"Memangnya kenapa milih itu?," tanya beliau dengan kening mengerut.
"Saya tertarik saja, Pak. Soalnya saya suka korupsi. Maksudnya, saya kayaknya cocok di sana karena sedikit mengikuti perkembangan kalau sedang ada yang perlu dibenahi. Bukan suka korupsi, Pak. Ralat," sahut saya.
"Bisa, tapi menurut saya jangan itu. Perusahaan itu lagi dibenahi habis, mulai dari awal, jadi agak berat. Nanti biar yang lain saja," ujar beliau.
"Saya belum tahu perusahaan mana yang lebih pas, Pak. Atau begini, Pak. Bukan saya tidak menghargai kepercayaan bapak. Tapi saya sadar jika sekarang ini kompetensi yang saya miliki belum memadai untuk ditempatkan di BUMN. Saya mohon supaya bapak berkenan menempatkan saya sebagai komisaris bagi semua usaha di BUMN, termasuk buat kabinet bapak," ungkap saya.
"Maksudnya bagaimana? Mana ada komisaris semacam itu?," tanya beliau keheranan.
"Maksudnya, karena Jiwasraya belum direkomendasikan, jadi saya pilih berada di luar pemerintahan saja, Pak. Sebenarnya, jauh sebelum bapak memanggil saya ke sini, saya sudah memerankan tugas komisaris itu. Saya kerap menuliskan saran dan kritik bagi pemerintahan bapak dan BUMN. Saya kebetulan Kompasianer. Bukankah mirip tugas seorang komisaris, Pak? Moga-moga bapak pernah membaca tulisan jelek saya," jelas saya.
"Oh, ya sudah. Itulah yang seharusnya diperankan para mantan relawan, tidak pamrih. Moso ngaku relawan tapi nyatanya enggak rela? Betul, ndak? Ndak mungkin saya mengakomodir kepentingan seluruh relawan di pemerintahan. Saya juga tidak mau disebut cuma memihak relawan. Biar kita bangun negeri lewat cara masing-masing. Mereka yang akhirnya masuk di kabinet atau BUMN juga saya minta tetap kritis, tidak asal pencitraan demi menyenangkan saya. Ya sudah, keputusan bapak, saya terima. Lanjutkan menulis di Kompasiana. Ingat, tetap kritik saya dan kasih saran-saran yang membangun, ya. Kalau begitu, mari kita makan malam dulu," kata beliau sembari berdiri menyalami saya.
Sajian makan malam sudah tersedia di meja berbeda. Menunya macam-macam. Kami berempat pun segera melahapnya, tak lupa mengawalinya dengan doa sesuai agama dan kepercayaan pribadi.
Para pembaca, jangan terlalu serius membaca tulisan ini. Cuma hasil fantasi liar. Mengenai pertemuan dengan Presiden Jokowi, betul pernah terjadi, tapi tahun lalu, tepatnya pada Juli 2019 di Istana Kepresidenan Bogor. Kala itu ada sarasehan bersama para relawan Jokowi-Ma'ruf Amin setelah Pilpres 2019.
Pesan saya lewat tulisan, khususnya buat para mantan relawan, marilah kita terus mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin tanpa perhitungan, tidak pamrih. Terpilih atau tidak untuk duduk di lembaga pemerintahan, entah di KSP, BUMN atau lainnya, biarlah menjadi pertimbangan dan keputusan Presiden atau para pembantunya di kabinet. Jangan ada yang "memaksa", seolah paling berjasa. Apalagi ngambek, jangan sampai terjadi.
Mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin tidak harus jadi pejabat. Banyak cara yang bisa kita lakukan. Dan dukungan pun tidak sebatas puja-puji. Kritik andai salah dan akui bila benar. Salam hangat.