Terus saja merasa bodo amat dan hilang rasa iba dengan terus melangkah ketempat-tempat yang sekiranya bisa memberi saya kenyamanan dan pengetahuan baru sehingga kepulangan saya tak menyimpan dongkol juga tak begitu sia-sia. Maaf ya...
Kembali melewati gapura, saya tiba di sebuah pelataran dimana ada mesjid dan museum dengan posisi berhadapan. Ingin sekali masuk ke dalam museumnya, tapi saya memutuskan berkeliling dulu.Â
Berjalan sedikit bertemu sebuah taman bundaran yang di dalamnya terdapat sepasang patung singa putih dan meriam tepat di sebelahnya.Â
Taman ini bernama Taman Dewandaru yang teduh oleh sebuah pohon beringin tua besar dan rindang. Saya melewatinya untuk kemudian masuk ke sebuah bangunan setelah sebelumnya melepas sepatu meski ada beberapa yang tetap memakainya.Â
Tak bisa disalahkan juga karena tak ada himbauan apapun mengenai pemakaian alas kaki. Saya hanya menghargai lelahnya pegawai kebersihan dan etika yang diajarkan orang tua.Â
Dalam bangunan itu terpajang foto Sultan didampingi sang istri yang belakangan saya tau beliau telah wafat beberapa minggu sebelum kunjungan saya kesana. Selain itu ada juga terpajang figura besar yang berisi informasi lengkap silsilah kesultanan pertama sampai masa itu.
Menyusuri lebih jauh ke dalam, saya bertemu dengan rombongan pengunjung dan disapa oleh seorang bapak pemandu. Tanpa diminta beliau mengatakan kalau tempat saya berdiri adalah ruang terbuka yang sering dipakai untuk pertemuan keluarga sultan.Â
Saya hanya tersenyum tipis dan mengangguk kemudian beliau mengikuti kemana saya pergi dengan terus menjelaskan apapun yang terlihat.Â
Entahlah, apakah ini sebuah taktik atau memang pengunjung diharuskan memakai jasa pemandu disana. Tapi dengan begitu saya jadi tau kalau saat itu kami sedang berada di bangunan yang disebut Keraton Pangkuwati tempat dimana keluarga berdiam.