Mohon tunggu...
Newbie
Newbie Mohon Tunggu... -

Aliran Naturalisme

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Part VII] Di Balik Sebuah Cerita

29 November 2016   21:08 Diperbarui: 3 Desember 2016   04:23 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

POV Istri

Cerahnya pagi kembali menyapa hari ini berkas sinar mentari masuk melalui celah dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Terlihat nisa dan adit kegirangan yang sedang bermain dengan buk giran, aku tersenyum sembari tertawa kecil karena terlihat dari wajah buk giran yang kelelahan meladeni mereka berdua.

Begitu pula mas andi yang asyik berbincang dengan pak giran sepertinya sedang membahas prospek kebun maupun lahan pertanian yang membentang luas disekitarnya.

Ilustrasi rina (sumber : http://cdn.klimg.com/kapanlagi.com/g/para_selebriti_ungkap_suka_duka_jadi_pembawa_acara_infotainment/p/olla_ramlan-20140421-001-acat.jpg)
Ilustrasi rina (sumber : http://cdn.klimg.com/kapanlagi.com/g/para_selebriti_ungkap_suka_duka_jadi_pembawa_acara_infotainment/p/olla_ramlan-20140421-001-acat.jpg)
Mata ku sejenak menatap ke arah balai, dimana balai itu menjadi saksi bisu kejadian antara aku dan pak giran semalam. Sampai saat ini aku masih mengingat dengan jelas bahwa kejadian itu terjadi tanpa paksaan sedikit pun dari pak giran melainkan dengan kesadaran diri karena aku mengikuti naluri dan perasaan yang berdasarkan dari hati.

Aku tertunduk sejenak mengingat kejadian itu semua rasa bercampur menjadi satu sedih, senang, kecewa di dalam hati yang kemudian menstimulus air mata yang mulai menitik dari sudut mata.

Beberapa saat aku menangis terasa dari arah punggung ada yang mengelus dengan lembut dan tangan itu pun dengan lembutnya berpindah mengelus ke arah kepala sembari mengecup lembut kepala ku.

Ilustrasi mbah giran (sumber : rikyarisandi.blog.widyatama.ac.id/)
Ilustrasi mbah giran (sumber : rikyarisandi.blog.widyatama.ac.id/)
Aku mengenal siapa pemilik tangan ini dari tekstur tangannya memang sudah familiar dengan kulit tubuhku. Pemilik tangan itu adalah pak giran, pria yang telah berhasil menggoyahkan pertahanan hati yang selama ini pertahanan itu berdiri dengan kokohnya dan beliau juga yang telah memberikan warna baru dalam kisah hidupku di beberapa hari ini.

"kenapa, nduk?" pak giran mulai mengeluarkan suara, yang entah sejak kapan pak giran berada di kamar ku.

"gak papa pak, cuma ada yang ku pikirkan saja pak." ujar ku.

Beliau meraih dagu sembari menghapus air mata di pipi dan mengecup keningku dengan pelan.

"udah jangan sedih, senyum dong". hibur pak giran.

"iya pak, aku gak sedih kok. Aku nangis karena bahagia". jelas ku sembari tersenyum kepada pak giran.

"gitu dong, itu baru gadisnya bapak," ujar pak giran sembari mencubit hidungku dengan gemes.

"hihihi.. iya paak... genit ah" balas ku mencubit pinggangnya.

Pak giran kemudian memeluk sembari mengelus kepalaku dengan lembut, kembali tangannya mengelus lembut punggungku terasa kenyamanan yang menjalari tubuhku. 

"terima kasih, pak", ujar ku sembari membenamkan wajah di dadanya.

"iya,nduk.." balas pak giran.

Setelah keadaan membaik, kami memutuskan untuk beranjak ke taman samping rumah untuk bergabung bersama dengan yang lainnya.

Aku dan pak giran berjalan beriringan ke arah kebun dimana mas andi, adit, nisa maupun buk giran masih asyik bercengkrama, nisa yang menyadari kehadiranku spontan berlari.

"mamaaaaa..." seru nisa, aku pun menyambut nisa dengan suka cita dan menggendong nisa.

"cantik banget cucu kakek hari inii." ujar pak giran sembari mencubit hidung nisa.

"cantikan mana sama mama ? ", ujar nisa balik menggoda pak giran.

"kalo mama rina cantik, lebih cantik nisa lah kan nisa lahirnya dari mama rina yang cantik". jelas pak giran sembari jahil meremas lembut salah satu bongkahan pantatku.

"nakal banget sih, pak.." bisik ku pada pak giran yang di sambut tawa olehnya.

Kehadiran kami di sambut lambaian tangan mas andi sembari tersenyum, aku, nisa dan pak giran memilih duduk di balai sembari memperhatikan adit, mas andi dan buk giran yang masih asyik bercengkrama. Di atas balai memang sudah tersedia teh hangat dan kopi di lengkapi pisang goreng buatan buk giran.

Buk giran memandang ke arah aku sejenak dan mengedipkan mata sembari tersenyum dan ku balas dengan senyum pula. Cara buk giran memandangku barusan mengandung makna yang dalam, dimana cuma kami berdua yang tahu akan arti pandangan dan kedipan mata buk giran. 

Aku mulai menikmati suasana pagi ini, sejenak mata memandang ke arah mas andi, ibu dan adit tanpa sadar terlintas pada benakku bahwa aku menjadi salah satu dari wanita yang sangat beruntung dimana memperoleh perhatian dan kasih sayang dari dua pria ini.

Kedua pria ini saling mengisi kekurangan dan kelebihan yang ada di antara mereka, memang tak ada yang sempurna di dalam kehidupan dunia yang fana ini namun kehadiran pak giran dan ibu adalah kepingan pelengkap yang membentuk sebuah bingkai hidup menjadi lebih indah.

Sejenak mata ku berganti melirik ke arah pria yang duduk disampingku, pria yang telah memberikan sesuatu yang tak ku dapat dari mas andi dan menjadi penyemangat baru dalam kehidupanku.

Pak giran menemukan dan menghidupkan kembali gairah tersembunyi dalam diriku, gairah yang di sentuh dengan kasih sayang, perhatian ini membuatku sukar untuk menolak dan malah membuka pintu hatiku untuk masuk.

Aku pun terbangun dari lamunan karena merasakan ada tangan jahil pak giran yang menyerempet ke arah bukit kembarku sembari mengelus-elus lembut kepala nisa.

Terlihat jelas pak giran sangat menyayangi nisa dan adit seperti cucunya sendiri, kejahilan pak giran bagaikan bumbu hubungan kami. Sering kejahilan maupun kenakalan tangan pak giran membuatku tertawa dan terkadang malu juga karena menyukai cara pak giran menjahiliku.

Aku berharap kebahagian ini tetap terjaga dengan semestinya, mungkin aku di satu sisi memang salah karena kehormatanku sebagai seorang istri telah hancur.

Namun di sisi lainnya aku merasakan kebahagian atas apa yang terjadi dimana aku menemukan sosok pria yang bertanggung jawab, perhatian dan mampu memberikan kasih sayang dari figur pak giran.

**

"ehem..." tegur buk giran saat aku sedang mencuci piring di dapur.

"gimana, nduk ? cerita dong?" sambung buk giran.

"gimana apanya, buk? cerita apanya, buk?" ujar ku yang pura-pura tak tahu.

"ah kamu ini,duk.. pura-pura gak tahu" ujar ibu yang mencubit pinggang ku.

"ya begitulah buk, " jawab ku pura-pura cuek.

"jadi semalam...?" ujar ibu sembari matanya memandangku dan aku hanya mengangguk.

"bener kata ibu, bapak masih joss kayak anak muda aja staminanya" jawab ku sembari menahan tawa.

"kamunya sih gak pecaya, hihi.. ya kan ibu udah bilang kalau bapak memang kuat, ibu aja kewalahan", ujar ibu disambut tawa kami bersama.

"aku cuma takut kalau mas andi tahu, buk.." ujar ku tiba-tiba.

"tenang nduk.. kalau soal andi aman kok.. sejauh ini dia enggak tahu kok.." ujar ibu menenangkan ku.

"bener buk?" ujar ku

"iya, nduk.." jawab ibu.

"Ibu senang melihat kamu bahagia,nduk. merasakan kembali gairah hidup, mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang tidak kamu dapatkan dari andi. " ujar ibu.

Aku memeluk ibu sembari menangis dalam pelukannya.

***

*bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun