Mohon tunggu...
Try Raharjo
Try Raharjo Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Republik

Subscribe ya dan like channel YouTube punyaku youtube.com/c/indonesiabagus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melihat Tradisi Miwiti, Awal Masa Tanam Padi di Jawa

29 Maret 2021   08:32 Diperbarui: 31 Maret 2021   15:00 2256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis (kanan) dan Kang Titut petani warga Desa Pangebatan, Kec. Karanglewas, Kab. Banyumas, Jawa Tengah.| Dokpri

Saat ini petani masih diliputi oleh suasana keprihatinan karena dampak Covid-19 yang secara signifikan menurunkan volume permintaan beras sebagai akibat banyak sektor usaha yang mengurangi aktivitas atau bahkan ditutup. Menurunnya aktivitas dari sektor rumah makan dan perhotelan dan turunnya harga beras di sejumlah wilayah, termasuk di Kabupaten Banyumas dan Cilacap, masih ditambah oleh isu impor beras yang sempat beredar di tengah masyarakat,

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui akun Instagramnya @Jokowi pada 27 Maret 2021 telah menyampaikan bahwa pemerintah tidak memiliki rencana untuk impor beras setidaknya hingga bulan Juni yang akan datang. 


Meskipun demikian tidak sedikit kaum petani yang terlanjur merasa gundah, karena harga beras di Kabupaten Banyumas dan Cilacap tidak seperti yang mereka harapkan.

Dalam situasi demikian, kita mungkin bisa banyak belajar dari ketulusan dan semangat juang para petani di berbagai pelosok daerah yang konsisten pada profesinya, tetap bersemangat dan berpikir positif menjalani hidup sebagai petani dengan segala persoalan pertanian yang harus dihadapi.

Apapun yang terjadi, bagi mereka kerja mengolah tanah, menanam padi, dan menghasilkan beras sebagai kebutuhan pokok manusia ternyata tidak dilihat sekadar untuk mencari nafkah, tapi juga dipercaya sebagai panggilan hidup, sebagai jalan hidup yang telah dipilih mereka sebagai salah satu bentuk ibadahnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Optimisme dan keteguhan hati para petani, bisa terlihat dari pancaran mata para petani di Desa Pangebatan Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah pada saat mulai mengawali kegiatan bercocok tanam.

Penulis berkesempatan menyaksikan proses pelaksanaan sebuah kegiatan yang disebut dengan Miwiti (Mengawali) di Desa Pangebatan Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas Jawa Tengah (28 Maret 2021).

Miwiti adalah kata dalam bahasa Jawa yang memiliki arti mengawali. Yang dimaksud dengan mengawali di sini adalah mengawali kegiatan bercocok tanam padi. Dalam tradisi yang juga dilakukan oleh para petani lain di Pulau Jawa, para petani meluangkan waktu untuk berkumpul bersama dengan menjaga hubungan persaudaraan di antara mereka.

Di tengah hamparan sawah dengan padi yang menguning, sebagai hasil kerja keras mereka, setumpuk harapan panen besar di depan mata. Ada setumpuk harapan untuk bisa menyambung kehidupan dan penghidupan bagi diri mereka dan untuk anak cucunya kelak.

Mereka menyadari bahwa sebagai manusia mereka sejatinya adalah makhluk hidup yang memiliki banyak kekurangan dan kelemahan. 

Sehingga sebagai manusia biasa ada terselip rasa takut pada musibah gagal panen, harga anjlok, serangan hama, tikus, gangguan burung, dan binatang lainnya membuat mereka merasa harus berlindung pada kekuatan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Mereka pasrah pada kekuatan Sang Pencipta yang menguasai alam semesta ini, dengan memanjatkan puji syukur atas semua karunia berupa alam yang subur dengan cara menjaga dan mencintai sawah seperti kepada saudara mereka sendiri.

Mereka juga menyadari bahwa sebagai makhluk hidup mereka harus bisa menjalin hubungan di antara sesama manusia tanpa memandang perbedaan suku bangsa, agama, ras atau golongan. 

Di samping itu mereka juga wajib menjaga hubungan dengan sesama makhluk hidup yang lain, termasuk tumbuhan, sehingga terwujud keselarasan hubungan di alam semesta. 

Tumbuhan padi di sawah adalah juga mahluk hidup maka harus diperlakukan dan diperhatikan dengan baik, apalagi mereka selama ini telah menggunakan banyak waktunya untuk menggarap sawah dan memetik hasilnya.

Di sini para petani menunjukkan kekuatannya, optimisme dan semangatnya yang tak pernah padam untuk melanjutkan tradisi tanam padi, yang telah dilakukan secara turun temurun bahkan sejak sebelum Islam masuk ke Nusantara.

"Bapak Tani, Biyung Tani. Perkenankan saya mengambil beberapa tangkai padimu yang terbaik," ucap Mbok Narsiwen (72) sesaat sebelum memetik beberapa benih padi di sawah.

"Karena ini bagus, perkenankan saya untuk mengambil dan membawanya pulang. Akan saya simpan di rumah dengan hati-hati, sebagai benih unggul yang akan ditanam untuk masa yang akan datang", lanjut Mbok Narsiwen, sambil memandangi bulir-bulir padi harapannya.

Dengan hati-hati tangan kanannya lalu memilih beberapa tangkai padi sawah yang terbaik, dan mengumpulkan dalam satu genggaman jari tangan kirinya erat-erat.

Setelah dirasa cukup banyak, ia kemudian menyatukan beberapa tangkai padi itu dalam sebuah ikatan atau kepangan.

Mbok Narsiwen mengerti bahwa sawah dan padi adalah harapannya. Di sini ia menghabiskan banyak masa hidupnya untuk menggarap sawah bersama suami, keluarga dan sanak saudara lainnya. Ia mencintai sawah berikut padi dan memperlakukannya dengan sebaik mungkin.

Beberapa tangkai padi pilihan yang adalah benih unggul tersebut dipersatukan dalam sebuah ikatan atau kepangan cantik yang kemudian disebutnya sebagai Pengantin Padi, sebagai bibit unggul untuk masa tanam yang akan datang, dan menjaga keberlangsungan hidup para petani.

Mereka menyadari bahwa semua yang mereka miliki berupa hamparan padi yang menguning itu adalah tidak lepas dari campur tangan suatu kekuatan yang tidak ada tandingannya yaitu Tuhan Yang Maha kuasa. 

Mereka hanya bisa berharap dan memohon kepada-Nya untuk melindungi mereka dari bencana besar berupa gagal panen, hama, tikus, harga anjlok atau apapun mala petaka dalam berbagai bentuk yang bisa membuat mereka tidak bisa menikmati hasil pertaniannya.

Miwiti atau mimiti dengan demikian menjadi istilah untuk sebuah kegiatan yang dilakukan oleh para petani di Kabupaten Banyumas dalam mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sebelum mengawali kegiatan bercocok tanam padi, yang dilakukan sebelum panen padi dengan menyisihkan lebih dulu beberapa bulir padi sebagai benih untuk masa tanam berikutnya.

Thomas Stamford Raffles dalam buku The History of Java (1817) mengatakan bahwa Pulau Jawa sejak masa lalu disebut juga dengan Jawadwipa yang berarti pulau yang makmur oleh padi. Hal ini disebut juga dalam sejumlah kisah klasik India seperti Ramayana

Sementara Denys Lombard seorang sejarawan Prancis yang terkenal berkat bukunya yang berjudul Le Carrefour Javanais, Essai d'histoire globale (1990) mengungkapkan bahwa sebuah berita China dari masa Dinasti Yuan juga telah mencatat keberadaan Jawa dengan sebutan sebagai "Zhao-Wa".

Jawa identik dengan kekayaan padinya

Para petani di Jawa pada khususnya telah menjadikan sawah sebagai tempat dimana mereka bekerja, bersosialisasi, hingga menjalankan ibadah mereka sesuai kepercayaan dan keyakinannya.

Banyak tradisi Jawa yang dilakukan oleh para petani di sawah yang merupakan habitat bagi kehidupan petani, juga dalam melakukan aktivitas sosial dan budaya mereka. Di sawah, para petani tidak saja bekerja mencangkul, membajak, menanam padi dsb. tapi juga mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang merupakan ungkapan rasa syukur mereka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tradisi miwiti adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang hidup di tengah masyarakat petani negeri kita sebagai negeri yang sejak dulu telah memiliki tradisi bercocok tanam, yang menggantungkan hidup untuk diri dan keluarganya dari hasil bumi.

Ritual ini dilakukan sebagai wujud terima kasih dan rasa syukur atas karunia berupa tanah yang subur, yang menghasilkan aneka hasil bumi, yang kemudian disebutnya sebagai biyung bumi (ibu pertiwi).

Kegiatan miwiti disiapkan sebelumnya dengan menyediakan berbagai kebutuhan untuk acara tersebut. Antara lain membuat memedi sawah (hantu sawah, orang-orangan untuk menakut-nakuti burung pemakan padi), memasak nasi dan membuat jajanan untuk dimakan bersama pada acara miwiti yang menjadi ajang pertemuan para saudara tani.

Kegiatan ini dilakukan dengan juga mengundang Pak Lurah, perangkat desa, dan tokoh masyarakat setempat. Bahkan pada kegiatan miwiti di Desa Pangebatan Pak Wakil Bupati Banyumas Drs H Sadewo Tri Lastiono sebenarnya ingin pula hadir, tapi oleh karena kondisi tidak memungkinkan maka beliau hanya bisa menyampaikan titipan pesan melalui utusannya.

Petani menyajikan makanan yang sudah disiapkan kepada warga sekitar, Setiap warga boleh mengikuti tradisi wiwitan tersebut tanpa terkecuali dan memakan makanan yang sudah disiapkan bersama-sama.

Di samping sebagai sarana untuk warga desa menjalin hubungan silaturahmi satu dengan yang lain, dalam kegiatan ini para petani juga berkesempatan menjual hasil bumi atau hasil olahan pertanian kepada pengunjung yang menyaksikan.

Kegiatan tradisi miwiti yang diselenggarakan di Desa Pangebatan Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas tidak lepas dari peran besar Kang Titut Edi Purwanto seorang petani setempat yang telah menginisiasi dan menggerakkan warga untuk menjaga tradisi ini.

Berikut ini adalah video rekaman saat saya menjumpai Kang Titut di sawah, sehari sebelum pelaksanaan miwiti.

Dan berikut di bawah ini adalah video rekaman pelaksanaan kegiatan miwiti di Desa Pangebatan Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas, yang saya buat.


Sekian. Salam kebajikan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun