Mohon tunggu...
TSABITA FARRAS
TSABITA FARRAS Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Sejarah Peradaban Islam

Bismillah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Review Buku Riwayat Perjuangan K.H. Abdul Halim

12 November 2020   15:55 Diperbarui: 12 November 2020   18:28 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Melihat perkembangan yang begitu cepat dan jiwa pembaharuan yang diperlihatkan oleh K. H. Abdul Halim, melahirkan berbagai kecaman dari kalangan tradisi. Konon katanya, bukanlah suatu keharusan untuk menyekolahkan anak-anak ke sekolah di lingkungan Persjarikatan Oelama, karena organisasi ini didirikan untuk kepentingan ulama saja. Jadi, anak-anak dari kalangan rakyat biasa tidak berhak untuk sekolah di sini. Akan tetapi, tuduhan seperti tidak mampu menghalangi gerakan pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh K. H. Abdul Halim dengan Persjarikatan Oelama-nya, ungkap K. H. Cholid Fadlulloh dengan penulis.

Bagaimana bentuk perwujudan dari keinginannya untuk memperbaiki sistem pendidikan?

Dalam wawancara penulis dengan Abdul Fatah dan Wanta, menegaskan bahwa pada bulan April 1932, berdirilah sebuah lembaga pendidikan yang diberi nama Santi Asmoro, lembaga ini terletak di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka. Seementara itu, nama Santi Asmoro diambil dari bahasa Jawa Kuono, yang berarti tempat yang damai dan sunyi, tegas Muh Mukri di dalam wawancaranya dengan penulis. Bagi K.H. Abdul Halim pendidikan yang ideal ialah pendidikan yang berhasil memadukan sistem pendidikan pesantren tradisional dengan pendidikan modern, seperti halnya pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah pemerintah.

yang menarik dari sistem pendidikan di Santi Asmoro ini ialah memadukan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Ilmu dunia seperti ilmu pengetahuan dan keterampilan. Hal yang menonjol pula dalam sistem pendidikan pesantren ini ialah pelajaran keterampilan, seperti penyamakan kulit, pembuatan kapur, pembuatan sabun. Yang pada saat itu K.H. Abdul Halim langsung yang menggurui proses pembelajaran tersebut bahkan sampai mencatat proses penyamakan tersebut. Yang sampai saat ini, catatan itu dijadikan rujukan oleh santri untuk memperdalam pengetahuan mengenai penyamakan kulit. 

Hingga sekarang para santri diberikan keterampilan membuat sabun, menyamak kulit, dan kapur tulis, tutur Abdul Fatah yang pada saat itu salah satu santri dan sekarang menjadi salah satu ustadz di Santi Asmoro dalam wawancaranya dengan penulis.

Lalu untuk pelajaran keislaman, tidak hanya terkungkung pada kitab-kitab klasik, melainkan ia menggunakan kitab-kitab pembaharu dari Timur Tengah.  Menurut penuturan S. Wanta dalam wawancaranya dengan penulis, yaitu bahwa sekitar empat tahun secara bertahap K.H. Abdul Halim membangun berbagai bangunan yang diperlukan.  Dan seiring dengan perjalanan waktu, prasarana di Santi Asmoro semakin bertambah, yaitu dibangunnya masjid dan ruang belajar. 

Pada tahun 1938 juga didirikan tugu yang disebut dengan benjet yang berfungsi sebagai alat untuk menetukan waktu shalat, tutur Ustadz Asep Zacky dalam wawancaranya dengan penulis.
Sebagai lembaga pendidikan yang memadukan sistem pesantren dengan sistem sekolah, jelas sekali usaha pembaharuan yang dilakukan oleh K. H. Abdul Halim di pondok pesantrennya itu, setidak-tidaknya ada empat aspek yang diperbaharui oleh K. H. Abdul Halim dalam membina dan mengembangkan Santi Asromo. 

Pertama, pembaharuan kelembagaan pondok pesantren. Kedua, pembaharuan di bidang konsep pendidikan pondok pesantren. Ketiga, pembaharuan sistem pengajaran. Keempat, pembaharuan kurikulum dan adminsitrasi pesantren. Pada waktu itu, tindakan K. H. Abdul Halim merupakan penyimpangan dari tradisi pesantren yang sudah mapan. Secara umum, pendidikan keterampilan yang diterima oleh para santri di berbagai pondok pesantren belum direncanakan sebagai bagian dari sistem pendidikan yang produktif.

Pada umumnya, pondok pesantren yang ada pada waktu itu tidak terlalu memerhatikan masalah administrasi. K. H. Abdul Halim, melalui Majelis Pengajaran Persjarikatan Oelama, melangkah lebih maju dengan menerbitkan sebuah buku Ketetapan Pedoman Pengajaran yang menjadi rujukan bagi proses pengajaran, kurikulum, dan buku pelajaran di sekolah-sekolah dan pesantren di lingkungan Persjarikata Oelama. 

Masa-masa tua K. H. Abdul Halim diisi dengan mengawasi dan mengarah para pengasuh Santi Asromo agar tujuan pendidikan yang hendak dicapainya tidak menyimpang dari cita-citanya. Sebagai sebuah pesantren yang ingin melakukan pembaharuan di bidang pendidikan, buku-buku yang dipakai dalam proses belajar mengajar pun tidak hanya sebatas kitab-kitab yang selama ini digunakan oleh pesantren-pesantren tradisional.

Tidak juga hanya mempergunakan buku-buku pelajaran pengetahuan umum yang biasa dipergunakan di sekolah-sekolah umum. K. H. Abdul Halim pun mempergunakan kitab-kitab yang dikarang oleh para pembaharu Islam. S. Wanta dan Abu Sjahid Hidajat dalam keterangannya kepada Jalaludin mengatakan bahwa setidak-tidaknya ada tiga buah buku yang selalu dipergunakan oleh K. H. Abdul Halim sebagai bahan tambahan adalah buku Al-Quran wa 'Ulum al-'Ashriyyat dan Tafsir Al-Jawahir karangan Thanthawi Jauhari, serta buku Limadza Taakhkhaar Al-Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum karangan Emir Syakib Al-Arslan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun