarutung yang menetapkan bahwa tanah itu bukanlah tanah garapan. Bahwa akibat program ini, banyak masyarakat yang menjadi korban dan terkesan diabaikan oleh pemerintah baik pusat dan daerah.

Pemerintah seolah tidak melihat sejarah, bahwa setelah bom Hiroshima dan Nagasaki melanda Jepang, mereka tidak memulai dari fisik melainkan pemulihan mental rakyatnya. Nyatanya masyarakat sekitaran Danau Toba tidaklah anti kepada wisatawan pembangunan, akan tetapi apakah sektor pariwisata sudah menyentuh ekonomi rakyat? Nampaknya tidak, karena mereka harus tetap bertani, mencari ikan, berdagang dan sebagainya untuk melanjutkan hidupnya.

Pemerintah dikawasan Danau Toba juga harus belajar sebuah desa di pulau Bali misalnya, Tenganan menjadi sebuah contoh desa yang menganggap kehadiran wisatawan hanyalah bonus. Mereka tetap dengan kesibukannya masing-masing, petani akan tetap bertani, peternak pun akan tetap berternak dan sebagainya.

Ketika bencana melanda, seperti corona baru-baru ini yang melumpuhkan banyak sektor termasuk pariwisata tidak berpengaruh terhadap penghasilan mereka. Desa itu tetap berdaulat sekalipun di tengah wabah.

Seyogyanya masyarakat dikawasan Danau Toba tidak pernah menolak segala bentuk pembangunan, apalagi punya keinginan untuk menghadirkan jutaan wisatawan tiap tahun dari berbagai negara di Danau Toba. Akan tetapi, pemerintah juga harus mengukur kesiapan masyarakat menghadapi hal tersebut.

Bukan hanya siap secara fisik bangunan, tetapi pemerintah juga harus mempertimbangkan historis dan nilai-nilai spiritual yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Pemerintah sering mengabaikan dan bahkan dengan sengaja menyingkirkan masyarakat diatas tanahnya sendiri demi kepentingan para investor. Berbagai penolakan dan upaya telah dilakukan oleh masyarakat guna menyampaikan keluh kesah mereka, akan tetapi secara psikologis akan ada masa dimana masyarakat telah kecewa dan mereka lebih memilih diam dan pura-pura patuh terhadap apa yang disampaikan dan dilakukan oleh pemerintah. Dan tentunya ini adalah hal yang berbahaya dan akan menjadi "bom waktu" menunggu kemarahan warga pecah dan mengakibatkan kerugian bagi semua pihak. Dan mungkin saja, Danau Toba dan para leluhur sudah menangis melihat keadaan Danau Toba saat ini. "marsahala do akka naung parjolo"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun