Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Inilah Makna Natal bagi Anda yang Merasa "Berhak" Merayakannya

24 Desember 2019   04:33 Diperbarui: 24 Desember 2019   13:07 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perayaan Natal di keluarga | Gambar: chinkeetan.com

Sejatinya, perayaan Natal bukan hanya milik umat Kristiani yang mengaku beriman dan percaya kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat, melainkan pula kepunyaan seluruh bangsa di muka bumi.

Menurut ajaran iman Kristiani (Alkitab), kehadiran Yesus yang disebut juga Imanuel, Mesias atau Isa Almasih ke dunia bertujuan untuk membawa kabar baik bagi siapa pun yang mau menerimanya.

"Lalu kata malaikat itu kepada mereka: Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud" (Lukas 2:10-11).

Bahwa kemudian kutipan Alkitab di atas menjadi bagian dari ajaran iman Kristiani, bukan berarti "kesukaan besar" tersebut eksklusif ditujukan kepada mereka yang semata bersedia dibaptis dan memilih gereja sebagai tempat ibadah.

Eksklusivitas umat Kristiani terletak pada penerimaan dan pengakuan terhadap Yesus sebagai "Allah yang menjelma menjadi manusia". Dan karena telah mengambil wujud manusia, maka umat Kristiani menyebut-Nya Putera Allah.

Oleh karena itu, diksi "Putera Allah" tidak perlu dibayangkan bahwa Allah beristri layaknya manusia. Atau diksi lain yakni "Allah Tritunggal" (Bapa, Putera, dan Roh Kudus) pun tidak boleh diartikan Tuhan umat Kristiani ada tiga.

Tuhan umat Kristiani tetap satu (esa), namun diimani memiliki tiga pribadi yang sederajat dan sehakikat (sekodrat, sesubstansi, seesensi). Allah diidentikkan Bapa yang penuh kasih, disebut Putera karena menjelma jadi manusia, dan dipercaya tetap berkarya (mencintai ciptaan) lewat Roh-Nya.

Sekali lagi, kehadiran Yesus yang merupakan "kesukaan besar" dan dimaknai sebagai tawaran keselamatan tertuju kepada siapa pun yang bersedia menerima. Kesediaan menerima Yesus tidak sebatas mau dibaptis, pergi ke gereja, dan membawa label agama ke mana-mana. Lebih daripada itu.

Menerima Yesus harus utuh. Penerimaan terhadap Yesus wajib sampai pada kesediaan mengikuti jalan hidup-Nya yang sederhana, murah hati, pemaaf, penuh kasih sayang, dan rela berkorban secara konsisten, dengan demikian memperoleh keselamatan.

Sehingga ketika ditanya siapakah yang sungguh menerima Yesus dan mendapat keselamatan, pengakuan (dangkal) tidaklah cukup dijadikan dasar atau alasan untuk menuntut jaminan.

Sebab ada yang mengaku menerima Yesus tetapi memilih jalan hidup yang bertolak belakang dari apa yang diteladankan-Nya. Ada juga yang "tidak mengakui" (artinya bukan umat Kristiani), tetapi fakta hidupnya malah sejalan dengan-Nya.

Maka yang diharapkan di sini, wujud penerimaan dan pengakuan akan Yesus memang mestinya: "Ya, saya pengikut Kristus!" serta "Ya, saya siap mencontoh jalan hidup-Nya kapan pun dan di mana pun!".

Kembali ke pokok bahasan, siapakah yang "berhak" merayakan Natal? Mengapa harus merayakan Natal? Apa sebenarnya makna perayaan Natal? Menjawab tiga pertanyaan ini kiranya cukup bagi saya dan Anda untuk memahami apa itu Natal.

Pihak yang berhak merayakan Natal adalah umat Kristiani dan siapa saja yang berkenan, baik mereka yang menganut agama lain maupun yang tidak beragama sama sekali. Mengapa?

Pertama, bagi umat Kristiani, Natal merupakan momen untuk meluapkan ungkapan syukur atas pernah lahirnya Juruselamat, yang diimani dan dipercaya. Lewat perayaan, umat Kristiani diharapkan mampu mengingat kembali betapa besarnya kasih Allah kepada ciptaan-Nya sehingga Ia rela turun ke dunia "menyapa" mereka.

Menyapa berarti Allah mau memberi contoh nyata bagaimana seharusnya menjadi ciptaan yang baik, terutama umat manusia yang secitra dengan-Nya. Allah ingin menegaskan kembali seperti apa manusia berlaku sebagai ciptaan yang punya akal, budi, pikiran, hati nurani, dan iman yang benar.

Allah yang menjelma melalui Yesus memberi bukti bagaimana manusia hidup sesuai yang digariskan-Nya. Kehidupan manusia berada di bawah kendali-Nya yang wajib diterima, dijalani dan disyukuri. Baik itu dalam kondisi buruk atau pun baik, suka maupun duka.

Yesus yang "tergariskan" dan ikhlas menerima hidup susah sejak kecil hingga dewasa (lahir di palungan, dibesarkan keluarga miskin, dikucilkan banyak orang, dituduh melakukan kejahatan, serta dijatuhkan hukuman yang amat hina) mau mengingatkan manusia bahwa sesulit apa pun hidup, iman kepada Allah tidak boleh luntur dan terus diperjuangkan.

Sehingga saat merayakan Natal, umat Kristiani cukup meluapkan ungkapan syukurnya dengan berdoa, mengikuti upacara liturgi, berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara, berbagi kebahagiaan dalam bentuk rejeki terhadap mereka yang kesusahan tanpa memandang segala macam label yang melekat (suku, agama, ras, antargolongan, dan sebagainya), meninggalkan cara hidup lama (dosa), dan seterusnya.

Intinya perayaan Natal diharapkan sederhana, tidak berlebihan, namun bermanfaat. Sebab ringkasnya, bagaimana mungkin hari kelahiran Juruselamat yang diketahui sungguh memprihatinkan mau dirayakan dengan pesta besar dan pamer harta?

Berikutnya, mungkinkah bisa nyaman merayakan Natal secara sederhana dan berbagi rejeki, sementara saat mendengar ada larangan mengucapkan "Selamat Natal" saja emosi langsung tak terkendali dan ingin sekali berkonflik? Apa kata Yesus yang murah hati, pemaaf dan penuh kasih sayang jika menyaksikan sikap seperti itu?

Artinya, jangan sampai hal-hal yang tidak perlu dipersoalkan mengganggu kesiapan diri merayakan Natal. Masa Adven selama empat pekan sedianya bukan cuma dimanfaatkan untuk mengurus apa yang mau dimakan dan sudut ruangan bagian mana yang mau dihias, tetapi kesempatan mempersiapkan pikiran dan batin menyongsong Natal.

Kedua, bagi siapa saja yang berkenan (penganut agama lain atau tidak beragama sama sekali), sesungguhnya bukan sebuah kewajiban bagi Anda untuk merayakan Natal, apalagi sampai terpaksa memakai atributnya. 

Keengganan Anda ikut berurusan dengan perayaan Natal karena dinilai tidak sesuai ajaran agama yang dianut, bisa dipahami. Atau Anda yang memilih hidup tanpa beragama sebab mungkin dianggap candu, dapat dimaklumi.

Namun satu hal yang patut Anda ingat bahwa ribuan tahun lalu, di muka bumi pernah lahir Seseorang (dengan sebutan nabi atau tokoh besar) yang akhirnya mempengaruhi peradaban umat manusia, meski tanggal dan bulan kelahiran-Nya tidak diketahui secara pasti. Maklum, waktu itu belum ada kalender atau penanggalan tetap.

Sekitar 2,4 miliar penduduk dunia saat ini terilhami oleh ajaran dan cara hidup-Nya. Tidak salah bila turut mengenang (menghargai) momen kelahiran-Nya tanpa harus ikut merayakan persis apa yang dilakukan umat Kristiani.

Selamat merayakan Natal 2019! Semoga damai dan sukacita menyertai kita semua. Amin.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun