Mohon tunggu...
Try Raharjo
Try Raharjo Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Republik

Subscribe ya dan like channel YouTube punyaku youtube.com/c/indonesiabagus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lebaran Berlalu, Tradisi Berbagi Jangan Berhenti

25 Mei 2021   07:49 Diperbarui: 25 Mei 2021   17:16 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suciatin (kiri) dan pengrajin tas anyaman. | Dokpri

Sejak pandemi menerpa Indonesia, nyaris semua orang terdampak olehnya, demikian pun pelaku usaha. Namun di tengah berbagai bentuk kesulitan yang dirasakan, kepedulian terhadap warga yang kurang mampu di negeri kita masih cukup kuat dirasakan. Setidaknya seperti yang dapat disaksikan sendiri oleh penulis di daerah tempat tinggal penulis yaitu Purwokerto.

Berbagi untuk warga yang terdampak secara ekonomi bisa dikatakan marak dilakukan oleh warga masyarakat kita yang memiliki rasa kepedulian kepada sesama. Hal tersebut semakin banyak dilakukan pada bulan Ramadan yang lalu, dan terlebih menjelang tiba perayaan Idul Fitri tahun ini.

Selama Ramadan banyak di antara umat muslim pada khususnya yang membagikan makanan untuk berbuka puasa dan untuk santap sahur. Ada yang membagikan di jalan, tapi pada umumnya mereka membagikan makanan tersebut melalui pengurus masjid di lingkungan masing-masing.

Semakin mendekati Idul Fitri, para dermawan yang ingin berbagi kebaikan dengan sesama mewujudkan niatnya antara lain dalam bentuk bingkisan atau parsel lebaran.

Kebiasaan berbagi sebagai sebuah nilai luhur yang dilandasi oleh rasa ikhlas dan mengharapkan pahala dari Allah berupa karunia berkah dan rahmat-Nya ini bila kita cermati, sudah ada sejak zaman dulu dalam kehidupan masyarakat kita.

Tradisi berbagi dari masa ke masa

Dalam sejarah peradaban Nusantara dikenal istilah ater-ater pada naskah Ramayana yang menggambarkan kehidupan masyarakat pada abad IX.

"Paling tidak, istilah 'ater' telah dikenal pada abad IX, terbukti oleh penyebutannya dalam kakawin Ramayana, Sutasoma," kata travelling chef Wira Hardiansyah seperti dikutip dari Kompas.

Lebih jelasnya, pada masa Kerajaan Majapahit terdapat tradisi yang disebut dengan craddha. Tradisi yang memuat kebiasaan berbagi ini pada awalnya sebagai bentuk penghormatan masyarakat untuk mengenang leluhur yang sudah meninggal. Dalam pelaksanaannya, masyarakat pada masa itu berkumpul dengan membawa sesaji untuk mengikuti upacara dan doa. Tradisi ini kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Sewaktu masuknya Islam pada abad ke-13 yang disebarkan oleh Wali Sanga, para wali kemudian memasukkan unsur dakwah dengan harapan masyarakat lebih mudah menerima Islam, sekaligus agar tidak berbenturan dengan kepercayaan yang lebih dulu ada.

Seperti dikutip dari Kompas, Titi Mumfangati dalam "Tradisi Ziarah Makam Leluhur pada Masyarakat Jawa" menerangkan bahwa tradisi craddha yang ada pada masa Kerajaan Hindu - Buddha itu tidak dihilangkan oleh para wali sebagai penyebar agama Islam. Kegiatan craddha diselaraskan dengan ajaran Islam sehingga upacara dan doa dalam tradisi tersebut diganti dengan doa dan bacaan ayat Al-Qur'an. Sementara sesaji diadaptasi oleh para wali menjadi makanan untuk dimakan bersama yang kemudian disebut dengan selamatan atau kenduri.

Istilah ater-ater yang yang ada pada tradisi tersebut adalah kata benda yang merujuk pada sesuatu (dalam hal ini yaitu berupa makanan) yang dipersembahkan atau diberikan. Dari kata ater itu kemudian muncul kata anter atau antar dan hantaran. Sementara dalam bahasa Jawa menurut hemat penulis selanjutnya dikenal istilah ngaturi yang artinya memberi atau mempersembahkan.

Dalam nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat kita sejak dulu, kebiasaan membagikan makanan kepada orang lain sering dilakukan dalam rangka sebuah hajat atau kepentingan, yang mengharapkan dukungan berupa bantuan moral atau doa, sekaligus sebagai cara untuk mengungkapkan rasa syukur tak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dengan demikian tradisi berbagi itu pada awalnya diwujudkan dalam bentuk berbagi makanan yang sudah masak dan siap saji untuk diberikan kepada sanak saudara, kerabat, dan tamu undangan pada sebuah acara tertentu. Mereka juga bisa membawa pulang makanan yang tersedia.

Di sini kita bisa memahami ada banyak sekali alasan untuk berbagi. Misalnya, membagikan makanan pada saat panen raya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kepada semua pihak yang telah membantu, dan sekaligus permintaan doa kepada hadirin agar panen yang selanjutnya dapat terlaksana dengan baik.

Contoh lain kebiasaan berbagi dapat ditemui di kehidupan tradisi masyarakat Jawa yaitu pada saat seorang ibu memasuki usia kehamilan bulan ketujuh, yaitu mengundang keluarga dekat, kerabat dan tetangga untuk datang dan dengan permohonan agar hadirin mau mendoakan agar kehamilannya berjalan lancar dan memberikan keselamatan kepada sang ibu dan bayinya.

Atau pada saat seorang anak memasuki usia 1 tahun, dengan harapan agar hadirin mau mendoakan sang anak agar kelak menjadi orang yang baik, berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Atau bahkan juga pada saat mengenang meninggalnya anggota keluarga. Misalnya pada hari ke-40, pada hari ke-100, pada hari ke-1000, dsb. Tujuannya tidak lain adalah agar si penerima mau memanjatkan doa seperti yang diharapkan oleh keluarga pemberi.

Jadi ada banyak kesempatan, sering pula kebiasaan berbagi itu diawali dengan berdoa kemudian makan bersama, untuk kemudian para hadirin dipersilakan membawa pulang makanan yang tersedia.

Kebiasaan berbagi makanan ini sangat jamak ditemui juga di berbagai pelosok daerah di Indonesia dengan berbagi bentuk, istilah dan alasannya masing-masing.

Di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, ada tradisi yang dilakukan oleh warga pada saat yang disebut nyadran. Mereka berkumpul di suatu tempat dengan membawa makanan untuk disantap seusai dilakukan doa bersama. Setiap yang hadir, kemudian dipersilakan mengambil makanan yang tersedia. Warga masyarakat setempat percaya jika makanan yang mereka bawa dan disajikan itu habis disantap oleh warga, maka rezekinya pun akan lancar menghampiri.

Selain itu di Aceh, misalnya, ada tradisi yang disebut dengan meugang. Tradisi ini diketahui ada pada masa kepemimpinan Sultan Alaiddin Iskandar Muda Meukuta Alam.

Saat itu Sultan mengadakan acara menyembelih hewan ternak sapi dalam jumlah yang banyak dan dagingnya dibagi-bagikan kepada rakyat.

Kebiasaan ini tidak hanya dilakukan di antara masyarakat sesama muslim saja, namun juga pada sesama umat Kong Hu Cu pada saat Imlek, atau sesama umat Kristen pada saat Natal.

Dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa Barat ada tradisi bernama munjung yang berasal dari kata 'kunjung'. Biasanya, munjung dilakukan mendekati Lebaran. Di sini adik mengunjungi kakak atau anak mengunjungi orang tuanya dengan membawa makanan di dalam rantang bersusun. 

Ada pula yang menyebut tradisi ini dengan istilah nganteuran. Artinya sama saja yaitu mengantarkan makanan.

Nah, biasanya rantang berisi makanan yang dikirimkan itu akan dikembalikan oleh si penerima dengan makanan juga yang merupakan hasil olahan atau masakan si penerima.  Ini dapat diartikan sebagai tanda terima kasih dari si penerima kepada yang mengirimkan makanan.

Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, tradisi ini kemudian diperkaya oleh masyarakat. Kudapan yang berasal dari buatan orang keturunan Belanda menjadi pelengkap hantaran di samping kudapan lokal. Misalnya kue nastar, kastengel, putri salju, dll. Aneka kue dan biskuit tersebut pun menjadi penambah menu kudapan khas hari raya hingga saat ini.

Dari hal ini kiranya kemudian kita mendapatkan alasan mengapa kaleng yang tadinya berisi biskuit kemudian dikembalikan oleh keluarga penerima kepada si pemberi dengan isi makanan buatan dari si penerima yang di antaranya ada berupa rengginang, peyek, kacang, dsb. Bisa jadi pada awalnya si pengirim memberikan biskuit kemudian orang yang menerima mengembalikannya dengan mengisi kaleng biskuit itu dengan makanan buatannya.

Sampai dengan tahun 1990-an, sebagian masyarakat kita masih menjalankan tradisi mengantarkan makanan siap saji kepada saudara atau tetangga dalam rantang. Namun saat ini tradisi tersebut sudah mengalami proses transformasi sesuai dengan situasi dan kondisi.

Berbagi pada masa kini

Tradisi berbagi makanan siap saji dengan rantang yang biasa dilakukan dewasa ini mulai banyak mengalami modifikasi dan variasi bentuknya. Satu di antaranya menjadi berbagi dalam bentuk parsel berisi makanan kering, biskuit, minuman ringan, dsb. Alasannya karena lebih praktis pada saat proses pengiriman, makanan lebih tahan lama, dan isinya bisa disesuaikan dengan kemampuan.

Saat ini bahkan, seperti sudah banyak dilakukan orang, parsel itu dikemas bukan saja untuk keluarga, tetangga atau kenalan yang spesial. Sebagian dari masyarakat kita ada yang sengaja membuat parsel khusus untuk diberikan kepada kaum dhuafa atau orang-orang yang dianggap membutuhkan bantuan. Parsel ini berupa bingkisan berisi bahan-bahan pokok kebutuhan rumah tangga seperti misalnya beras, minyak goreng, kecap, gula, telur, mi instan, dsb. Ada juga yang melengkapinya dengan sirup, telur, kain sarung atau kemeja dan bahkan juga ada yang menyertakan amplop berisi uang.

Semua tentu dilakukan sesuai dengan kemampuan sang dermawan. Pada hakikatnya bukan tentang isi dari bingkisan tersebut, karena yang lebih utama tentu adalah keikhlasan dan niat baiknya untuk semata mengharapkan pahala berkah dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.

Tradisi berbagi parsel semacam itu menjamur pada saat menjelang tiba Idul Fitri yang lalu. Hal ini pada satu sisi lain merupakan peluang kerja yang cukup menarik. Seperti misalnya yang dilakukan oleh Suciatin warga Kelurahan Bobosan di Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah.

Bekerja sama dengan beberapa pengusaha, di antaranya pengrajin tas anyaman ia membuat parsel berisi beras, minyak goreng, gula, biskuit, teh, dll. dan ditempatkan di sebuah tas anyaman hasil kerajinan tangan.

Suciatin yang juga koordinator Paguyuban Pelaku Usaha Banyumas (PPUB) mengaku bahwa dirinya berhasil meraih omzet penjualan hingga sekitar Rp 30 juta pada Lebaran tahun ini. Ia berhasil memasarkan bingkisan lebaran yang harganya per paket sekitar Rp100 ribu sampai Rp150 ribu itu melalui media sosial dan hubungannya yang cukup luas.

Kesuksesan ini juga berkat dukungan dari komunitasnya yaitu Paguyuban Pelaku Usaha Banyumas (PPUB) dan komunitas Beli Beli Tangga Dhewek yang dikelola bersama dengan teman-temannya.

Tradisi berbagi harus dilestarikan


Dalam hal membagikan parsel atau bingkisan sembako untuk kaum dhuafa atau orang-orang yang membutuhkan bantuan, kerjasama menjadi kunci dari keberhasilan kegiatan berbagi agar bingkisan tersebut dapat tersalurkan secara tepat kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan.

Saat bingkisan diterima oleh orang yang tepat maka tentu kebahagiaan itu dapat memberikan kebahagiaan pula bagi para donatur, di samping pahala berkah dan rahmat dari Allah SWT yang tentu akan diterima oleh para pemberi.

Parsel atau bingkisan sembako menjadi salah satu cara menyentuh orang-orang di sekitar kita yang kurang beruntung atau yang terdampak oleh pandemi. Parsel juga dapat dijadikan sebagai cara untuk membantu saudara kita yang membutuhkannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, terlebih pada masa pandemi Covid-19 seperti saat ini.

Ketika Lebaran telah berlalu, semangat dan keikhlasan untuk berbagi semestinya terus dijaga dan dipelihara agar selalu hidup di tengah masyarakat kita.

Jangan pernah kendur untuk saling menguatkan dan menjaga semangat berbagi, karena sebesar apa pun bantuan atau bingkisan yang dibagikan akan memberikan harapan dan bahagia bagi sesama.

Kita percaya, berbagi dengan sesama itu tidak mendatangkan rugi namun justru dapat mendatangkan rezeki yang lebih banyak kepada yang ikhlas memberikan sebagian rezekinya kepada sesama. Rezeki itu niscaya akan dibalas oleh Allah Yang Maha Kuasa sesuai dengan kehendak-Nya. Balasan itu bisa saja tidak berupa materi, namun bahkan yang lebih utama adalah juga berupa nikmat sehat, rezeki yang lancar mengalir, keluarga yang saling mencintai, kerabat, dan sahabat yang saling menyayangi dan saling mendoakan karena Allah, dst. Wallahu alam bissawab.

Sebagai pelengkap tulisan, berikut ini adalah video dokumentasi kegiatan berbagi yang pernah dilakukan oleh komunitas Brayan di Purwokerto. 


Harapan penulis ini bisa menginspirasi atau mempertebal solidaritas atau rasa persaudaraan dan setia kawan di antara sesama kita sebagai warga negara dengan tidak melihat perbedaan suku bangsa, agama, kepercayaan, atau golongan. 

Sekian. Salam kebajikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun