Syekh H. Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah adalah ulama yang tidak anti terhadap pembaruan.
Buya ulama organisatoris, sebagai bukti kalau Buya dalam berkiprah pakai manajemen tersendiri, sesuai acuan organisasi Islam Tarbiyah Perti yang dimasukinya.
Tuanku Afredison, salah seorang alumni Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum punya kenangan dan cerita khusus dengan Buya.
Afredison yang juga Ketua DPC PKB Padang Pariaman ini termasuk santri yang namanya diganti oleh Buya.
"Buya menyebut saya Abdurrahman. Nama itu diganti Buya saat saya akan jadi "marapulai kaji" di Lubuk Pandan," sebut Afredison.
Tuanku Shaliah Lubuk Pandan, begitu familiarnya Buya kelahiran 1908 - dan berpulang 1996 ini termasuk salah seorang ulama pengurus di DPP Tarbiyah Perti.
Afredison pernah dibawa oleh Buya dalam kegiatan Musda Perti Sumbar di Payakumbuh tahun 1993.
"Buya tak sampai selesai helat Tarbiyah Perti yang dua hari itu. Buya hanya hadir bersama saya saat pembukaan Musda, lalu untuk meneruskan ikut sampai selesai, saya direkomendasikan oleh Buya ke panitia Musda sebagai peserta penuh sampai selesai," cerita Afredison.
Bagi Afredison sendiri yang berkecimpung di dunia politik tentu tidak serta merta. Lewat rekomendasi Buya untuk ikut Musda Perti ini, setidaknya memberikan peluang tersendiri untuk Afredison bisa lanjut masuk dunia politik saat ini.
Dan gemar berorganisasi, setidaknya jejak Buya selama belajar di MTI Jaho. Syekh Muhammad Djamil Jaho adalah satu dari sekian ulama Minangkabau berpengaruh di zaman itu yang ikut mendirikan Perti.
Organisasi mengajarkan betapa penting sebuah manajemen. Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan yang didirikan oleh Buya sebagai kelanjutan dari Surau Kapalo Sawah, adalah lembaga pendidikan yang mengkolaborasikan halaqah dengan madrasah.
Madrasatul 'Ulum adalah surau. Tapi orang luar menyebutnya madrasah. Kenapa! Mungkin Madrasatul 'Ulum tidak sehebat pesantren berbasis surau lainnya, seperti Surau Mato Aie, Surau Ujung Gunung, Surau Kalampaian Ampalu Tinggi dan surau lainnya.
Di Madrasatul 'Ulum lebih pada pengajian santri dan santriwati. Pengajian yang mengumpulkan jemaah banyak, nyaris tak bersua di Lubuk Pandan ini, kecuali peringatan Israk Mi'raj, baru ada jemaah banyak yang bawa oleh sejumlah alumni yang aktif berhalaqah di berbagai surau.
Ada sebagian jemaah yang menetap di Surau Lubuk Pandan, tapi tak banyak. Itu saat jemaah berkeinginan "sembahyang empat puluh hari".
Tak tertentu waktunya. Kapan ada jemaahnya saja. Sebab, sudah terbiasa dan tak pernah tinggal ritual shalat berjemaah di Surau Lubuk Pandan itu.
Makanya, jemaah datang dari luar daerah, terserah kapan maunya saja. Dan itu pula sebabnya, ketika ada momen ziarah santri bersama Buya, tak banyak jemaah yang ikut.
Sedikit. Itupun dari keluarga Buya. Dan kondisi tradisi halaqah dan madrasah ini terus berlanjut sepeninggal Buya.
Sekilas, Surau Lubuk Pandan atau Madrasatul 'Ulum sejak berdirinya telah mengadopsi nilai-nilai pembaharuan.
Meskipun Buya tak lepas dari pakaian kebesarannya, sarung dan peci putih yang dililit dengan serban, tapi santri dan alumni pakai celana dengan kemeja, tak dipersoalkan.
Malah ketika pertemuan alumni, kegiatan Israk Mi'raj, sebagian besar alumni Madrasatul 'Ulum pakai celana panjang biasa. Tak banyak yang pakai sarung, seperti di surau lain misalnya.
Ada sih, tapi masih sebagian kecil. Lewat halaqah dan madrasah ini pula, agaknya Buya lebih pada penanaman pola pendidikan langsung pada potensi santri.
"Di sini kalian pantau, tapi di kampung kalian sudah garing," celoteh Buya dalam mengaji, yang tentunya tamsilannya sangat dalam.
Artinya, alumni Madrasatul 'Ulum ketika tiba di Surau Lubuk Pandan dia tetap pantau. Ya, laksana pantau, seekor ikan kecil yang banyak kita temui di sawah.
Tapi kalau di kampung sudah ikan garing. Ya, ikan besar yang jadi favorit oleh banyak orang.
Artinya, di kampung yang alumni itu banyak orang menyapa dia dengan tuanku. Tapi di Lubuk Pandan dia tetap sianu. Buya tetap saja memanggilnya dengan menyebut nama dia.
Afredison yang pernah jadi majlis guru di Madrasatul 'Ulum ini merasakan keunikan Surau Lubuk Pandan itu dengan surau lain.
Yang kentara itu keunikan Lubuk Pandan, adalah perkara pemberian gelar tuanku ke santri yang sudah tamat kelas tujuh.
Disebut unik, Buya mentradisikan tidak ada pemberian gelar tuanku ke santrinya. Tapi alumni Madrasatul 'Ulum banyak juga yang jadi tuanku.
Yang memberikan gelar tuanku sepenuhnya keluarga santri itu sendiri. Apapun gelarnya, itu sepenuhnya dari kampung santri terkait.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H