Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Saya Terpaksa Menolak Jabatan Komisaris dari Presiden Jokowi

2 November 2020   12:44 Diperbarui: 2 November 2020   13:09 2200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melansir KOMPAS.com (28/10/2020), sepanjang Oktober 2020, Menteri BUMN Erick Thohir dikabarkan telah mengangkat sejumlah komisaris baru di 3 (tiga) Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Mereka antara lain Ulin Ni'am Yusron (komisaris independen Indonesia Tourism Development Corporation/ ITDC atau PT Pengembangan Pariwisata Indonesia), Eko Sulistyo (komisaris PT PLN), dan Dyah Kartika Rini (komisaris independen PT Jasa Raharja).

Menanggapi keputusan Erick tersebut, sebagian kalangan menilai terdapat unsur balas budi, sebab ketiga orang tadi memang berasal dari kelompok relawan pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019.

Meski sudah dikomentari "miring" oleh publik, ternyata relawan Projo (Pro Jokowi) malah meminta Erick tidak menghiraukan, tetapi sebaliknya menambah jumlah relawan untuk jadi pejabat di BUMN.

Menurut Sekretaris Jenderal Projo, Handoko, masih banyak relawan yang kompeten dan pantas duduk di kursi penting BUMN. Berstatus "relawan" justru sangat baik. Karena selain berkapasitas, relawan juga pasti akan lebih gigih membantu realisasi program-program pemerintah.

Pertanyaan saya, siapa bilang cuma Ulin, Eko, dan Dyah yang dipanggil untuk diangkat jadi komisaris di BUMN? Jika ditelusuri, sebenarnya ada nama-nama relawan lainnya yang sedang menjabat ataupun ditawari jabatan di BUMN. Sila cari di berbagai sumber untuk lebih tahu.

Beberapa waktu lalu, saya pernah mendapat tawaran serupa, cuma tidak terendus media. Saya juga enggan mengumbar ke publik, khawatir menimbulkan kecemburuan di antara para relawan.

Kemungkinan, pengangkatan Ulin, Eko, dan Dyah jadi komisaris independen di BUMN hanya lewat perantaraan Erick Thohir selaku menteri, atau bahkan jangan-jangan diwakili oleh jajaran direksi perusahaan saja. Belum tentu juga ada sajian makan bersama kala itu.

Namun dengan saya, beda. Saya bertemu langsung Presiden Jokowi, di mana beliau didampingi oleh Sekretaris Negara, Pratikno dan Sekretaris Kabinet Indonesia Maju (KIM), Pramono Anung.

Kami berempat bertatap muka kurang-lebih satu jam, 30 menit bicara serius, sementara 30 menit sisanya kami habiskan untuk makan malam sambil ngobrol santai. Ya, saya ke istana pada sore hari.

Jujur, sebelum ke istana, undangan ke saya tidak lewat telepon atau semacamnya, tapi dalam bentuk surat. Saya maklum, pihak istana belum tahu nomor telepon saya. Dan untung saja undangan dikirim jauh-jauh hari, sekitar satu mingggu, sehingga saya datang tepat waktu sesuai jadwal.

Posisi duduk kami saling berhadapan. Di atas meja bundar tersaji air mineral dan banyak macam makanan ringan. Lima menit sebelum Presiden Jokowi datang, saya sempat berbincang dengan Pratikno dan Pramono. Mereka berdua bertanya perihal kegiatan saya sehari-hari.

Presiden Jokowi datang, dan kedua orang kepercayaannya tadi berdiri mempersilahkan untuk duduk. Saya sendiri tidak melakukan hal yang sama, sebab saya kurang familiar protokol di istana, di samping saya juga sedang diselimuti rasa gugup.

Usai duduk, Presiden Jokowi melihat saya sambil tersenyum. Saya pun membalasnya. Saya bingung mau berkata apa sebagai sapa pembuka. Akhirnya Pratikno langsung memulai pembicaraan. Saya diperkenalkan kepada Presiden Jokowi. Gugup saya semakin menjadi-jadi.

Pratikno selesai bicara, saya diberi kesempatan memperkenalkan diri kembali. Dan apa yang terjadi? Saya salah tingkah. Lupa menyalami tangan Presiden Jokowi. Harusnya sewaktu beliau datang, saya melakukannya.

Saya berdiri lagi dan mengulurkan tangan bersalaman. Pramono sampai tertawa melihat gerak-gerik saya. Saya menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, status perkawinan, dan seterusnya. Cuma, pada sesi itu, ada peristiwa yang membekas di benak saya hingga detik ini. Presiden Jokowi salah menyebutkan nama lengkap saya.

"Nama lengkapnya Tuhombowu ya, pak?," kata beliau menyela saya.

"Ma'af, Pak. Enggak usah panggil saya 'bapak'. Nama lengkap saya 'Tuhombowo Wau', Pak. Nama panggilannya 'Tuho', Pak," jawab saya menyahut beliau.

"Ndak masalah, wong situ juga sudah bapak-bapak kok. Baik, Pak Tuho. Jadi begini, di sini memang Pak Erick ndak hadir. Cuma ndak masalah, nanti saya teruskan ke beliau. Saya tahu bapak pernah dukung saya di Pilpres, dan ini bukan soal milah-milih mana yang layak. Saya punya cukup informasi kalau bapak bisa diajak membantu saya dan Pak Ma'ruf, tapi bukan di sini (istana). Nanti Pak Erick bisa atur di BUMN," papar beliau.

"Tapi Pak, saya kan kurang paham birokrasi pemerintah, apalagi urusan BUMN. Maksudnya jadi komisaris gitu, Pak?", sela saya.

"Ya, nanti ada penjelasan tugas. Yang penting situ mau bantu. Tinggal pilih mana yang cocok," sambung beliau sambil membaca selembar kertas yang disodorkan Pratikno.

"Mmm.. boleh sih, Pak. Tapi kalau bisa, saya milihnya Jiwasyara boleh enggak, Pak?," timpal saya.

"Memangnya kenapa milih itu?," tanya beliau dengan kening mengerut.

"Saya tertarik saja, Pak. Soalnya saya suka korupsi. Maksudnya, saya kayaknya cocok di sana karena sedikit mengikuti perkembangan kalau sedang ada yang perlu dibenahi. Bukan suka korupsi, Pak. Ralat," sahut saya.

"Bisa, tapi menurut saya jangan itu. Perusahaan itu lagi dibenahi habis, mulai dari awal, jadi agak berat. Nanti biar yang lain saja," ujar beliau.

"Saya belum tahu perusahaan mana yang lebih pas, Pak. Atau begini, Pak. Bukan saya tidak menghargai kepercayaan bapak. Tapi saya sadar jika sekarang ini kompetensi yang saya miliki belum memadai untuk ditempatkan di BUMN. Saya mohon supaya bapak berkenan menempatkan saya sebagai komisaris bagi semua usaha di BUMN, termasuk buat kabinet bapak," ungkap saya.

"Maksudnya bagaimana? Mana ada komisaris semacam itu?," tanya beliau keheranan.

"Maksudnya, karena Jiwasraya belum direkomendasikan, jadi saya pilih berada di luar pemerintahan saja, Pak. Sebenarnya, jauh sebelum bapak memanggil saya ke sini, saya sudah memerankan tugas komisaris itu. Saya kerap menuliskan saran dan kritik bagi pemerintahan bapak dan BUMN. Saya kebetulan Kompasianer. Bukankah mirip tugas seorang komisaris, Pak? Moga-moga bapak pernah membaca tulisan jelek saya," jelas saya.

"Oh, ya sudah. Itulah yang seharusnya diperankan para mantan relawan, tidak pamrih. Moso ngaku relawan tapi nyatanya enggak rela? Betul, ndak? Ndak mungkin saya mengakomodir kepentingan seluruh relawan di pemerintahan. Saya juga tidak mau disebut cuma memihak relawan. Biar kita bangun negeri lewat cara masing-masing. Mereka yang akhirnya masuk di kabinet atau BUMN juga saya minta tetap kritis, tidak asal pencitraan demi menyenangkan saya. Ya sudah, keputusan bapak, saya terima. Lanjutkan menulis di Kompasiana. Ingat, tetap kritik saya dan kasih saran-saran yang membangun, ya. Kalau begitu, mari kita makan malam dulu," kata beliau sembari berdiri menyalami saya.

Sajian makan malam sudah tersedia di meja berbeda. Menunya macam-macam. Kami berempat pun segera melahapnya, tak lupa mengawalinya dengan doa sesuai agama dan kepercayaan pribadi.

Para pembaca, jangan terlalu serius membaca tulisan ini. Cuma hasil fantasi liar. Mengenai pertemuan dengan Presiden Jokowi, betul pernah terjadi, tapi tahun lalu, tepatnya pada Juli 2019 di Istana Kepresidenan Bogor. Kala itu ada sarasehan bersama para relawan Jokowi-Ma'ruf Amin setelah Pilpres 2019.

Pesan saya lewat tulisan, khususnya buat para mantan relawan, marilah kita terus mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin tanpa perhitungan, tidak pamrih. Terpilih atau tidak untuk duduk di lembaga pemerintahan, entah di KSP, BUMN atau lainnya, biarlah menjadi pertimbangan dan keputusan Presiden atau para pembantunya di kabinet. Jangan ada yang "memaksa", seolah paling berjasa. Apalagi ngambek, jangan sampai terjadi.

Mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin tidak harus jadi pejabat. Banyak cara yang bisa kita lakukan. Dan dukungan pun tidak sebatas puja-puji. Kritik andai salah dan akui bila benar. Salam hangat.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun