“Ya sudah. Kamu sekarang pulang saja. Istirahat Mir. Tenangin pikiranmu dulu. Nanti kamu sakit lagi. Mau mami anter gak?”
“Gak usah mi, aku pulang sendiri aja. Makasi ya mi..” Kupeluk tubuh mami Sarah..
Mami Sarah memang bijaksana. Dia memang seorang mucikari, namun pada saat-saat seperti ini, dia menjadi sosok ibu bagiku. Dia sungguh perhatian padaku. Dan itu tulus, aku bisa melihat dari matanya. Aku berjalan meninggalkan gang kupu-kupu menuju ke tempat parkir stasiun tugu. Tempatku menitipkan sepeda motor. Sepanjang perjalanan, pikiranku terganggu oleh sosok Bayu. Sesampai di rumah, aku langsung masuk kamar. Aku tidak menyempatkan diri untuk menengok Njas seperti biasanya. Maaf Njas, untuk malam ini, Ibu tidak memberikan kecupan selamat tidur di keningmu. Ibu takut air mata ibu akan menetes di pipimu, dan membuatmu terbangun.
**
Kurebahkan tubuhku di atas kasur, tetapi bukan untuk tidur. Padahal aku sangat ingin tertidur dan melupakan kejadian malam ini. Tapi pikiranku menolaknya. Bayu, sudah hampir 7 tahun aku tak melihatnya. Bayu adalah mantan pacarku. Pria yang sangat kucintai. Dia adalah anak seorang anggota DPR. Anak dari keluarga kaya. Kami berpacaran selama hampir 2 tahun. Orang tuanya tidak setuju dengan hubungan yang kami jalani. Seperti kisah sinetron klasik. Tapi memang seperti itulah keadaannya. Aku hanyalah seorang anak penjual nasi pecel keliling yang sangat miskin. Berbeda dengan keluarganya, yang merupakan keluarga terpandang. Ayah Bayu adalah seorang pengusaha pertambangan dan merupakan seorang tokoh politik nasional yang populer. Sudah tiga periode menjadi anggota DPR, hingga saat ini.
Aku dan Bayu memang menjalani hubungan secara “backstreet”. Pernah suatu saat Bayu mengajakku kerumahnya untuk di kenalkan dengan orang tuanya. Tetapi sambutan orang tuanya kepadaku sungguh tidak seperti yang aku harapkan. Ibunya mengusirku dan memaki-maki aku. Aku di sebutnya perempuan murahan, perempuan miskin yang tidak tahu diri. Aku hanya perempuan yang ingin menguasai harta keluarga mereka. Aku tak pantas untuk Bayu, anak satu-satunya dan merupakan pewaris tunggal dari kekayaan orang tuanya. Aku di usir dengan kasar, dan sejak saat itu, aku tak pernah lagi menginjakkan kakiku di sana. Benar-benar mirip kisah sinetron.
Aku sungguh terpukul dengan perkataan orang tua Bayu. Aku sama sekali tidak mengincar harta Bayu. Aku tulus mencintainya. Bayu-pun tahu hal tersebut. Setelah kejadian itu, aku meminta Bayu untuk mengakhiri hubungan kami. Benar kata orang tua Bayu. Aku tak pantas untuknya. Aku hanya perempuan miskin anak seorang penjual nasi pecel keliling. Aku hanya orang kampung yang hina. Tetapi pada saat itu, Bayu meyakinkanku bahwa suatu saat orang tuanya akan menerimaku. Bayu tak ingin berpisah denganku, dia sangat mencintaiku. Dan sejak saat itulah kami menjalani hubungan secara sembunyi-sembunyi. Sungguh sangat menyakitkan. Apalagi orang tua Bayu menyewa orang untuk mengawasiku. Aku seperti seorang penjahat yang segala gerak-geriknya di awasi. Tapi kecintaanku dan janji yang pernah di ucapkan Bayu bahwa ia tak akan meninggalkankulah yang membuatku bertahan. Sampai suatu saat, kejadian buruk itu menimpaku.
**
Ah, aku jadi teringat pristiwa busuk itu lagi. Pristiwa yang membuatku sempat membenci dan tidak menerima kehadiran Njas, buah hatiku. Malam itu, aku di mintai pertolongan oleh ibu untuk meminjam uang dari yu’ Sinem. Salah seorang teman ibuku. Ibu saat itu sedang sakit, dan tidak mempunyai uang sepeserpun untuk membeli obat. Yu’ Sinem adalah orang yang sangat baik. Ia selalu memberikan ibuku pinjaman apabila ibuku sedang membutuhkan uang. Bahkan ia tak pernah menagihnya sama sekali. Tetapi ketika telah mempunyai uang, ibuku selalu membayarnya.
“Utang itu harus di bayar, jangan di bawa sampai mati..” Kata ibuku suatu saat.
Akupun segera pergi menuju rumah Yu’ Sinem dengan menggunakan sepeda tua, satu-satunya harta peninggalan dari ayahku. Rumah Yu’ Sinem dengan rumahku cukup jauh jaraknya. Beda kampung. Kampungku berada persis di belakang kompleks perumahan mewah tempat Bayu dan keluarganya tinggal. Jalan yang di lalui pun sangat sepi dan rawan, apalagi ketika malam. Ibuku sebenarnya menyuruhku untuk meminta tolong kang Juned untuk mengantarkanku. Kang Juned adalah tetangga kami, seorang tukang ojek. Tetapi aku menolaknya, aku tak ingin merepotkan orang lain. Dan berangkatlah aku menuju rumah Yu’ Sinem dengan mengendarai sepeda. Sepanjang perjalanan, yang terlihat hanya bentangan sawah. Sangat jarang kendaraan melewati jalan ini, bisa di hitung dengan jari saja. Kukayuh sepedaku dengan kencang, berharap aku segera sampai kerumah Yu’ Sinem. Apalagi pada waktu itu, perasaanku sungguh tidak enak. Ada sebuah mobil yang sepertinya seperti sedang mengikutiku dari belakang. Semakin kencang ku kayuh sepedaku, semakin kencang pula mobil itu mendekatiku. Dan terjadilah peristiwa itu. Mobil itu menyerempetku hingga aku terjatuh. Setelah itu, turunlah 6 orang pria berbadan kekar dan berambut cepak. Mereka memukul wajahku. Aku di angkut ke dalam mobil mereka. Mulutku di sumpal dengan kain dan tanganku diikat. Aku sungguh tak berdaya ketika mereka melucuti satu persatu pakaian yang menempel di tubuhku. Aku mencoba berontak, namun mereka kembali menghajarku dengan keras. Mataku di tutup agar aku tak melihat wajah mereka. Mereka lalu menggagahiku satu persatu secara bergantian. Sakit sekali rasanya, aku merasa ada darah yang mengalir dari kemaluanku. Perawan yang aku jaga selama ini harus terenggut paksa oleh 6 orang pria biadab.Setelah puas melampiaskan nafsu bejad mereka, aku lalu di keluarkan dari mobil begitu saja. Badanku sungguh lemas tak berdaya. Akupun tak sadarkan diri.