Setelah dinanti publik selama 8 bulan lebih, yakni terhitung sejak 5 Desember 2020, proses penanganan kasus korupsi yang melilit mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, akhirnya membuahkan hasil.
Kemarin, Senin (23/08/2021), Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis hukuman 12 tahun penjara terhadap Juliari. Vonis tersebut 1 tahun lebih lama dibanding tuntutan jaksa KPK, yang hanya 11 tahun.
Selain itu, Juliari juga dibebankan denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan penjara, membayar uang pengganti Rp14,5 miliar, serta pencabutan hak politik selama 4 tahun usai menjalani pidana pokok.Â
Juliari dinyatakan bersalah karena telah mengorupsi dana bantuan sosial Covid-19 (melanggar pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001).
Sudah puaskah publik atas vonis hakim? Semua tergantung penilaian masing-masing individu dan arah kepentingan. Seharusnya memang "terpaksa puas", sebab KPK selaku penuntut mengaku puas.
Publik mau tidak mau "wajib" menerima apa yang diputuskan hakim. Sudah tidak perlu ada protes berlebihan, karena hakim tentu sudah menimbang banyak hal sebelum mengambil keputusan.
Kemudian, jaksa KPK yang berkewenangan "memaksa" hakim menerapkan sanksi maksimal yaitu hukuman mati (pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2021) rupanya kurang percaya diri, termasuk pula ragu menawar hukuman penjara seumur hidup.
Apa boleh buat, vonis telah dijatuhkan. Publik malah amat wajar bila berkenan berterima kasih kepada hakim yang menambahkan 1 tahun penjara terhadap Juliari.
Namun begitu, di sisi lain, publik juga sangat amat wajar jika mempertanyakan alasan atau hal meringankan yang digunakan hakim untuk Juliari.
Hakim mengatakan "Juliari sudah cukup menderita selama ini akibat cercaan, makian, dan hinaan dari masyarakat". Alasan hakim ini dapat bermakna bahwa Juliari rasanya tidak pantas menerima sanksi yang lebih berat lagi.
Apakah maksudnya hakim sebenarnya berniat menerapkan sanksi maksimal (hukuman mati) atau sekurangnya hukuman penjara seumur hidup, tapi karena ada cercaan, makian, dan hinaan dari masyarakat, akhirnya tidak jadi?
Mengapa hakim seolah menyalahkan masyarakat? Bukankah cercaan, makian, dan hinaan sesuatu hal yang wajib "dinikmati" oleh mereka yang berperilaku sama dengan Juliari?
Tidakkah hakim sadar dan paham bahwa semua itu dilakukan masyarakat secara spontan tanpa disuruh maupun diarah-arahkan?
Kalau hakim menjadikan derita cercaan, makian, dan hinaan sebagai alasan meringankan untuk Juliari, lalu bagaimana dengan Akil Mochtar, Adrian Waworuntu, dan Teddy Hernayadi?Â
Mengapa dulu ketiganya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup padahal mengalami cercaan, makian, dan hinaan seperti yang dialami Juliari?
Pertanyaan pentingnya adalah, apakah alasan meringankan yang berlaku bagi Juliari saat ini bakal diberlakukan juga kepada para koruptor berikutnya?Â
Semoga tidak. Sebab bila demikian, maka sebaiknya publik tidak boleh lagi mencerca, memaki, dan menghina koruptor, supaya keberanian hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan tidak tergoyahkan.
Sekian. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H