Apakah maksudnya hakim sebenarnya berniat menerapkan sanksi maksimal (hukuman mati) atau sekurangnya hukuman penjara seumur hidup, tapi karena ada cercaan, makian, dan hinaan dari masyarakat, akhirnya tidak jadi?
Mengapa hakim seolah menyalahkan masyarakat? Bukankah cercaan, makian, dan hinaan sesuatu hal yang wajib "dinikmati" oleh mereka yang berperilaku sama dengan Juliari?
Tidakkah hakim sadar dan paham bahwa semua itu dilakukan masyarakat secara spontan tanpa disuruh maupun diarah-arahkan?
Kalau hakim menjadikan derita cercaan, makian, dan hinaan sebagai alasan meringankan untuk Juliari, lalu bagaimana dengan Akil Mochtar, Adrian Waworuntu, dan Teddy Hernayadi?Â
Mengapa dulu ketiganya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup padahal mengalami cercaan, makian, dan hinaan seperti yang dialami Juliari?
Pertanyaan pentingnya adalah, apakah alasan meringankan yang berlaku bagi Juliari saat ini bakal diberlakukan juga kepada para koruptor berikutnya?Â
Semoga tidak. Sebab bila demikian, maka sebaiknya publik tidak boleh lagi mencerca, memaki, dan menghina koruptor, supaya keberanian hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan tidak tergoyahkan.
Sekian. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H