Lalu karya besar Tuanku Bagindo yang lama menetap di Surau Pekuburan ini, adalah pembuatan irigasi.
Tahun 1915, irigasi itu kemudian bernama Irigasi Ujung Gunung. Dari Ujung Gunung Sungai Sariak hingga ke hilirnya Limau Hantu di Balah Aie.
Ratusan hektar sawah yang dialirinya. Termasuk juga usaha perikanan masyarakat di sepanjang kampung itu, bergantung pada Irigasi Ujung Gunung.
Tuanku Bagindo Lubuak Pua tersebut sebagai ulama, niniak mamak dan tokoh masyarakat yang merintis pembuatan irigasi itu.
Dia yang menjembatani masyarakat banyak sekaligus pekerja, memberlakukan aturan gotong royong masyarakat secara bergantian di Nagari Sungai Sariak hingga Nagari Balah Aie dalam menuntaskan pekerjaan irigasi itu.
Setiap ulama punya zaman dan setiap zaman pun ada ulamanya. Setidaknya, Tuanku Bagindo punya zaman yang panjang, panjang sekali dan hingga kini nama Tuanku Bagindo, spritualitas pengajiannya masih melekat di masyarakat.
Surau Pekuburan di Lubuak Pua sampai tak cukup untuk menampung lautan masyarakat yang datang menjenguk kala Tuanku Bagindo berpulang.
Masyarakat seperti terhipnotis, mendengar kabar kepergian seorang ulama spritualitas, guru yang ikhlas mendidik dan mengajar, guru yang mengamalkan kaji sebelum diajarkan.
Ribuan masyarakat dan jemaah berebut untuk bisa ikut memandikan, menshalatkan serta mengantarkan ke peristirahatan terakhirnya, tahun 1955 itu.
Pandangan batin Tuanku Bagindo, menjadikan antara dia dengan Tuanku Shaliah Sungai Sariak saling menjaga adab.
Adab dan etika terjaga dengan baik, meskipun dari kasat mata orang banyak, kedua ulama ini saling berjauhan tempat.