Misalnya, seseorang yang memiliki $100.000 dapat menginvestasikannya dan memperoleh keuntungan kembali atau menggunakannya sebagai modal awal untuk bisnis yang dapat menjadi sukses.
Modal budaya bekerja dengan cara yang sama. Jika Anda dilahirkan dalam keluarga yang mempelajari tata krama makan yang benar, yang mengajari Anda tentang seni rupa, dan yang keluarga serta teman-temannya adalah orang-orang yang mempunyai koneksi baik dan berpengaruh, maka akan lebih mudah bagi Anda untuk maju secara ekonomi.
Jika Anda tahu cara berbicara dengan orang-orang yang memiliki koneksi baik dan merasakan “permainan” dengan berada di dekat mereka dalam waktu lama, akan lebih mudah untuk maju.
Misalnya, jika dua orang sama-sama memiliki $100.000 dolar dan mencoba menghasilkan $1.000.000, akan lebih mudah bagi seseorang yang memiliki modal budaya, seperti mengetahui dengan siapa harus diajak bicara tentang investasi atau sudah familiar dengan proses investasi.
Modal budaya seperti ini (sebagai bagian dari kebiasaan) akan lebih sulit dianggap sebagai suatu keuntungan karena sudah terinternalisasi dan tidak terlihat. Oleh karena itu, habitus dapat melegitimasi dan melanggengkan sistem kesenjangan dengan mengaburkan batas antara apa yang alami dan apa yang dipelajari dalam kaitannya dengan keterampilan.
Misalnya, tes standar seperti SAT sering kali dipandang sebagai penilaian kecerdasan yang obyektif. Namun, bimbingan belajar dan latihan sebelum ujian dapat mendongkrak nilai.
Mampu membayar untuk les merupakan keuntungan yang jelas, tapi bagaimana dengan pengetahuan budaya bahwa SAT memang merupakan sesuatu yang harus dipelajari? Bagaimana dengan pengetahuan budaya tentang betapa pentingnya SAT untuk penerimaan perguruan tinggi?
Hal ini lebih sulit untuk dilacak namun sangat berpengaruh terhadap seberapa sukses seorang pelamar dalam tahap penerimaan perguruan tinggi.
Hal ini mengarah pada perguruan tinggi yang lebih baik, pekerjaan yang lebih baik, dan gaji yang lebih tinggi. Dengan cara ini, modal budaya, melalui kebiasaan, menjaga ketimpangan. Hal ini penting bagi pentingnya kebiasaan bagi Bourdieu.
3. Arena
Arena atau medan atau ranah (field) merupakan satu jaringan atau relasi antara pendirian-pendirian objektif yang ada di dalamnya. Hubungan tersebut terpisah dari sebuah kesadaran dan kehendak dari individu. Mereka bukanlah sebuah ikatan-ikatan inter-subjektif antar individu. Bourdieu melihat bahwa arena seperti halnya sebuah medan pertempuran. Dimana dalam arena pertempuran, dibutuhkan konsep dan sstruktur-struktur untuk mengatur sebuah strategi dalam menempatkan posisi individu atau kelompok guna menentukan sebuah rencana penyerangan atau suatu sistem bertahan.