Mohon tunggu...
Tsaqif Hidayat
Tsaqif Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobby sepatu denger musik

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kontestasi Otoritas: Hukum Keluarga Islam di Ruang Publik Indonesia

15 Maret 2023   23:36 Diperbarui: 15 Maret 2023   23:41 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Pada awal abad 21 ini, perkembangan pemikiran Islam di Indonesia mungkin tampil dengan wajah yang sedikit ber-beda. Geliat pemikiran keislaman itu dimunculkan melalui kelompok-kelompok diskusi atau jaringan. Jaringan terse-but sebagian besar dimotori oleh kalangan intelektual muda, sebut saja JIL (Jaringan Islam Liberal) dan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Eksistensi dan peran ke-lompok-kelompok ini sangat besar dalam meramaikan diskur-sus pemikiran keislaman di Indonesia. Mainstream ideologi jaringan ini adalah menghadirkan Islam sebagai agama pem-bebas, yang membumi dan menghargai kearifan lokal serta yang berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal.

Pendekatan CLD KHI


Gagasan munculnya CLD KHI ini merupakan hasil dari telaah yang serius dan mendalam serta pembacaan kritis ter-hadap pasal-pasal dalam KHI. Pengkajian terhadap KHI ini menggunakan enam perspektifutama, yaitu:


1. Pluralisme (al-ta'addudiyyah).


Dalam pandangan Abd. Moqsith Ghazali, bahwa sebagian kalangan di dalam Islam telah menempatkan syari'at bukan sebagai jalan atau sarana (wasilah) tersebut, melainkan se-bagai tujuan (ghayah) dan titik akhir. Syari'at kemudian tampil sebagai parameter dan arah yang mesti dituju dari seluruh kerja-kerja intelektual dan perubahan masyarakat. 

Penyikap-an seperti ini berimplikasi pada upaya-upaya pemutlakan dan sakralisasi syari'at dalam Islam. Syari'at telah dipandang se-bagai sebuah cetak biru baku yang tidak boleh berubah dan kedap kritik. Maka, yang mungkin bagi umat Islam mutakhir bukan memodifikasi syariat Islam zaman lampau sesuai kon-teks ruang dan waktu yang dinamis, melainkan mengimple-mentasikannya bahkan mendesakkannya dalam masyarakat.


2. Nasionalitas (muwāțanah).


Telah maklum bahwa sebagai sebuah negara, Indonesia dibangun bukan atas satu komunitas agama saja dan bukan atas satu ideologi keagamaan tertentu. Warga negara Indo-nesia diikat oleh basis nasionalitas. Dengan nalar demikian, Indonesia tidak mengenal adanya warga negara kelas dua. Umat non-Islam tidak dapat dikatakan sebagai dzimmiatau ahl al-dzimmah dalam pengertian fikih politik Islam klasik.Oleh karena itu, dalam konteks perumusan hukum Islam bercorak kelndonesiaan.

3.Penegakan hak asasi manusia (iqāmat al-huqūq al-insāniyyah).


Dewasa ini hak asasi manusia tidak lagi dipandang se-kadar sebagai perwujudan paham individualisme dan liberal-isme seperti dahulu. Hak asasi manusia lebih dipahami se-cara humanistik sebagai hak-hak yang inheren dengan harkat martabat kemanusiaan, apa pun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin dan pekerjaannya.

4.Demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun