Demi membunuh waktu, saya berselancar di berbagai media sosial mencari tempat mana yang terdekat dari tempat saya menginap dan teraman. Maklum itu kali pertama saya berkunjung ke Cirebon seorang diri.
Keraton Kasepuhan menjadi pilihan utama saya setelah menyelesaikan wisata belanja di kawasan Batik Trusmi. Sebelum itu mampir dulu ke hotel untuk solat zuhur dan meletakkan barang bawaan yang sekiranya menyusahkan.
Sebenarnya selain Kasepuhan, Cirebon punya tiga keraton lainnya. Yaitu Kanoman, Kacirebonan dan Keprabonan.
Menumpang ojek online, 10 menit kemudian saya diturunkan di depan gapura terdepan. Sempat terlihat di sudut jalan sebuah papan betuliskan Jl. Lemahwungkuk.Â
Berarti tak salah alamat. Harus berjalan sedikit menuju pintu masuk keraton melewati sisian alun-alun. Saya tak protes pada kang ojol yang seharusnya bisa menurunkan penumpangnya ini tepat di pintu depan Keraton.Â
Selain karena memang saya senang berjalan selama itu tak terlalu jauh, karena itu juga saya jadi tau kalau di seberang alun-alun ada sebuah Masjid Agung. Saya berencana tak melewatkan solat disitu selesai berkelana di Keraton Ashar nanti.
Keraton Kasepuhan
Kesan pertama melihat pelataran keraton itu sama dengan kesan pertama masuk kota Cirebon. Maaf, kotor dan berantakan sekali!
Ada semacam pasar mini yang bertebaran disekitar pintu utama keraton. Penjual makanan, minuman, sovenir, baju bahkan tukang becak memenuhi pelataran alun-alun yang membuatnya jauh dari teratur. Bikin pemandangan karaton menjadi semakin semrawut.
Semakin penasaran seperti apa rupa dalamnya, saya membayar sepuluh ribu untuk bisa masuk ke komplek. Berbelok ke kanan dimana ada beberapa pengunjung sedang berswafoto pada pelataran bertanah agak tinggi. Saya ikut mengambil beberapa gambar dan berkeliling melihat-lihat keadaan. Tak ada yang begitu istimewa.Â
Pemandangan sama seperti keraton lain dengan adanya beberapa bangunan pendopo yang dibiarkan terbuka tanpa dinding dengan jumlah tiang berbeda dan berbeda pula maknanya.Â
Secara keseluran dapat disimpulkan jumlah tiang-tiang tersebut maknanya sangat bersentuhan dengan keislaman. Sementara makna terbukanya dinding bangunan agar pihak keraton bisa berinteraksi lebih dekat dengan masyarakat. Rasanya tak perlu pemandu disitu karena nisan informasi sudah begitu lengkap tertulis.
Melangkah masuk menuju area bagian dalam keraton melalui gapura kedua, disambut bangunan pendopo yang lebih besar dari sebelumnya.Â
Bedanya, pendopo ini lantainya dibiarkan sejajar rata dengan tanah dengan area rerumputan kosong di depannya serta adanya gerbang utama tempat keluarga dan tamu keluar masuk di sisi bagian depan.
Berapa gapura yang harus dilewati, saya lupa tepatnya. Semua gapura disana mirip sekali dengan gapura yang ada di Bali.Â
Namun, yang saya tak lupa hanya banyak sekali pengemis dengan perawakan berantakan memelas dan pungutan berkedok sumbangan sukarela dengan panitia berpakaian beskap lengkap.Â
Entah benar untuk Keraton ntah tidak, tapi sayang sekali kewibawaan Keraton harus sedikit turun karena pembiaran kegiatan "ngemis" seperti itu.Â
Begitu kesan pribadi saya. Kalau sumbangannya tersebar dimana-mana rasanya bukan lagi sukarela tapi berubah menjadi dukalara karena tanpa sadar melihat isi dompet kian menipis.Â
Lagipula kenapa sekelas keraton harus disumbang oleh pengunjung, sih? Tetapkan saja HTM yang pantas, gapapa agak mahal sedikit asalkan nyaman berada di dalamnya. Begitu saja rasanya sudah cukup.
Sifat pelit saya sekonyong-konyong bertambah menjadi kian pelit plus sikap cuek saat beberapa kali bertemu hal serupa.Â
Terus saja merasa bodo amat dan hilang rasa iba dengan terus melangkah ketempat-tempat yang sekiranya bisa memberi saya kenyamanan dan pengetahuan baru sehingga kepulangan saya tak menyimpan dongkol juga tak begitu sia-sia. Maaf ya...
Kembali melewati gapura, saya tiba di sebuah pelataran dimana ada mesjid dan museum dengan posisi berhadapan. Ingin sekali masuk ke dalam museumnya, tapi saya memutuskan berkeliling dulu.Â
Berjalan sedikit bertemu sebuah taman bundaran yang di dalamnya terdapat sepasang patung singa putih dan meriam tepat di sebelahnya.Â
Taman ini bernama Taman Dewandaru yang teduh oleh sebuah pohon beringin tua besar dan rindang. Saya melewatinya untuk kemudian masuk ke sebuah bangunan setelah sebelumnya melepas sepatu meski ada beberapa yang tetap memakainya.Â
Tak bisa disalahkan juga karena tak ada himbauan apapun mengenai pemakaian alas kaki. Saya hanya menghargai lelahnya pegawai kebersihan dan etika yang diajarkan orang tua.Â
Dalam bangunan itu terpajang foto Sultan didampingi sang istri yang belakangan saya tau beliau telah wafat beberapa minggu sebelum kunjungan saya kesana. Selain itu ada juga terpajang figura besar yang berisi informasi lengkap silsilah kesultanan pertama sampai masa itu.
Menyusuri lebih jauh ke dalam, saya bertemu dengan rombongan pengunjung dan disapa oleh seorang bapak pemandu. Tanpa diminta beliau mengatakan kalau tempat saya berdiri adalah ruang terbuka yang sering dipakai untuk pertemuan keluarga sultan.Â
Saya hanya tersenyum tipis dan mengangguk kemudian beliau mengikuti kemana saya pergi dengan terus menjelaskan apapun yang terlihat.Â
Entahlah, apakah ini sebuah taktik atau memang pengunjung diharuskan memakai jasa pemandu disana. Tapi dengan begitu saya jadi tau kalau saat itu kami sedang berada di bangunan yang disebut Keraton Pangkuwati tempat dimana keluarga berdiam.
Pekarangan Luas Ada Kereta Kencana
Oleh Bapak pemandu, saya diajak menyusuri Keraton sampai ke halaman belakang melewati ruang pribadi Sultan yang pintunya terbuat dari kayu berukiran sangat detail. Hingga tiba di sebuah halaman luas dengan berbagai pohon rindang dan ada danau kering di sana.Â
Ada juga pendopo besar tempat mengadakan berbagai pagelaran yang saat itu malah dipakai pengunjung untuk istirahat, tidur-tiduran bahkan memakan bekalnya.Â
Semakin menambah jumlah sampah yang berserakan. Mobil-mobil modern milik keluarga keraton yang sebelumnya dalam bayangan saya mereka masih naik kereta kencana kemana-mana, hahaha.Â
Mobil-mobil itu dibiarkan terparkir bukan di garasi khusus melainkan di bawah pohon-pohon besar dengan posisi asal. Dekat sumur, ada sebuah restoran dimana terdapat kereta kencana disana yang bisa dipakai keluarga Keraton untuk untuk kirab dan kegiatan lainnya.Â
Pak pemandu bilang, situasi covid membuat Keraton jadi tidak punya agenda apapun. Sayang sekali kunjungan saya jadi tidak bisa menikmati satu prosesi apapun.
Tak melewatkan kesempatan, saya terus bertanya apa yang terlintas dan membuat rasa penasaran. Dibantu oleh si Bapak, saya berfoto dibeberapa spot. Nampaknya beliau sudah terbiasa memotret pengunjung. Yang paling saya ingat dari paparan beliau, bahwa tak ada kota lain selain Cirebon yang punya 4 keraton sekaligus.Â
Keraton ini didirikan oleh Pangeren Cakrabuana yang tak lain merupakan keturunan dari Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjajaran. Sebab terpecah menjadi empat keraton salah satunya karna faktor dua agama yang berbeda.
Di samping mading berjejer beberapa toko sovenir. Dari foto-foto yang tertempel di sana, saya bisa menyimpulkan kalau generasi yang sedang bertahta sekarang merupakan sultan ke-XV yang penobatannya sempat diricuhkan, masih berusia muda juga punya paras tak biasa.Â
Tampan! Kalau dipandang sekilas mirip Kang Emil, atau versi Koreanya mirip aktor Yoon Kye-Sang. Ngga percaya? Coba deh liat fotonya disalah satu artikel Drama Korea ini.
Keseluruhan bangunan bagian luar serta pendopo keraton didominasi oleh susunan bata merah dengan ukiran dan ornamen lain. Bangunan utama tempat keluarga berdiam keseluruhannya bercat putih dengan jendela dan pintu-pintunya berdaun lebar dan tebal berwarna hijau dihias ukiran timbul berwarna emas.Â
Ada pengaruh budaya Cina, Belanda dan Arab disitu yang ditandai dengan ornamen keramik dan porselen berbentuk piring-piring kecil yang ditempelkan di dinding-dinding gapura.
Andai saja lingkungan sekitar keraton baik dalam dan luar dibersihkan dari sampah-sampah dan barang-barang tak terpakai yang tertumpuk di berbagai sudut serta disterilkan dari pengemis.
Petugas pemungut donasi, serta pedagang dan tukang becak, saya yakin tempat ini akan jauh lebih menawan dan aura kesultanannya lebih terjaga. Sediakan tempat khusus bagi mereka di area yang tak terlalu jauh dari Keraton.
Saya menyudahi petualangan singkat itu dengan beberapa pertimbangan: Saya telah lelah, masih takut covid, hari sudah sore, saya sudah lapar dan mengejar waktu solat ashar yang nyaris tersisa. Tentu saja solatnya di Masjid Agung depan Keraton yang diberi nama Masjid Cipta Rasa itu.Â
Saya melewati jalan yang sama ketika memasuki area keraton. Bedanya saya masih ditemani pak pemandu karena tugasnya belum berakhir.Â
Saat melewati kembali museum, rencana kunjungan kesana untuk melihat lukisan dan patung tiga dimensipun urung sudah karena hari sudah terlalu sore.
Dipintu keluar, saya tak lupa menyalamkan pak pemandu dengan sejumlah rupiah yang pantas dan tentu saja dengan ucapan terimakasih sudah menemani.Â
Meskipun terlambat, tak lupa menanyakan namanya. Harusnya beliaulah yang memperkenalkan diri, setau saya setidaknya begitu etika seorang pemandu. Anggap saja kami sama-sama lupa.Â
Pak Solawan akhirnya menawarkan jasa terakhirnya dengan memotret saya dari arah depan keraton. Saya pikir beliau akan mencari jalan pintas dengan melompati pagar dan parit yang lumayan lebar.Â
Ternyata Ia memilih berjalan memutar keluar dari area Keraton untuk bisa dapat angle dari arah depan dengan sempurna. Selesai ashar saya langsung segera kembali ke hotel, sudah ingin mandi dan rebahan sambil nonton drakor yang sinopsisnya sudah saya baca sebelumnya disalah satu tulisan Ambu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H