Suami dari Ra'fari Yuliza yang telah dikarunia 10 orang putra dan putri ini, sepertinya punya argumen yang kuat untuk bersikukuh tidak memakai gelar tuanku atau malin tersebut.
Namun, saat dia akan melepaskan masa lajangnya, dia seperti diwajibkan memakai gelar itu.
Nah, sebagai orang pondok, lama mengaji di pesantren dan surau, Malin Sinaro pun dia pakai. Tentu atas persetujuan dan kemauan dari niniak mamak kaumnya sendiri, yang pada akhirnya ikhlas dia terima.
Setamat mondok di Madrasatul 'Ulum, Asrizal langsung ke kampung. Tak mengabdi dulu di pondok. Dan memang sempat dapat kesulitan untuk langsung pulang dari Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, sang guru besar pesantren dan Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa, selaku pimpinan pesantren kala itu.
"Awak nio kursus di kampung, Buya," begitu Asrizal minta izin untuk meninggalkan pondok ke Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah.
Kursus elektronik. Jadi kalau ada lampu surau yang rusak, alat pengeras suara yang susah hidupnya, bisa kita perbaiki, sambung Asrizal menceritakan kembali pengalamannya minta izin untuk meninggalkan pesantren setelah tamat marapulai.
Tiba di kampung, Asrizal tetap mengabdi di masyarakat. Di Masjid Ainul Yaqin Padang Kudo, Batagak. Juga sekalian sempat kursus, tapi tidak kursus elektronik.Â
"Saya sempat kursus komputer. Sempat pula kuliah di Bukittinggi, tapi tidak sampai tamat," katanya.
Di kampungnya Batagak, Asrizal juga mengasuh dan memimpin pesantren. Ainul Yaqin nama pesantren itu. Lama dia memimpin pesantren ini.
Berpindah posisi, dari pimpinan pesantren ke Ketua Yayasan Ainul Yaqin yang mengelola pesantren itu, karena kesibukan bertambah, setelah dia terpilih jadi wakil rakyat Kabupaten Agam pada Pemilu 2019.
"Alhamdulillah, Pesantren Ainul Yaqin tetap eksis. Ada generasi yang melanjutkan tongkat kepemimpinan. Saya pindah jadi Ketua Yayasan saja, mengingat aktivitas di luar cukup padat," ulas dia.