Kegigihan dan kesungguhan H. Ahmad Yusuf Tuanku Sidi membangun Madrasatul 'Ulum Lubuak Pua, menjadikan lembaga pendidikan surau itu kian kokoh dan kuat.
Punya pondasi dan tiang yang ditancapkan melalui ikhtiar yang dilandasi dengan nilai sejarah dan historis Surau Pekuburan itu sendiri.
Sejarah panjang dan nilai-nilai yang diwarisi langsung dari ulama besar Tuanku Bagindo Lubuak Pua.
Muhammad Umar nama lengkapnya. Tapi namanya tak semashur gelarnya Tuanku Bagindo. Hidup dalam rentang 1875 -- 1955 M, dan mengembangkan ilmunya di Surau Pekuburan yang menjadi tempat kelahiran ulama besar dan alim dulunya hingga saat ini.
Banyak orang tak tahu nama beliau keramat ini. Tapi Tuanku Bagindo Lubuak Pua sangat familiar. Dia sezaman dengan Tuanku Shaliah Sungai Sariak.
Dari berbagai nagari di Sumatera Barat orang datang ke Surau Pekuburan, berziarah ke makam Tuanku Bagindo Lubuak Pua.
Ini menandakan, betapa Surau Pekuburan yang sejak 1991 diberi nama dengan Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum ini telah membuat suatu peradaban. Peradaban keilmuan yang tersebar di sudut-sudut negeri ini.
Silsilah keilmuan Tuanku Bagindo yang begitu banyak dan menyebar jauh inilah yang sering datang dan berkunjung ke Surau Pekuburan. Mereka ingin menyambung silaturahmi batin dengan guru dari gurunya, yang belum begitu jauh ke atasnya.
Barangkali ada dua nilai yang ditinggalkan Tuanku Bagindo ini, yang hingga saat ini patut untuk dikembangkan terus.
Pertama, pembangunan surau. Di Padang Pariaman, khususnya VII Koto Sungai Sariak terkenal punya banyak surau dan masjid. Dan umum pula semua surau dan masjid itu dibangun lewat swadaya masyarakat.
Ada surau dan masjid yang dibangun orang perorang, tapi tak banyak jumlahnya. Dulu itu, semasa Tuanku Bagindo ini ada dan aktif di tengah masyarakat, ketika masyarakat merasa kesulitan membangun surau, mereka mengadu ke Tuanku Bagindo.
Nah, oleh Tuanku Bagindo keluhan masyarakat harus ada solusinya. Harus ada jalan keluarnya. Apalagi jalan keluar tentang kebutuhan masyarakat dalam beribadah.
Kebutuhan masyarakat untuk sarana membangun, baik membangun fisik nagari maupun pembangunan moral dan mental masyarakat itu sendiri.
Tentu Tuanku Bagindo sudah membaca pikiran dan niat masyarakat yang mengadu ini. Mengadu soal surau yang belum bisa difungsikan.
Caranya, Tuanku Bagindo langsung turun tangan. Dia berulang ke surau atau masjid tersebut dari Surau Pekuburan.
Ya, berulang tiap waktu atau tiap pekan, menunggui surau, melihat dari dekat, serta langsung memfungsikan saat waktu shalat tiba, lalu menggelar pengajian, wirid duduk, mengaji turun naik, yang akan dipakai hidup dan ditumpang mati.
Lengkap itu. Membangun fisik surau lewat pembangunan moral dan akhlak masyarakat itu sendiri. Sering masyarakat tiba di surau, ketika Tuanku Bagindo ada di surau itu.
Orang datang ke surau tak sekedar beribadah shalat dan mengaji saja. Tapi sering bersedekah, berinfaq, bahkan berzakat sekaligus.
Oleh Tuanku Bagindo, semua infaq dan sedekah masyarakat itu, tak dijadikannya untuk pribadinya. Melainkan, semuanya dijadikan untuk belanja surau yang sedang terbengkalai.
Bagi Tuanku Bagindo, surau harus rancak. Bahkan lebih bagus dari bangunan rumah masyarakat. Kenapa! Surau dibangun secara bersama, sangat mustahil tidak bisa selesai pembangunannya. Sangat mustahil pula surau itu buruk dari rumah orang.
Surau harus berisi, aktif menyuarakan waktu shalat masuk, membina anak nagari dari kebodohan. Surau tempat ibadah dan tempat membangun mental serta akhlak masyarakat.
Selesai surau yang satu dengan segala dinamikanya, Tuanku Bagindo pun pindah ke surau yang lain. Terutama surau yang ada di VII Koto Sungai Sariak, merasakan lekat tangan Tuanku Bagindo ini dulunya.
Masyarakat tentu saling memberitahu soal demikian. Menceritakan, dan cerita tentang peran Tuanku Bagindo yang menyelesaikan pembangunan surau itu menyebar luas.
Sehingga tak sedikit anggota masyarakat yang pandai kaji tukang bangunan, dari mengaji dengan Tuanku Bagindo Lubuak Pua ini. Ya ilmu tukang, adalah ilmu lahir dan batin.
Ada hari yang elok untuk memulai pembangunan, dan ada pula hari yang ada larangan tidak boleh memulai pembangunan.
Nah itu kaji dan ilmu yang diajarkan Tuanku Bagindo kepada masyarakat yang mau bertukang. Siang langsung praktek dengan mengerjakan pembangunan surau, malamnya mengaji ilmu tukang itu sendiri.
Yang kedua nilai-nilai yang ditingkatkan Tuanku Bagindo Lubuak Pua, adalah Irigasi Ujuang Gunuang. Semua orang tahu sejarah mula adanya irigasi ini.
Irigasi yang mengairi ratusan hektar sawah sejak dari Ujuang Gunuang, Sungai Sariak hingga ke Balah Aie. Irigasi ini beberapa kali mengalami jatuh bangun.
Tapi, awal mula irigasi ini ada adalah ketokohan Tuanku Bagindo. Dia yang mengajak masyarakat untuk bergoro membangun aliran air untuk kehidupan masyarakat lebih luas lagi.
Semuanya masyarakat di sepanjang aliran irigasi itu terhipnotis untuk ikut goro. Laki-laki bekerja, yang perempuan membawa makanan. Lama rentang waktu goro itu, yang pada akhirnya masyarakat Balah Aie bisa teratur turun ke sawah.
Dari dua nilai-nilai dari Tuanku Bagindo Lubuak Pua ini, setidaknya beliau telah mengajarkan kepada umat, pentingnya kebersamaan, pentingnya nilai gotong royong yang akan menyelesaikan pembangunan yang terbengkalai.
Ahmad Yusuf yang sempat diamanahi oleh Khalifah Tuanku Bagindo ini untuk menjalankan fungsi kekhalifahan, tampak sekali mengambil nilai-nilai keramatnya Tuanku Bagindo Lubuak Pua ini.
Tak sedikit masyarakat dan orang perorang yang minta suaka ke Lubuak Pua ini, untuk kebutuhan tuanku yang akan menunggui suraunya.
Tak sekedar menunggui. Memfungsikan surau, aktif menyiarkan agama tiap waktu. Oleh Ahmad Yusuf, selalu ada jalan. Sebab, stok anak siak yang mengaji di Lubuak Pua cukup, dan sebagian sudah patut untuk tinggal di tempat lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H