Ada surau dan masjid yang dibangun orang perorang, tapi tak banyak jumlahnya. Dulu itu, semasa Tuanku Bagindo ini ada dan aktif di tengah masyarakat, ketika masyarakat merasa kesulitan membangun surau, mereka mengadu ke Tuanku Bagindo.
Nah, oleh Tuanku Bagindo keluhan masyarakat harus ada solusinya. Harus ada jalan keluarnya. Apalagi jalan keluar tentang kebutuhan masyarakat dalam beribadah.
Kebutuhan masyarakat untuk sarana membangun, baik membangun fisik nagari maupun pembangunan moral dan mental masyarakat itu sendiri.
Tentu Tuanku Bagindo sudah membaca pikiran dan niat masyarakat yang mengadu ini. Mengadu soal surau yang belum bisa difungsikan.
Caranya, Tuanku Bagindo langsung turun tangan. Dia berulang ke surau atau masjid tersebut dari Surau Pekuburan.
Ya, berulang tiap waktu atau tiap pekan, menunggui surau, melihat dari dekat, serta langsung memfungsikan saat waktu shalat tiba, lalu menggelar pengajian, wirid duduk, mengaji turun naik, yang akan dipakai hidup dan ditumpang mati.
Lengkap itu. Membangun fisik surau lewat pembangunan moral dan akhlak masyarakat itu sendiri. Sering masyarakat tiba di surau, ketika Tuanku Bagindo ada di surau itu.
Orang datang ke surau tak sekedar beribadah shalat dan mengaji saja. Tapi sering bersedekah, berinfaq, bahkan berzakat sekaligus.
Oleh Tuanku Bagindo, semua infaq dan sedekah masyarakat itu, tak dijadikannya untuk pribadinya. Melainkan, semuanya dijadikan untuk belanja surau yang sedang terbengkalai.
Bagi Tuanku Bagindo, surau harus rancak. Bahkan lebih bagus dari bangunan rumah masyarakat. Kenapa! Surau dibangun secara bersama, sangat mustahil tidak bisa selesai pembangunannya. Sangat mustahil pula surau itu buruk dari rumah orang.
Surau harus berisi, aktif menyuarakan waktu shalat masuk, membina anak nagari dari kebodohan. Surau tempat ibadah dan tempat membangun mental serta akhlak masyarakat.