Tiba saatnya mengajar atau mengabdi, sepertinya Buya yang asli Pakandangan ini tak bisa mempan di tarbiyah. Tapi lebih cocok di surau, dan buktinya sampai akhir hayatnya mengabdi di surau.
Di sini kita lihat, betapa daerah rantau Piaman tidak bisa dikembangkan pendidikan madrasah. Beda dengan daerah darek yang lebih cocok dengan madrasah.
Dari ini, kita menilai betapa Buya tidak anti terhadap perubahan, apalagi perubahan terhadap kebaikan.
Baginya, pendidikan surau dan sekolah atau halaqah dan madrasah, adalah sebuah metode yang inti dan tujuannya sama.
Sama-sama untuk mendalami ilmu pengetahuan, tafaqquh fiddin. Sempat di minta mengajar di salah satu madrasah di Pasaman Barat dan Koto Laweh Tanah Datar setelah menyelesaikan pendidikannya di Jaho, lalu memilih pulang kampung, dan menetap di Pakandangan.
Dan akhirnya menetap di Surau Kapalo Sawah Lubuk Pandan. Sebidang tanah yang diwakafkan oleh keluarga istrinya, dekat Surau Kapalo Sawah itu, didirikannya sebuah surau.
Dari surau inilah ditingkatkan menjadi Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum. Awal berdiri 1940, surau ini pun familiar sebagai "Surau Tuanku Shaliah".
Buya familiar sebagai Tuanku Shaliah. Nama Abdullah Aminuddin tak begitu tersebut. Tetapi dalam ijazah yang ditandatanganinya, tertulis H. Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah.
Buya tersebut sebagai ulama yang alim. Banyak beramal, beramal dengan ilmu, sehingga Buya digelari dengan Tuanku Shaliah.
Tuanku Shaliah ini tak sama dengan Tuanku Shaliah Sungai Sariak. Mereka dua ulama hebat, alim di bidangnya masing-masing.
Tuanku Shaliah Sungai Sariak lebih populer karena dianggap dan tersebut sebagai ulama keramat. Hampir setiap rumah makan urang awak di luar Padang Pariaman, sengaja memajang foto Tuanku Shaliah Sungai Sariak ini.