"Jadi sebetulnya setiap siapa pun yang memasuki perkawinan mestinya mendapatkan semacam upgrading tentang bagaimana menjadi pasangan berkeluarga. Untuk memastikan bahwa dia memang sudah cukup menguasai bidang-bidang pengetahuan yang harus dimiliki itu harus diberikan sertifikat," kata Menko PMK, Muhadjir Effendy (13/11/2019).
Melalui kursus yang ditetapkan untuk dijalani selama 3 (tiga) bulan itu, calon suami-istri akan dibekali seputar kesehatan alat reproduksi, penyakit-penyakit berbahaya yang mungkin terjadi pasangan suami-istri dan anak, hingga masalah stunting.
Dalam menjalankan programnya, Kemenko PMK akan bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Agama (Kemenag).Â
Kemenkes akan membantu memberi informasi soal kesehatan dan penyakit (seputar orang tua dan keluarga), sedangkan Kemenag berkaitan dengan urusan pernikahan.
Mulai bulan kapan persisnya kursus itu dilaksanakan? Belum diumumkan. Yang pasti program-programnya tengah digodok dan tahun pemberlakuan mulai 2020.
Gagasan dari Kemenko PMK menarik dan diharapkan bermanfaat. Hanya saja, semoga materi-materi yang disampaikan selama 3 (tiga) bulan tidak tumpang tindih dengan program yang juga diadakan oleh masing-masing agama.
Kalau akhirnya terwujud, maka setiap pasangan nantinya akan mendapat dua sertifikat, satu dari Kemenko PMK dan satunya lagi dari agama masing-masing.
Hal lain yang jadi persoalan adalah mungkin tidak akan berlaku merata di seluruh tanah air secara serentak, melainkan bertahap. Karena tidak semua daerah terjangkau sosialisasi yang memadai, terutama di pelosok-pelosok.
Pertanyaannya, bagaimana kalau seseorang atau pasangan tidak mau ikut kursus, apakah pernikahan tidak sah? Apakah dianggap zinah? Hal inilah yang patut dibahas dan dipertimbangkan lebih lanjut oleh Kemenko PMK.
Bagaimana, Anda siap dengan penerapan kebijakan baru dari pemerintah? Mau tidak mau harus siap. Maka, berbahagialah mereka yang sudah menikah, karena mereka tidak lagi dibebankan untuk ikut kursus demi mendapat sertifikat.
***