Tersiar kabar, Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat, Benny Wenda, telah mendeklarasikan kemerdekaan Papua Barat (juga meliputi Papua) serta pembentukan pemerintahan sementara di sana.
Deklarasi itu dilakukan pada Selasa, 1 Desember 2020, menyesuaikan tanggal perayaan "kemerdekaan" Papua Barat dari kolonial Belanda pada 1 Desember 1961. Oleh ULMWP, Benny Wenda diangkat sebagai presiden sementara (interim) Republik Papua Barat.
Atas deklarasi dan pembentukan pemerintahan sementara tersebut, Benny Wenda dan ULMWP mengumumkan bahwa kehadiran pemerintah Indonesia dan aparat keamanan di Papua Barat dinyatakan ilegal dan tidak lagi dipatuhi.
"Ini hari yang sangat penting bagi rakyat saya. Kami sekarang memulihkan kedaulatan kami dan pemerintah sementara kami di Papua Barat. Dengan kemerdekaan ini, kami tidak mematuhi aturan dan hukum Indonesia yang diberlakukan kepada kami saat ini," kata Benny Wenda, di laman ULMWP.
Indonesia diminta angkat kaki dari tanah Papua Barat. Benny Wenda menyebutkan, pemerintahan sementara sedang memobilisasi rakyat untuk mencapai referendum kemerdekaan, dan kemudian mengendalikan wilayah serta melaksanakan pemilihan umum yang demokratis.
Dalam menjalankan upaya kemerdekaan penuh Papua Barat, Benny Wenda juga meminta campur tangan negara asing, khususnya Australia untuk memberi dukungan.
"Papua Barat menghadapi krisis dan kami membutuhkan pemain besar seperti Australia untuk mendukung kami. Sangat penting bagi Australia untuk memainkan peran besar," lanjut Benny Wenda.
Lalu, entah mewakili suara pemerintah Australia atau bagaimana, Jennifer Robinson, seorang pengacara Australia yang telah membentuk Pengacara Internasional untuk Papua Barat mengungkapkan, deklarasi Benny Wenda merupakan awal perjalanan Papua Barat menuju kemerdekaan.
"Tujuannya adalah mereka akan menjalankan kekuasaan untuk mengatur diri mereka sendiri, dan mengatur diri mereka sendiri di Indonesia. Ini adalah awal dari apa yang saya pikir akan menjadi jalan mereka menuju kemerdekaan," ungkap Jennifer.
Menanggapi deklarasi dan terpilihnya Benny Wenda sebagai presiden interim Papua Barat, Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri melayangkan bantahan dan kecaman. Juru Bicara Kemenlu, Teuku Faizasyah mempertanyakan legitimasi kuasa Benny Wenda atas Papua Barat.
"Dengan dalih apa seorang bernama Benny Wenda membuat status memproklamasikan diri sebagai wakil rakyat Indonesia di Papua? Proses pemindahan kekuasaan atau pengembalian Papua dari Belanda ke Indonesia oleh PBB, termasuk melalui adopsi resolusi PBB," ujar Teuku Faizasyah.
Memperjelas apa yang dikatakan Teuku Faizasyah, bahwa benar, sejak 59 tahun silam Papua Barat sudah menjadi bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meski baru resmi diakui dunia internasional pada 1 Mei 1963.
Administrasi Papua (termasuk Papua Barat) telah diserahkan secara sah kepada Indonesia oleh Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).
Dan bahkan ketika beberapa tahun kemudian masih ada kesempatan bagi rakyat Papua untuk "merenung", tepat pada 2 Agustus 1969, di mana digelarnya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), musyawarah rakyat memilih menjadi bagian dari Indonesia ketimbang merdeka.
Siapakah Benny Wenda itu? Apa sebenarnya dasar baginya sehingga kukuh memerdekakan Papua Barat? Mengapa ia berani mengatasnamakan warga Papua Barat, sementara dirinya berstatus warga negara Inggris sejak 2003?
Apakah cuma Kemenlu yang membantah keras klaim Benny Wenda? Apakah betul mayoritas warga Papua Barat setuju dan mau mengikuti keinginan Benny Wenda?
Sebelum membahas dasar bagi Benny Wenda, ada baiknya dunia mengetahui bahwa klaim dan deklarasi Benny Wenda ternyata ditentang keras oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
TPNPB-OPM menolak deklarasi dan menyampaikan mosi tidak percaya kepada Benny Wenda. Mereka menganggap Benny Wenda memihak kepentingan kapitalis asing serta telah melanggar hukum internasional. Mereka tahu, Benny Wenda sudah bukan lagi warga Papua Barat.
Penentangan terhadap Benny Winda diungkap langsung oleh Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambon. Posisi Benny Wenda sebagai presiden interim dipertanyakan, lantaran diumumkan di Inggris dan sepihak.
"Benny Wenda adalah warga negara Inggris, dan menurut hukum internasional, negara asing tidak bisa menjadi Presiden Republik Papua Barat. Klaimnya di negara asing itu sangat tidak benar dan tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia," tegas Sebby.
Artinya di sini apa? Jangankan mewakili suara seluruh warga Papua Barat, Benny Wenda sendiri tidak berhak membawa nama OPM, karena jelas ia merupakan warga negara Inggris. Soal bagaimana konflik kepentingan antara Benny Wenda dan OPM, biarlah itu menjadi urusan keduanya.
Kembali lagi, usai berstatus warga negara asing, apa sebenarnya dasar bagi Benny Wenda sehingga terus-menerus mengganggu kedaulatan dan keutuhan NKRI dengan cara memerdekakan Papua Barat? Tidakkah jelas ia melanggar hukum internasional?
Tentunya, pemerintah Indonesia lebih tahu soal ini. Termasuk bagaimana juga "kegenitan" negara lain yang campur tangan membela Benny Wenda dalam mewujudkan impiannya.
Dari informasi yang dihimpun di berbagai sumber, Benny Wenda adalah warga negara Inggris, yang lahir dengan status suku Lani, Papua pada 17 Agustus 1974, dan dibesarkan dalam suasana damai di alam pegunungan. Berarti usianya sekarang 46 tahun.
Lahir, besar, dan mengenyam pendidikan hingga sarjana di Tanah Papua. Selama berada di tanah kelahirannya, Benny Wenda mengaku prihatin melihat kondisi hidup masyarakat di sekitarnya yang melarat dan terdiskriminasi pihak militer di masa pemerintahan Soeharto.
Akhirnya kala rezim orde baru tumbang pada 1998, Benny Wenda mengambil kesempatan untuk memberontak terhadap pemerintah Indonesia. Ia membentuk kelompok bersama rekan-rekannya dan mengangkat senjata melawan aparat, dengan misi memerdekakan Papua.
Sembari menentang dan melawan, Benny Wenda tidak lupa juga melakukan lobi khusus kepada pemerintah, yang kemudian berhasil pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Oleh Megawati, Papua lalu diberi status sebagai daerah otonomi khusus. Namun rupanya Benny Wenda tidak puas, tetap saja melakukan perlawanan. Kemerdekaan Papua tetap dituntutnya. Mapolsek Abepura pun diserangnya pada 7 Desember 2000.
Karena sulit mentolerir ulah Benny Wenda yang mengacaukan keamanan, pemerintah lantas memutuskan menangkap dan menahan Benny Wenda pada 6 Juni 2002, di Jayapura. Masa hukumannya selama 25 tahun penjara.
Lagi-lagi Benny Wenda tidak jera, ia malah membobol penjara (menjebol ventilasi) dan berhasil melarikan diri pada 27 Oktober 2002 menuju Papua Nugini. Pelariannya ternyata turut dibantu oleh LSM Eropa.
Setelah tinggal di Papua Nugini selama beberapa saat, Benny Wenda kemudian kabur ke Inggris dan mencari suaka di sana, tepatnya di Kota Oxford, masih 2002. Ia membawa istri dan anak-anaknya. Izin mendapat suaka pun diterima Benny Wenda pada 2003.
Pertanyaannya, apakah sepanjang itu Benny Wenda bersikap diam? Tidak. Ia terus menggalang dukungan dari negara-negara tertentu agar keinginannya memerdekakan Papua Barat terwujud. Bahkan terlihat jelas sekarang, bahwa sebuah negara kecil, yakni Vanuatu dilibatkannya.
Publik juga tahu, Benny Wenda yang sempat masuk daftar pencarian orang (DPO) pada 2011 (dan dihapuskan lagi pada 6 Agustus 2012 oleh Interpol karena kasusnya dinilai urusan politik), tidak sebatas menerima anugerah kewarganegaraan Inggris.
Dewan Kota Oxford justru menghadiahkan Benny Wenda penghargaan "Oxford Freedom of The City Award", dengan predikat "pengampanye damai untuk demokrasi", pada 17 Juli 2019, di mana mestinya diketahui bahwa gerakan Benny Wenda merongrong keutuhan negara lain, Indonesia.
Untuk mengklarifikasi tindakan Dewan Kota Oxford yang ditentang oleh pemerintah Indonesia, Kementerian Luar Negeri Inggris menjelaskan, pengakuan mereka soal kedaulatan Indonesia atas Papua tidak berkurang hanya karena pemberian penghargaan kepada Benny Wenda.
"Keberadaan Benny Wenda di Inggris bukan berarti bahwa pemerintah Inggris mendukung posisinya mengenai kedaulatan Papua. Tidak ada perubahan posisi mengenai Papua yang selama ini kami pegang. Kami mendukung integritas teritorial Indonesia dan mengakui Papua sebagai sebuah bagian keutuhan Indonesia," papar Kemenlu Inggris di situs resmi (18/7/2019).
Tidak mendukung posisi Benny Wenda di Papua, akan tetapi memberi penghargaan atas "ulah" warganya itu mencampuri urusan internal Indonesia, bukankah sikap pemerintah Inggris ini patut dipersoalkan?
Maka dari itu, hemat penulis, dalam menyikapi deklarasi kemerdekaan dan pembentukan pemerintahan sementara di Papua Barat oleh Benny Wenda, pemerintah Indonesia sebaiknya perlu juga melacak sisi campur tangan negara lain dan bersikap tegas menghentikannya.
Rasanya tidak berlebihan mengatakan bahwa, setidaknya ada 3 (tiga) negara asing, yakni Inggris, Australia, dan Vanuatu, sudah terang-terangan mendukung gerakan Benny Wenda dan kelompoknya. Terlepas apakah satu atau lebih di antara negara itu belum bersikap seutuhnya.
Utamanya terhadap Inggris dan Australia, pemerintah Indonesia wajib melakukan "tekanan bilateral" bilamana dibutuhkan. Bagaimana mungkin Inggris membiarkan Benny Wenda berakrobat bebas tanpa dikendalikan?
Bagaimana pula seorang pengacara Australia (Jennifer Robinson) secara terbuka mendukung deklarasi Benny Wenda yang ingin mencabik-cabik keutuhan NKRI? Jennifer harus diingatkan agar tidak berlindung di balik lembaga yang dibentuknya untuk merusak rumah tangga negara lain.
Hal selanjutnya yang mesti dipahami pemerintah Indonesia adalah, bahwa deklarasi Benny Wenda bisa jadi semacam jebakan terbaru, dengan harapan aparat Indonesia nanti mau semakin agresif dan represif di Papua Barat.
Pemerintah dan aparat Indonesia tidak boleh salah tindakan. Di samping terus mengambil hati warga Papua Barat, langkah-langkah strategis dan efektif lainnya harus dilakukan.
Dan satu hal lagi, di samping Benny Wenda, masih ada individu lain yang turut mengobok-obok Indonesia di luar negeri (Australia), yaitu Veronica Koman. Di media sosial, orang ini terang memposisikan diri sebagai "mata" dan penyokong "informasi sesat" terhadap kelompok Benny Wenda.
Penulis pribadi kurang tahu, apakah Veronica Koman masih berstatus WNI atau seperti apa, namun mestinya status kewarganegaraannya harus dipertegas oleh pemerintah Indonesia. Kontribusinya di gerakan Benny Wenda tidak boleh diremehkan.
Kalau memang Veronica Koman sudah memenuhi syarat untuk ditanggalkan status WNI-nya, sebaiknya pemerintah Indonesia segera melakukannya. Ia tidak pantas lagi menyandang status WNI di luar negeri.
Langkah antisipatif untuk mencegah pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab di dalam negeri, yang ingin memanfaatkan persoalan Papua Barat dengan modus apa pun perlu dijalankan. Musuh itu tidak hanya berada di tempat jauh, melainkan ada juga di dalam "selimut".
Oleh karena ini pula, semua warga, baik di Papua, Papua Barat, dan di seluruh Indonesia, janganlah terhasut provokasi dan propaganda yang dilancarkan oleh Benny Wenda dan kelompoknya.
Rakyat Indonesia, khususnya di Bumi Cendrawasih harus mampu memilah, mana pihak yang benar-benar memperjuangkan nasib mereka, dan mana pula yang mengatasnamakan nasib warga demi keuntungan pribadinya (dan kelompok) lewat cara memecah-belah persatuan di tanah air.
Poin terakhir, mengulang bagian sebelumnya. Pemerintah Indonesia harus memastikan hati warga Papua Barat tidak "ke mana-mana". Artinya, perhatian lebih wajib konsisten diberikan kepada mereka.
Upaya membuka mata dan mengetuk hati dunia internasional untuk melihat dan merasakan bahwa Papua Barat sungguh "anak kandung" Indonesia, sejatinya tidak boleh berhenti gara-gara ulah Benny Wenda. Sekian.
***
Referensi: [1] [2] [3] [4] [5] [6] 7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H