Di saat negeri ini sedang sibuk dan pusing mencari cara untuk mengatasi pandemi Covid-19, tiba-tiba kemarin, Senin (1/2/2021), Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bicara soal adanya pihak di lingkaran istana yang hendak melakukan kudeta di tubuh Partai Demokrat.
Kudeta yang dimaksud di sini adalah pengambilalihan jabatan AHY selaku ketua umum, untuk diisi oleh yang bersangkutan, dan Partai Demokrat akan dijadikan sebagai kendaraan politik menuju Pilpres 2024. Siapakah yang bersangkutan itu?
Secara terang, AHY tidak menyebutkan nama. Akan tetapi, setelahnya, beberapa kader dan pengurus Partai Demokrat mengungkap nama mantan Panglima TNI yang kini menjabat Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Jenderal (Purn) TNI Moeldoko.
Dalam pidatonya, AHY menjelaskan, keinginan Moeldoko difasilitasi segelintir kader dan mantan kader Partai Demokrat. Mereka sekian kali bertemu Moeldoko membahas situasi internal Partai Demokrat. Gerakan kudeta disinyalir dilakukan secara sistematis.
Sebenarnya, tidak hanya itu, AHY juga mengaku telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk kemudian memberikan klarifikasi benar tidaknya Moeldoko mau mengkudeta AHY.
Mengaku mengirim surat, tidakkah AHY bermaksud menunggu balasan dari Presiden Jokowi? Mengapa tidak ditunggu apa hasilnya? Bukankah dengan bicara di hadapan publik, AHY otomatis membatalkan pengiriman surat? Sungguh kurang bijak, bukan?
Maka menurut saya, dengan mengetahui AHY bertindak begitu, sebaiknya Presiden Jokowi tidak perlu lagi menanggapi. Surat dibuang saja ke tong sampah. Buat apa dibaca dan ditanggapi, toh AHY dan Partai Demokrat sudah menggelar perkara di depan umum.
Mendengar pernyataan AHY dan Partai Demokrat ini, menjadi jelas pula bagi saya makna dan arah cuitan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, sehari sebelumnya, Minggu (31/1/2021), di mana masih teka-teki.
Berikut bunyi cuitan SBY: "Bagi siapapun yang memegang kekuasaan politik, pada tingkat apapun, banyak cara berpolitik yang lebih bermoral & lebih beradab. Ada 3 golongan manusia, yaitu 'the good', 'the bad' & 'the ugly'. Kalau tidak bisa menjadi 'the good' janganlah menjadi 'the ugly'. *SBY*".
Tegasnya, cuitan SBY ternyata menjadi pengantar pernyataan AHY, dan membuka misteri perihal siapa sosok pemegang kekuasaan politik di pemerintahan yang dianggap abai moral dan adab.
Respon Moeldoko dan Pesan "The Good" SBY
Namanya disebut terbuka, akhirnya Moeldoko bersuara. Ia tidak menepis kabar jika dirinya pernah bertemu kader dan mantan kader Partai Demokrat. Baginya, berbicara dengan setiap orang dari segala lapisan, semacam hal biasa, bahkan bila itu menyangkut persoalan politik.
Namun satu hal penting yang ditegaskan Moeldoko, permintaan untuk tidak membawa-bawa nama Presiden Jokowi. Urusannya dengan Partai Demokrat murni masalah pribadi. Tidak juga urusan KSP.
Malah, dalam keterangannya, Moeldoko mengajak AHY bersikap bijaksana dan tidak "baper". Maknanya, isu kudeta di Partai Demokrat sesungguhnya sejenis aib, yang mana ia terlibat berkubang di dalamnya.
Tentu pertanyaannya adalah, andai betul Moeldoko punya rencana "menggulingkan" AHY dari posisi ketua umum, bagaimana caranya? Bukankah berarti di sana bakal ada peran besar para kader dan mantan kader Partai Demokrat nantinya?
Sebab faktanya, Moeldoko belum berstatus kader ataupun pengurus di partai politik manapun. Mengapa AHY tidak menindak tegas di "ruang tertutup" para kader dan mantan kader, ketimbang membongkar aib ke ruang publik?
Mengapa AHY tidak lebih dahulu menimba hikmah pesan menjadi "the good" dari SBY, sehingga hal itu tidak hanya menjadi milik Moeldoko dan pihak-pihak lain di luar Partai Demokrat? AHY bukan orang biasa. Ia adalah pemimpin.
Sehingga, manakala AHY ingin menguatkan posisinya, yang perlu diwaspadai dan ditertibkan adalah anggota keluarga besar Partai Demokrat sendiri. Ancaman dari dalam lebih berbahaya daripada dari luar. Maka kurang tepat istilah "kudeta". Baiknya "makar politik".
Moeldoko dan Partai Demokrat
Berikutnya, seberapa pentingkah Partai Demokrat di mata Moeldoko sehingga mau menjadikannya sebagai kendaraan politik menyongsong Pilpres 2024? Sekali lagi, kalau betul ia menginginkannya dan bercita-cita mau jadi presiden.
Seandainya Moeldoko membidik kursi presiden kelak, dan direstui oleh Presiden Jokowi, kiranya pasti ada "kendaraan" dan cara lain yang bisa digunakan untuk meraihnya.
Bukan bermaksud meremehkan keberadaan dan kondisi Partai Demokrat sekarang, namun fakta membuktikan bahwa namanya kian merosot dan mulai hilang dari peredaran.
Bagaimana mungkin Moeldoko mau bersusah payah ikut mengangkat eksistensi Partai Demokrat? Selemah itukah dirinya sehingga dianggap belum tentu mampu mendirikan sebuah partai politik?
Izinkan saya menduga, bahwa jangankan kalangan Partai Demokrat, para kader dari partai lain tentu berharap juga Moeldoko masuk bergabung ke partai mereka. Siapa sih yang meragukan Moeldoko? Di samping rekam karir cemerlang di militer, ia juga mumpuni dalam memimpin.
Berikutnya, apa benar Moeldoko bisa dengan gampang menembus benteng pertahanan di tubuh Partai Demokrat untuk merampas posisi AHY, sementara di sana ada SBY yang pengaruhnya begitu kuat? Semua orang tahu, AHY jadi ketua umum karena SBY.
Posisi AHY, Ujian Kepemimpinan, dan Peningkatan Kapasitas
Kembali ke judul tulisan, saya menganggap dengan munculnya isu kudeta, menjadi bukti bahwa Partai Demokrat sedang mengalami krisis kepemimpinan dan kepercayaan.
Maksudnya begini. Beberapa kader dan mantan kader Partai Demokrat membicarakan persoalan internal. Tidakkah bermakna jika kepemimpinan AHY diragukan? Mengapa mereka sampai meminta bantuan eksternal? Salahkah mereka melakukannya?
Menurut saya, yang namanya politik, hal-hal seperti itu sebuah kewajaran. Sebab, yang diperjuangkan sebuah partai politik bukan hanya kepentingan pribadi para pemimpin (jelasnya, kelanggengan posisi sang ketua umum), tetapi juga misi di masa mendatang.
Apa iya demi mempertahankan jabatan AHY, maka para kader Partai Demokrat dilarang "berpikir liar", semisal mencari sosok menarik untuk dijual? Sadarkah AHY (dan SBY), bahwa di balik ulah anggotanya, terungkap ketidakpercayaan terhadap dirinya?
Intinya, meskipun berstatus ketua umum, AHY dirasa belum layak "dijual", di samping diragukan kepemimpinannya. Maka dari itu, ketimbang membuat "kegaduhan politik" di masa pandemi ini, ada baiknya AHY memanfaatkan waktu untuk menempa diri supaya semakin berwibawa.
Sila pembaca mampir ke akun Twitter AHY. Di sana terdapat unggahan status terbaru, yang berisi rilis pidatonya, kemarin. Sungguh aneh, AHY membuka pidato (poin pertama dan kedua) dengan menyampaikan keprihatinan atas bencana alam dan wabah Covid-19 yang melanda negeri.
Andaikata saya berada di posisi AHY, saya pastikan tidak mengeluarkan pernyataan soal keprihatinan mengenai bencana alam dan pandemi. Karena memang tujuan saya sekadar "mencari perhatian".
Buat apa saya mengaku prihatin, sementara sikap dan tindakan saya justru bermaksud merusak fokus publik? Percuma. Di saat semua orang pusing tidak karuan memikirkan pandemi, saya malah bicara posisi saya di partai politik dan keinginan jadi presiden.
Pilpres 2024 masih jauh. Sebaiknya AHY memperkuat soliditas internal Partai Demokrat, menempa diri, belajar (lagi) tentang kepemimpinan dan cara-cara menjaga kepercayaan, serta tidak lupa berkontribusi mengenyahkan pandemi. Biarkan dulu berita "kudeta-kudetaan" itu milik Myanmar.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H