Ada pengaruh budaya Cina, Belanda dan Arab disitu yang ditandai dengan ornamen keramik dan porselen berbentuk piring-piring kecil yang ditempelkan di dinding-dinding gapura.
Andai saja lingkungan sekitar keraton baik dalam dan luar dibersihkan dari sampah-sampah dan barang-barang tak terpakai yang tertumpuk di berbagai sudut serta disterilkan dari pengemis.
Petugas pemungut donasi, serta pedagang dan tukang becak, saya yakin tempat ini akan jauh lebih menawan dan aura kesultanannya lebih terjaga. Sediakan tempat khusus bagi mereka di area yang tak terlalu jauh dari Keraton.
Saya menyudahi petualangan singkat itu dengan beberapa pertimbangan: Saya telah lelah, masih takut covid, hari sudah sore, saya sudah lapar dan mengejar waktu solat ashar yang nyaris tersisa. Tentu saja solatnya di Masjid Agung depan Keraton yang diberi nama Masjid Cipta Rasa itu.Â
Saya melewati jalan yang sama ketika memasuki area keraton. Bedanya saya masih ditemani pak pemandu karena tugasnya belum berakhir.Â
Saat melewati kembali museum, rencana kunjungan kesana untuk melihat lukisan dan patung tiga dimensipun urung sudah karena hari sudah terlalu sore.
Dipintu keluar, saya tak lupa menyalamkan pak pemandu dengan sejumlah rupiah yang pantas dan tentu saja dengan ucapan terimakasih sudah menemani.Â
Meskipun terlambat, tak lupa menanyakan namanya. Harusnya beliaulah yang memperkenalkan diri, setau saya setidaknya begitu etika seorang pemandu. Anggap saja kami sama-sama lupa.Â
Pak Solawan akhirnya menawarkan jasa terakhirnya dengan memotret saya dari arah depan keraton. Saya pikir beliau akan mencari jalan pintas dengan melompati pagar dan parit yang lumayan lebar.Â
Ternyata Ia memilih berjalan memutar keluar dari area Keraton untuk bisa dapat angle dari arah depan dengan sempurna. Selesai ashar saya langsung segera kembali ke hotel, sudah ingin mandi dan rebahan sambil nonton drakor yang sinopsisnya sudah saya baca sebelumnya disalah satu tulisan Ambu.