Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Siap-siap! Mulai 2020 Anda Harus Ikut Sertifikasi Supaya Bisa Menikah

14 November 2019   08:39 Diperbarui: 18 November 2019   21:13 5847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | azbigmedia.com

Setiap orang di dunia ini tentu punya cita-cita dalam hidupnya. Pada umumnya cita-cita selalu terkait profesi atau jenis pekerjaan apa yang akan dilakukan ke depan.

Misalnya kalau sudah besar atau dewasa ingin menjadi pilot, dokter, pengacara, dosen, guru, tentara, polisi, diplomat, presiden, penulis, penyanyi, pengusaha, dan sebagainya.

Pokoknya cita-cita bermacam-macam, di mana masa timbulnya berbeda di setiap pribadi. Ada yang muncul sejak masa kecil, remaja dan bahkan saat beranjak dewasa. 

Cita-cita juga terkadang mengalami perubahan, tidak tetap. Misalnya saat kecil mau jadi dokter, ternyata pas masuk SMA beralih ingin jadi guru. Sewaktu SMP ingin jadi presiden, tapi faktanya cuma jadi seorang menteri.

Ada pula yang sudah jadi dokter tapi tiba-tiba mengubah haluan untuk menjadi pengusaha, atau kedua-duanya tetap dijalankan. Cita-cita bertahan atau berubah tidak masalah. Yang penting miliki terlebih dahulu.

Mengapa seseorang mesti punya cita-cita? Alasannya, supaya diri termotivasi untuk belajar dan berlatih sehingga apa yang diinginkan dalam hidup tercapai. Tanpa cita-cita, seseorang akan mudah patah semangat, rentan mengidap penyakit malas, cepat menyerah dan kehilangan arah hidup.

Tentu namanya cita-cita wajib positif. Tidak ada cita-cita ingin jadi perampok, preman, koruptor, pembunuh, dan sejenisnya. Karena hal itu mungkin menguntungkan diri sendiri, namun tidak dengan orang lain. 

Intinya cita-cita adalah panggilan hidup, yang sejatinya harus membawa manfaat bagi diri sendiri dan juga orang lain.

Itulah pemahaman singkat dan sederhana mengenai cita-cita. Akan tetapi, sadarkah bahwa sesungguhnya masih ada bentuk panggilan hidup lain yang jarang sekali orang sebut? Apa itu? Menikah atau berkeluarga.

Panggilan hidup yang satu ini jarang disebut karena memang hampir tidak pernah ditanyakan untuk dijawab dan tidak dirasa penting untuk diungkap. Umpamanya di sekolah, ketika ada pembahasan soal cita-cita, maka ujungnya selalu menyangkut beragam profesi, seperti yang telah diuraikan di atas.

Padahal memilih hidup berkeluarga (menikah) atau tidak, termasuk bagian dari cita-cita. Setiap orang akan dihadapkan pada dua pilihan tersebut. Dan pada dasarnya, menikah berarti terarah pada kelahiran anak (keturunan). 

Kecuali mereka yang mengalami gangguan kesehatan atau pun sekadar menikmati hidup bersama pasangan sambil berbagi cinta dan sumber daya.

Sementara orang yang memutuskan tidak menikah itu contohnya mereka yang menjadi biarawan-biarawati di agama tertentu, atau mungkin keputusan pribadi yang alasannya sulit dijelaskan.

Mengejar cita-cita bukan persoalan mudah. Untuk menjadi seorang dokter perlu belajar keras sejak dini agar kelak bisa diterima di perguruan tinggi yang mensyaratkan hal itu. Istilahnya ada lembaga pendidikan sebagai sarana persiapan.

Dan sudah jadi dokter pun, supaya makin terampil dan profesional, mesti mengambil pendidikan spesialis. Ini salah satu contoh dari sekian banyak cita-cita berupa profesi atau jenis pekerjaan.

Lalu bagaimana dengan cita-cita menikah (berkeluarga dan memiliki anak), bukankah lebih rumit lagi? Mengapa tidak tersedia sekolah khusus persiapan pernikahan padahal dengan dinyatakan lulus dari sana pun (seandainya ada) belum tentu berhasil pula pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari?

Menikah penuh dinamika yang cukup kompleks. Di samping membahagiakan pasangan (lahir dan batin), tujuan lain dari pernikahan adalah untuk menghadirkan manusia baru (keturunan) yang diharapkan semakin berkualitas dari segi kesehatan (fisik, psikis, dan lainnya), kesejahteraan dan pendidikan.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hidup menikah bukan pilihan sembarang. Sebelum diputuskan wajib pikirkan baik-baik serta butuh persiapan secara matang.

Barangkali untuk mengantisipasi ketiadaan sekolah khusus pernikahan tadi, di masing-masing agama sebenarnya sudah ada semacam kegiatan yang memfasilitasi para penganutnya untuk mempersiapkan diri. Istilahnya berbeda-beda tentunya.

Namun ada kabar aktual bahwa pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) akan membuat sebuah kebijakan baru.

Kebijakannya yakni mulai 2020 setiap pasangan yang hendak menikah wajib memiliki "lisensi" atau sertifikat. Tampaknya mirip dengan aturan yang berlaku bagi para pengemudi kendaraan, harus ada surat izin mengemudi (SIM).

Nantinya kebijakan tersebut bakal dituangkan dalam bentuk program sertifikasi pernikahan (perkawinan). Setiap pasangan wajib mengikuti kursus (kelas atau bimbingan pra-nikah) supaya mendapat sertifikat yang kemudian digunakan sebagai syarat melangsungkan pernikahan.

"Jadi sebetulnya setiap siapa pun yang memasuki perkawinan mestinya mendapatkan semacam upgrading tentang bagaimana menjadi pasangan berkeluarga. Untuk memastikan bahwa dia memang sudah cukup menguasai bidang-bidang pengetahuan yang harus dimiliki itu harus diberikan sertifikat," kata Menko PMK, Muhadjir Effendy (13/11/2019).

Melalui kursus yang ditetapkan untuk dijalani selama 3 (tiga) bulan itu, calon suami-istri akan dibekali seputar kesehatan alat reproduksi, penyakit-penyakit berbahaya yang mungkin terjadi pasangan suami-istri dan anak, hingga masalah stunting.

Dalam menjalankan programnya, Kemenko PMK akan bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Agama (Kemenag). 

Kemenkes akan membantu memberi informasi soal kesehatan dan penyakit (seputar orang tua dan keluarga), sedangkan Kemenag berkaitan dengan urusan pernikahan.

Mulai bulan kapan persisnya kursus itu dilaksanakan? Belum diumumkan. Yang pasti program-programnya tengah digodok dan tahun pemberlakuan mulai 2020.

Gagasan dari Kemenko PMK menarik dan diharapkan bermanfaat. Hanya saja, semoga materi-materi yang disampaikan selama 3 (tiga) bulan tidak tumpang tindih dengan program yang juga diadakan oleh masing-masing agama.

Kalau akhirnya terwujud, maka setiap pasangan nantinya akan mendapat dua sertifikat, satu dari Kemenko PMK dan satunya lagi dari agama masing-masing.

Hal lain yang jadi persoalan adalah mungkin tidak akan berlaku merata di seluruh tanah air secara serentak, melainkan bertahap. Karena tidak semua daerah terjangkau sosialisasi yang memadai, terutama di pelosok-pelosok.

Pertanyaannya, bagaimana kalau seseorang atau pasangan tidak mau ikut kursus, apakah pernikahan tidak sah? Apakah dianggap zinah? Hal inilah yang patut dibahas dan dipertimbangkan lebih lanjut oleh Kemenko PMK.

Bagaimana, Anda siap dengan penerapan kebijakan baru dari pemerintah? Mau tidak mau harus siap. Maka, berbahagialah mereka yang sudah menikah, karena mereka tidak lagi dibebankan untuk ikut kursus demi mendapat sertifikat.

***

Sumber berita: KOMPAS.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun