Maka yang diharapkan di sini, wujud penerimaan dan pengakuan akan Yesus memang mestinya: "Ya, saya pengikut Kristus!" serta "Ya, saya siap mencontoh jalan hidup-Nya kapan pun dan di mana pun!".
Kembali ke pokok bahasan, siapakah yang "berhak" merayakan Natal? Mengapa harus merayakan Natal? Apa sebenarnya makna perayaan Natal? Menjawab tiga pertanyaan ini kiranya cukup bagi saya dan Anda untuk memahami apa itu Natal.
Pihak yang berhak merayakan Natal adalah umat Kristiani dan siapa saja yang berkenan, baik mereka yang menganut agama lain maupun yang tidak beragama sama sekali. Mengapa?
Pertama, bagi umat Kristiani, Natal merupakan momen untuk meluapkan ungkapan syukur atas pernah lahirnya Juruselamat, yang diimani dan dipercaya. Lewat perayaan, umat Kristiani diharapkan mampu mengingat kembali betapa besarnya kasih Allah kepada ciptaan-Nya sehingga Ia rela turun ke dunia "menyapa" mereka.
Menyapa berarti Allah mau memberi contoh nyata bagaimana seharusnya menjadi ciptaan yang baik, terutama umat manusia yang secitra dengan-Nya. Allah ingin menegaskan kembali seperti apa manusia berlaku sebagai ciptaan yang punya akal, budi, pikiran, hati nurani, dan iman yang benar.
Allah yang menjelma melalui Yesus memberi bukti bagaimana manusia hidup sesuai yang digariskan-Nya. Kehidupan manusia berada di bawah kendali-Nya yang wajib diterima, dijalani dan disyukuri. Baik itu dalam kondisi buruk atau pun baik, suka maupun duka.
Yesus yang "tergariskan" dan ikhlas menerima hidup susah sejak kecil hingga dewasa (lahir di palungan, dibesarkan keluarga miskin, dikucilkan banyak orang, dituduh melakukan kejahatan, serta dijatuhkan hukuman yang amat hina) mau mengingatkan manusia bahwa sesulit apa pun hidup, iman kepada Allah tidak boleh luntur dan terus diperjuangkan.
Sehingga saat merayakan Natal, umat Kristiani cukup meluapkan ungkapan syukurnya dengan berdoa, mengikuti upacara liturgi, berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara, berbagi kebahagiaan dalam bentuk rejeki terhadap mereka yang kesusahan tanpa memandang segala macam label yang melekat (suku, agama, ras, antargolongan, dan sebagainya), meninggalkan cara hidup lama (dosa), dan seterusnya.
Intinya perayaan Natal diharapkan sederhana, tidak berlebihan, namun bermanfaat. Sebab ringkasnya, bagaimana mungkin hari kelahiran Juruselamat yang diketahui sungguh memprihatinkan mau dirayakan dengan pesta besar dan pamer harta?
Berikutnya, mungkinkah bisa nyaman merayakan Natal secara sederhana dan berbagi rejeki, sementara saat mendengar ada larangan mengucapkan "Selamat Natal" saja emosi langsung tak terkendali dan ingin sekali berkonflik? Apa kata Yesus yang murah hati, pemaaf dan penuh kasih sayang jika menyaksikan sikap seperti itu?
Artinya, jangan sampai hal-hal yang tidak perlu dipersoalkan mengganggu kesiapan diri merayakan Natal. Masa Adven selama empat pekan sedianya bukan cuma dimanfaatkan untuk mengurus apa yang mau dimakan dan sudut ruangan bagian mana yang mau dihias, tetapi kesempatan mempersiapkan pikiran dan batin menyongsong Natal.