Posisi duduk kami saling berhadapan. Di atas meja bundar tersaji air mineral dan banyak macam makanan ringan. Lima menit sebelum Presiden Jokowi datang, saya sempat berbincang dengan Pratikno dan Pramono. Mereka berdua bertanya perihal kegiatan saya sehari-hari.
Presiden Jokowi datang, dan kedua orang kepercayaannya tadi berdiri mempersilahkan untuk duduk. Saya sendiri tidak melakukan hal yang sama, sebab saya kurang familiar protokol di istana, di samping saya juga sedang diselimuti rasa gugup.
Usai duduk, Presiden Jokowi melihat saya sambil tersenyum. Saya pun membalasnya. Saya bingung mau berkata apa sebagai sapa pembuka. Akhirnya Pratikno langsung memulai pembicaraan. Saya diperkenalkan kepada Presiden Jokowi. Gugup saya semakin menjadi-jadi.
Pratikno selesai bicara, saya diberi kesempatan memperkenalkan diri kembali. Dan apa yang terjadi? Saya salah tingkah. Lupa menyalami tangan Presiden Jokowi. Harusnya sewaktu beliau datang, saya melakukannya.
Saya berdiri lagi dan mengulurkan tangan bersalaman. Pramono sampai tertawa melihat gerak-gerik saya. Saya menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, status perkawinan, dan seterusnya. Cuma, pada sesi itu, ada peristiwa yang membekas di benak saya hingga detik ini. Presiden Jokowi salah menyebutkan nama lengkap saya.
"Nama lengkapnya Tuhombowu ya, pak?," kata beliau menyela saya.
"Ma'af, Pak. Enggak usah panggil saya 'bapak'. Nama lengkap saya 'Tuhombowo Wau', Pak. Nama panggilannya 'Tuho', Pak," jawab saya menyahut beliau.
"Ndak masalah, wong situ juga sudah bapak-bapak kok. Baik, Pak Tuho. Jadi begini, di sini memang Pak Erick ndak hadir. Cuma ndak masalah, nanti saya teruskan ke beliau. Saya tahu bapak pernah dukung saya di Pilpres, dan ini bukan soal milah-milih mana yang layak. Saya punya cukup informasi kalau bapak bisa diajak membantu saya dan Pak Ma'ruf, tapi bukan di sini (istana). Nanti Pak Erick bisa atur di BUMN," papar beliau.
"Tapi Pak, saya kan kurang paham birokrasi pemerintah, apalagi urusan BUMN. Maksudnya jadi komisaris gitu, Pak?", sela saya.
"Ya, nanti ada penjelasan tugas. Yang penting situ mau bantu. Tinggal pilih mana yang cocok," sambung beliau sambil membaca selembar kertas yang disodorkan Pratikno.
"Mmm.. boleh sih, Pak. Tapi kalau bisa, saya milihnya Jiwasyara boleh enggak, Pak?," timpal saya.