Mohon tunggu...
Try Raharjo
Try Raharjo Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Republik

Subscribe ya dan like channel YouTube punyaku youtube.com/c/indonesiabagus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Norma, Etika dan Demokrasi di Indonesia

5 Januari 2022   22:55 Diperbarui: 5 Januari 2022   23:28 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki peradaban tinggi, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dalam berinteraksi dengan sesama, suka bertegur sapa dan berusaha menjaga tutur kata agar tidak melukai hati orang lain. 

Orang Indonesia pun pada umumnya berusaha untuk saling menjaga eratnya hubungan persaudaraan dan keharmonisan hubungan di antara warga masyarakat melalui kejujuran, tidak menyebarkan fitnah, dsb.

Keramahtamahan orang Indonesia diakui oleh banyak orang luar negeri dan menjadi daya tarik tersendiri bagi turis untuk mengunjungi Indonesia. 

Hampir seluruh budaya di Indonesia mengajarkan tentang sopan santun dan bersikap baik. Mayoritas masyarakat Indonesia sendiri masih memegang teguh nilai-nilai itu. 

Dalam konteks sosial budaya, harus diakui bahwa peradaban kita memiliki sistem pranata sosial budaya yang mampu mengelola perbedaan sehingga mencegah potensi kerawanan yang dapat menimbulkan konflik serius. 

Toleransi terhadap perbedaan mazhab atau aliran keagamaan sudah berjalan dengan baik. Secara historis dapat dibuktikan dari adanya jejak peninggalan sejarah yang antara lain berupa candi-candi Hindu dan Buddha di Indonesia pada periode abad IV hingga abad XV. 

Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang memiliki ribuan suku bangsa dan aneka ragam perbedaan adat istiadat ini bahkan mampu bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Dengan adanya sikap untuk menjaga kerukunan atau keharmonisan hubungan di antara masyarakat itulah maka tidak heran jika banyak orang menyebut bahwa agama Hindu, Buddha, Islam, Kristen dsb. bisa masuk ke Indonesia dengan baik secara damai. 

Beberapa nilai luhur dan kearifan bangsa yang terus kita jaga hingga saat ini di antaranya adalah saling menghargai, gotong royong, dan menghormati orang-orang yang sepatutnya dihormati.

Dalam budaya Jawa, misalnya, setidaknya ada tiga sosok yang sepatutnya dihormati yaitu: Bapak-ibu (orang tua), guru (tokoh masyarakat yang bisa dipercaya dan bisa diteladani), dan ratu (pemimpin negara). 

Beberapa kasus pelanggaran terhadap nilai-nilai luhur kita memang masih terjadi hingga saat ini di tengah masyarakat, namun kita semua sepakat bahwa norma, etika atau nilai-nilai budaya luhur adalah sesuatu hal yang sangat terpuji dan dihargai. Mereka yang melanggarnya bila tidak memperoleh sanksi hukum, setidaknya mendapatkan sanksi sosial seperti dijauhi, diturunkan kewibawaannya, hingga dikucilkan.

Norma berasal dari bahasa Belanda yaitu 'norm' yang berarti pedoman atau kaidah. Sementara, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, untuk perilaku yang benar dan pantas dilakukan saat berinteraksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Yang meresahkan adalah bila pelanggaran terhadap nilai-nilai luhur budaya kita dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat, tokoh politik atau bahkan tokoh agama yang membuat ujaran kebencian, memaki-maki di muka umum, menyampaikan berita bohong, dsb. adalah melawan nilai-nilai luhur tersebut sehingga dapat menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.

Sebagai contoh terbaru adalah kasus Bahar bin Smith yang baru-baru ini mengeluarkan kata-kata tidak pantas ditujukan kepada pemimpin negara dan beberapa tokoh nasional.

Seperti dilaporkan Galamedia ucapan yang disampaikan Bahar bin Smith ini terekam dalam sebuah video yang beredar di media sosial Twitter pada Minggu, 19 Desember 2021

Sebagai pelengkap informasi, Bahar bin Smith ini menurut Indotrends adalah warga Indonesia keturunan dari keluarga Arab Hadhrami golongan Alawiyyin bermarga Aal bin Sumaith.  Ia baru-baru ini dilaporkan oleh seorang warga ke Polda Metro Jaya, yang kemudian dilimpahkan ke Polda Jabar pada 17 Desember 2021, justru bukan terkait ucapan sebelumnya yang mengarah kepada pemimpin negara dan beberapa tokoh nasional.

Adapun isi dari laporan polisi tersebut seperti dilaporkan Kompas adalah terkait dengan menyebarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat.

Kabar terkini Kompas menyebut, pihak penyidik akan mempertimbangkan penangguhan penahanan Bahar setelah menerima surat jaminan atas nama seseorang berinisial A. Pertimbangan tersebut dilakukan berdasarkan kebutuhan administrasi dan proses penyidikan.

Euforia pelaksanaan demokrasi

Beberapa di antara kita memahami demokrasi sebatas pada prinsip yang memberikan kebebasan kepada semua orang untuk menyampaikan pendapat, menganggap kebebasan mengungkapkan aspirasi di ruang publik itu tanpa ada batasan, dan bebas dari kewajiban menggunakan norma etika, tidak memperhatikan aspek nilai-nilai luhur terkait dengan kejujuran dan mewujudkan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bertanah air.

Pelaksanaan demokrasi yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat sendiri dapat menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat, karena kedua pihak (yang pro dan kontra) mendapatkan hak yang sama untuk bicara.

Akibatnya, ketika orang melupakan norma dan etika pada saat menyampaikan pendapat atau aspirasinya, maka hal ini bisa mengganggu keharmonisan hubungan di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya, norma dan etika.

Bentuk-bentuk pelanggaran

Berikut ini adalah beberapa contoh bentuk pelanggaran norma hukum dan etika yang dilakukan dengan dalih sebagai wujud pelaksanaan demokrasi.

1. Membuat pernyataan, cemoohan, atau ujaran kebencian kepada suku bangsa tertentu atau kepada pemeluk agama tertentu, menyudutkan orang atau pihak lain dengan kata-kata yang tidak etis sebagai bahan tertawaan, dsb.

2. Membagikan dan menyebarkan secara berantai berita bohong (hoaks) atau narasi dari penulis yang tidak diketahui (anonim), yang hanya menggunakan akun palsu, atau dari orang yang tidak bertanggung jawab.

3. Kurangnya pemahaman serta tidak menghargai nilai luhur yang berlaku di Indonesia juga dapat menjadi penyebab pelanggaran terjadi. Untuk kasus yang lebih berat bisa menjadi indikasi upaya meremehkan sistem hukum yang berlaku. 

4. Selain itu juga ternyata masih banyak di antara tokoh masyarakat yang tidak atau belum memahami seutuhnya makna demokrasi yang berlaku di Indonesia. 

Masih banyak yang menganggap bahwa pelaksanaan demokrasi seperti misalnya saja di Amerika Serikat atau di Turki adalah yang semestinya diterapkan di Indonesia. Padahal demokrasi yang berlaku di Indonesia adalah demokrasi yang berlandaskan pada konstitusi UUD 1945 dan dasar negara Pancasila, jelas berbeda dengan yang berlaku di Amerika Serikat, Turki, dll.

Harus dipahami, sistem demokrasi di Indonesia dilaksanakan menggunakan pranata sosial dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia, sementara sistem demokrasi di Amerika Serikat menggunakan pranata sosial dan budaya yang dimiliki oleh bangsa Amerika Serikat. Demikian pula halnya untuk berbagai negara lain.

Kewibawaan hukum harus diperkuat

Menurut pandangan penulis, ada beberapa hal yang menyebabkan cukup banyak terjadi kasus pelanggaran norma hukum dan etika tersebut. Satu di antaranya yang bisa dijadikan sebagai bahan evaluasi dan introspeksi bagi kita adalah karena pelaku pelanggaran hukum di Indonesia pada umumnya tahu bahwa sanksi hukum yang akan diterima sering kali tidak akan seberat sanksi hukum yang diberikan oleh misalnya pemerintah Arab Saudi, Turki, Yaman, Iran, dll. untuk kasus serupa. 

Dukungan dari sejumlah pihak terhadap kasus pelanggaran hukum seperti misalnya pengerahan massa turun ke jalan, narasi dari sejumlah tokoh oposisi yang bahkan menyebut bahwa menangkap pelakunya dapat dianggap sebagai penindasan terhadap demokrasi, dsb. adalah beberapa contoh dari sekian faktor yang kontra produktif untuk proses penegakan hukum. Sementara di negara-negara lain, pelaku semacam itu bahkan bisa divonis hukuman mati.

Bentuk hukuman di Indonesia yang relatif jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan hukuman pada kasus serupa yang diberlakukan di negara-negara lain, secara tidak langsung berpengaruh pada maraknya perilaku melanggar norma etika dan hukum yang berlaku.

Saya kira para pelaku pelanggaran norma hukum dan etika itu tahu konsekuensi hukum dari perbuatannya. Tapi berhubung tidak sedikit dari kasus semacam itu akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan, dengan tanda tangan di atas materai, maka kejadian serupa dapat berpotensi terulang kembali.

Dengan demikian tindakan tegas dan adil dari aparat penegakan hukum sangat diharapkan. Kualitas sumber daya aparat hukum, kelengkapan sarana dan prasarana, serta produk perundang-undangan juga harus terus ditingkatkan agar dapat menguasai kasus hukum secara utuh dan mengambil keputusan serta menjatuhkan sanksi hukum seadil-adilnya kepada pelaku, termasuk juga kepada provokator, orang yang mendanai, atau yang menjadi dalang kegaduhan.

Kesadaran hukum masyarakat harus lebih meningkat

Bukan saja kualitas sistem hukum berikut dengan kelembagaannya yang harus ditingkatkan, peran serta seluruh elemen masyarakat juga sangat diharapkan. 

Kesadaran hukum masyarakat untuk menjaga ketertiban sosial melalui pranata hukum dapat dilakukan oleh masyarakat melalui beberapa cara sebagai berikut:

1. Melaporkan perbuatan yang melanggar hukum ke pihak berwajib, atau lembaga yang berkompeten.

Misalnya, untuk kasus penyebaran berita bohong, warga masyarakat dapat melaporkan ke Divisi Cybercrime Polri, Kominfo, Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), dsb.

2. Menjadi saksi untuk perbuatan melanggar hukum yang dilihatnya sendiri. 

Dalam hal ini warga masyarakat harus berperan serta dalam penegakan hukum dengan bersedia menjadi saksi untuk kasus pelanggaran yang dilihatnya sendiri. 

Di samping itu warga masyarakat juga harus menolak tawaran oknum yang meminta untuk menjadi saksi palsu atas pelanggaran yang tidak dilihatnya sendiri

3. Tidak melindungi atau menyembunyikan pelaku dan barang buktinya

Warga masyarakat atau siapa pun harus menyerahkan pelaku kepada aparat hukum untuk menjalani proses peradilan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

4. Tidak melakukan aksi main hakim sendiri.

Warga masyarakat dilarang memberikan hukuman tanpa melalui proses peradilan yang sah kepada orang yang diduga melakukan pelanggaran. Proses hukum harus dilakukan oleh aparat hukum berdasarkan sejumlah barang bukti pelanggaran. Tindakan main hakim sendiri bisa berakibat menghilangkan barang bukti, dapat mempersulit aparat hukum untuk mengungkap jaringan yang lebih besar atau mempersulit penangkapan dalang serta provokator pelanggaran.

5. Tidak melakukan aksi yang bersifat menekan, mengancam keselamatan aparat penegak hukum

Warga masyarakat harus berani menolak tawaran orang atau sekelompok orang yang mengajak untuk bersama-sama mengintimidasi proses peradilan, misalnya melalui unjuk rasa dan perbuatan anarkis.

6. Menghargai proses peradilan dengan menyerahkan penyelesaian kasus kepada aparat hukum.

Perbuatan-perbuatan yang berusaha untuk mengganggu jalannya proses peradilan, mengintimidasi hakim, jaksa, dan aparat hukum lainnya adalah perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai main hakim sendiri. Contoh tindakan yang dapat mengganggu jalannya proses peradilan adalah unjuk rasa yang di luar kewajaran.

Kesimpulan

Tidak mudah untuk menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan yang benar-benar dapat memenuhi rasa keadilan seluruh masyarakat. Hal ini juga tidak terlepas dari faktor-faktor keterbatasan manusiawi.

Hakim, jaksa, pengacara, polisi, dsb adalah manusia biasa yang memiliki keluarga, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki. Demikian pula perundang-undangan atau ketentuan hukum yang kita miliki adalah juga sebuah produk hukum yang oleh karena dinamika perkembangan di masyarakat harus terus diperbaiki, dan disempurnakan. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang saat ini berlaku juga masih harus terus direvisi.

Menegakkan hukum seadil-adilnya tidak bisa mengandalkan kepada lembaga dan aparat hukum saja, tapi juga membutuhkan peran serta seluruh elemen masyarakat. Untuk itu seluruh elemen bangsa harus didorong untuk lebih berperan dalam meningkatkan kesadaran hukum di tengah masyarakat.

Tokoh-tokoh masyarakat, tokoh partai politik, praktisi hukum, akademisi, mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat harus memiliki kepedulian untuk dapat menegakkan hukum dan menjamin berjalannya proses peradilan secara adil, bukan malah memperkeruh suasana atau menciptakan polarisasi dari kasus hukum yang dilakukan oleh individu untuk kepentingan politik praktis, serta mengaitkan dengan hal-hal yang tidak relevan seperti misalnya suku bangsa, agama, kelompok masyarakat, dll.

Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan evaluasi dan introspeksi.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun