Globalisasi adalah kata serapan dari kata globalization (bhs. Inggris) yang terbentuk dari kata global atau dunia, sehingga bermakna pada sebuah proses yang mendunia.
Dalam kepustakaan sosiologi, ada banyak definisi untuk globalisasi. Salah satunya diartikan sebagai proses intensifnya (intensifikasi) hubungan sosial yang menghubungkan antara tempat-tempat berjauhan sehingga peristiwa di suatu tempat dapat dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di tempat lain yang sekian kilometer jauhnya dan sebaliknya (Anthony Giddens, 1992).
Sementara sosiolog Indonesia Selo Soemardjan (1915 - 2003) yang juga dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia mendefinisikan globalisasi sebagai terbentuknya sebuah komunikasi dan organisasi di antara masyarakat satu dengan lainnya yang berbeda di seluruh dunia, yang memiliki tujuan untuk mengikuti kaidah-kaidah baru yang sama (Nurdiaman, 2009).
Yang dimaksudkan dengan organisasi di sini yaitu seperti PBB, OKI, IMF, ASEAN, dll. Ada pun kaidah-kaidah baru yang sama dapat diartikan sebagai nilai-nilai universal yang kemudian terakomodasi, di antaranya berupa hak asasi manusia, kode etik jurnalistik, penghapusan apartheid, dll.
Semua hal di atas bisa terwujud berkat penemuan-penemuan terdahulu seperti telepon, telegraf, radio, televisi, satelit, komputer, dsb. yang secara langsung dan tidak langsung telah mengubah cara manusia berkomunikasi, dan bertukar pikiran.
Globalisasi tidak datang begitu saja, namun melalui rangkaian proses panjang yang terjadi secara berkelanjutan. Proses globalisasi ini terjadi dalam beberapa tahapan yang telah diulas oleh banyak pakar sosiolog terkemuka.Â
Dari berbagai sumber, penulis kemudian dapat menyimpulkan bahwa globalisasi berlaku melalui beberapa tahapan perkembangan sosial sbb.
I. Masa Memperoleh Komoditas Perdagangan
Masa ini adalah masa ketika manusia berhasil menemukan sarana transportasi yang efektif dan memungkinkan untuk menempuh perjalanan jarak jauh hingga menciptakan perdagangan lintas negara atau perdagangan internasional.
Pada masa ini manusia pada awalnya melakukan penjelajahan dengan misi untuk memperoleh misalnya rempah-rempah, sutera, tambang emas, dll.
Dari penjelajahan lintas negara yang melibatkan kapal-kapal besar untuk mengarungi samudera dengan misi dagang itu kemudian hasilnya dipersembahkan kepada penguasa, raja atau pihak yang membiayai penjelajahan. Namun kemudian dalam perkembangan selanjutnya ada juga yang tujuannya bergeser menjadi ambisi untuk membentuk koloni baru, atau dalam banyak kasus adalah sebagai upaya untuk memperluas wilayah koloni dan kekuasaannya.
II. Masa Misi Penyebaran Agama
Didorong oleh misi penyebaran agama, penjelajahan lintas batas negara menjadi lebih luas. Pada masa ini ada yang membawa misi khusus untuk melakukan penyebaran agama, ada yang hanya melakukan perdagangan antar negara, ada juga yang melakukan perdagangan sambil melakukan penyebaran agama.
III. Masa Pemasaran Produk Industri
Masa berikutnya adalah masa setelah terjadi revolusi industri yang diakibatkan oleh penemuan mesin uap, listrik, pesawat terbang, dll. sehingga manusia dapat melakukan proses produksi secara massal dan memasarkannya secara massif sesuai dengan standarisasi industri. Dari hal ini manusia semakin intensif melakukan perdagangan internasional dan mendorong lebih ketatnya persaingan di dunia perdagangan internasional.
Pada masa ini brand atau merk dagang dan hak paten adalah hal yang dinilai sangat penting untuk menjamin kualitas produk dan pelayanan purna jualnya.
IV. Masa Terbentuknya Pasar BebasÂ
Didorong oleh kemajuan teknologi yang makin pesat, maka hubungan antar negara tidak lagi hanya mengandalkan sarana transportasi dan juga didukung sarana komunikasi seperti telepon, telegraf, dan faksimili, tapi juga dengan penggunaan komputer portabel dan telepon genggam.Â
Didukung oleh pembangunan infrastruktur telekomunikasi, maka produk industri makin mudah dipasarkan melalui berbagai bentuk kerjasama bisnis perdagangan antar negara dengan cara yang semakin efisien.
Dari hal inilah kita mengenal KFC, Coca Cola, Honda, Gucci, dan banyak produk-produk lain yang membuka jaringan pemasaran di banyak negara
V. Memasuki Era digital
Teknologi informasi yang semakin canggih dan penggunaan teknologi yang kian meluas, didukung infrastruktur telekomunikasi yang kian merata, dan ditambah lagi dengan fasilitas internet dan kecerdasan artifisial (Artificial Inteligence, AI) telah memungkinkan manusia lebih pesat lagi mengalami proses transformasi.
Masa yang kini kita jalani adalah era di mana teknologi digital telah digunakan semakin luas. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), dari total populasi sebanyak 264 juta jiwa penduduk Indonesia, ada sebanyak 171,17 juta jiwa atau sekitar 64,8 persen yang sudah terhubung ke internet (Baca Kompas)
Kehidupan sehari-hari kita benar-benar dipermudah termasuk untuk melakukan belanja secara online di mana pembeli tidak harus  bertemu dengan penjual.
Dampak yang ditimbulkannya membuat pemasaran pun dapat dilakukan lebih intensif dan cepat.
Akibatnya perilaku konsumen mulai berubah. Pada beberapa waktu yang lalu departement store menjadi primadona bagi anak muda untuk berbelanja fashion mode terbaru, tapi kini banyak di antara mereka lebih suka menggunakan smartphone untuk memilih produk dan belanja secara online.
Akibatnya beberapa jaringan pemasaran yang konvensional terpaksa harus menutup beberapa cabang usahanya di sejumlah tempat dan beralih fokus ke pemasaran online.
Demikian pula halnya terjadi pada beberapa media cetak. Beberapa media cetak terpaksa berhenti atau mengubah platform, contohnya: Sinar Harapan, Majalah Reader's Digest Indonesia, Rolling Stone Indonesia, Hai, Kawanku, Tabloid Bola, Soccer, Cek & Ricek, dll.
"Orang membaca koran berlembar-lembar itu, maaf, seperti orang yang masih pakai sirih, sudah langka," ujar Ilham Bintang, Pimpinan Redaksi Tabloid Cek & Ricek ketika itu saat ditanya oleh wartawan AFnews mengenai alasannya berganti platform menjadi media online (23/4/2019).
Ilustrasi
Teknologi informasi digital dan internet yang saat ini bisa dinikmati siapa pun dengan telepon genggam senyatanya terus mengalami inovasi dan dikembangkan kemampuannya.
Ada banyak manfaat di berbagai bidang yang bisa diperoleh dari hasil kemajuan teknologi digital, namun tentu ada saja orang yang ingin menggunakan teknologi untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Pada masa peralihan menuju era digital ini kita mengenali jenis kejahatan yang disebut dengan kejahatan siber (cybercrime).
Kejahatan siber adalah suatu tindak kejahatan, yang merugikan orang lain, yang bertentangan atau melawan undang-undang yang berlaku, dengan menyalahgunakan teknologi informasi. Ini adalah merupakan kejahatan nonfisik dengan barang bukti digital.
Polisi dalam melakukan penyelidikan menggunakan perangkat laboratorium forensik yang khusus, dan dalam proses persidangan di pengadilannya membutuhkan keterangan dari ahli Teknologi Informasi (TI).
Jenis-jenis kejahatan yang masuk dalam kejahatan siber ini di antaranya adalah sbb.:
1. Cyber Harrasment
Yaitu meliputi ujaran kebencian, penghinaan, fitnah, dan hasutan. Pihak yang tersinggung dengan ujaran kebencian tersebut dapat melaporkan kepada aparat hukum agar pelaku ditindak sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku.
2. Phising
Yaitu penipuan dengan cara menyamar sebagai orang atau petugas dari perusahaan / lembaga dengan tujuan untuk menarik sejumlah uang dari rekening bank korban.
Para penjahat ini dalam aksinya sering menggunakan modus berupa penyebaran informasi palsu (hoax) mengenai hadiah melalui pesan berantai (broadcast) di media sosial. Dalam pesan tersebut orang diminta untuk membuka sebuah tautan di internet. Bila diikuti, akan ada permintaan untuk menyebutkan data pribadi dan informasi pribadi (kata sandi, PIN ATM, atau kartu kredit). Selanjutnya, bila mereka berhasil mendapatkan semua kode tersebut kemudian mereka akan menggunakannya sebagai cara untuk menyamar dalam transaksi elektronik, yang bisa berarti mengambil semua uang korban di bank.
3. Hacking
Yaitu menyalahgunakan keahlian pemrograman komputer yang bertujuan merugikan orang, kelompok, atau lembaga tertentu. Pelakunya bisa perseorangan atau kelompok.
4. Cyber Money Laundering
Yang dimaksud cyber money laundering atau pencucian uang siber adalah perbuatan menggelapkan asal usul sejumlah uang yang dihasilkan dari perbuatan haram (ilegal) dengan cara menyetorkan uang itu ke dalam kegiatan (misalnya kegiatan amal sosial) kemudian uang itu diterima oleh pelaku lainnya.
Sebagai contoh, seperti dikutip dari integrity-indonesia.com pelaku bisa menggunakan situs crowdfunding. Situs ini mudah diakses, mudah digunakan dan cenderung masih belum menerapkan sistem anti kecurangan dan anti pencucian uang (Anti-Money Laundering, AML) yang menjadikannya sebagai tempat yang ideal untuk mencuci uang bagi banyak pelaku tindak kejahatan pencucian uang  siber. Di sini pelaku bisa saja membuat kampanye fiktif dan 'menyumbangkan' uang hasil kejahatannya untuk kampanye tersebut. Lalu menguangkannya kembali sehingga bank akan mencatat uang tersebut legal karena berasal dari situs crowdfunding.
Nah, selain empat bentuk tindak kejahatan siber tersebut di atas, ada banyak jenis tindak kejahatan siber lain, seperti misalnya pornografi, penghinaan terhadap lambang atau simbol negara, dsb.
Apa yang harus dilakukan untuk menghadapi era digital?
Kemajuan teknologi yang kita rasakan sekarang adalah suatu hal yang terus terjadi dan tidak bisa dihentikan. Banyak manfaat bisa dipetik dari teknologi sebagai alat untuk mempermudah pekerjaan manusia, tapi pada sisi lain muncul bentuk-bentuk kejahatan baru berupa penyalahgunaan teknologi atau kejahatan siber.
Beberapa hal berikut adalah bentuk antisipasi yang dilakukan dalam menghadapi era digital saat ini.
1. Literasi digital ditingkatkan
Paul Gilster dalam bukunya yang berjudul Digital Literacy (1997) mendefinisikan literasi digital sebagai kemampuan seseorang dalam memanfaatkan berbagai bentuk informasi yang bersumber dari komputer atau pun smartphone.
Saat ini warga kita lebih banyak menerima informasi dari komputer atau pun smartphone daripada media lainnya. Apalagi sarana dan prasarana jaringan internet semakin meluas dan smartphone yang beredar di pasaran sudah semakin canggih. Padahal secara umum masih banyak di antara kita yang belum sampai pada tahap kemampuan memahami informasi digital secara baik. Dengan kata lain masih memiliki tingkat literasi digital yang rendah.
Hal tersebut terjadi karena pada dasarnya minat baca masyarakat kita juga masih rendah. Akibatnya sering kali gagal paham dalam menerima informasi yang disajikan secara digital.
Ini bisa terjadi karena antara lain:
- hanya membaca judul tanpa pernah membaca informasi selengkapnya,
- mudah terpancing emosi oleh pernyataan yang dikutip seseorang yang tidak sesuai dengan konteks persoalan sebenarnya, dan
- terlalu mudah berkesimpulan, padahal baru membaca informasi yang berupa opini dari seseorang yang tidak dikenalnya di media sosial.
2. Patroli siber diperkuat
Polri telah membentuk satuan kerja patroli siber (Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri) yang bertugas untuk melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan siber. Pemerintah juga telah menyusun ketentuan hukum, aturan dan perundang-undangan untuk kepastian hukum dalam menjaga ketertiban dan keamanan menggunakan teknologi, termasuk dalam bertransaksi secara online.
Dalam hal ini upaya untuk menekan tingkat kejahatan siber yang dilakukan oleh aparat kepolisian sudah semestinya bersinergi dan melibatkan lebih banyak warga masyarakat, bila perlu dengan memfasilitasi terbentuknya organisasi atau lembaga swadaya masyarakat untuk bersinergi dalam penegakan hukum terhadap tindak kejahatan siber.Â
Contoh organisasi atau lembaga yang giat bergerak di bidang pemberantasan hoaks serta literasi digital di antaranya adalah Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi), dll.
Organisasi besar keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah pun giat berperan serta melakukan edukasi dan literasi digital kepada masyarakat.
Hal ini menurut penulis sesuai dengan yang dikemukakan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang menghendaki respon cepat melalui kerja sama dengan masyarakat dan juga peran aktif dari satuan-satuan sadar kamtibmas yang ada di masyarakat (Baca Kompas).
Dengan kesadaran seluruh komponen bangsa, dan sinergitas yang baik antara Polri dengan warga masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh wanita, dsb. maka diharapkan ketahanan masyarakat kita semakin kuat untuk dapat segera mengidentifikasi berbagai modus kejahatan siber, mencegah / menangkal tindak kejahatan siber, dan dapat segera menemukan pelaku berikut dengan barang buktinya, untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan dalam beraktivitas menggunakan teknologi digital.
2. Teknik komunikasi diperkaya
Harus diakui bahwa tingkat literasi dan minat baca warga masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Walaupun mayoritas penduduk Indonesia bukan buta huruf, tapi tidak berarti memiliki minat baca yang baik. Oleh karena itu edukasi untuk menggunakan teknologi secara bijak, sosialisasi terkait upaya meningkatkan kesadaran hukum, perlu digiatkan.
Mengenai edukasi dan sosialisasi yang dilakukan, selain dengan cara yang konvensional (penyuluhan langsung) harus juga dengan memanfaatkan teknologi digital, melalui media sosial.
Walaupun hingga saat ini spanduk, poster, baliho dan sosialisasi di media cetak dan elektronik masih dibutuhkan, tapi kekuatan media sosial juga harus lebih dioptimalkan.
Terkait hal ini, lembaga dan instansi swasta maupun pemerintah, menurut pandangan penulis, wajib memiliki satuan tugas yang dibekali kemampuan jurnalistik / reportase memadai untuk dapat membuat content yang selalu update dan responsif, yang bertugas menyampaikan informasi dan program kegiatan institusinya melalui situs web dan media sosial.
Setiap lembaga / instansi sebaiknya memiliki gugus tugas (atau apa pun namanya) yang aktif dan cakap membuat press release atau siaran pers dan berita kegiatan yang bisa segera diakses oleh masyarakat umum.
Influencer, artis dan pelaku usaha kreatif sebaiknya juga lebih banyak dilibatkan untuk membantu menyampaikan pesan kepada masyarakat, menurut bahasa yang sesuai dengan daya pikir masyarakat yang dituju.
3. Jatidiri bangsa harus dijaga
Globalisasi mendorong kehidupan masyarakat kita jadi lebih banyak mengenal konsep pemikiran dari luar negeri beserta dengan budayanya, dari berbagai negara yang memiliki ideologi berbeda-beda, termasuk di antaranya adalah ideologi yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam kondisi demikian, maka konsepsi dan cita-cita bangsa, yang meliputi jatidiri atau karakter bangsa, memiliki peran yang strategis karena posisinya sebagai martabat dan harga diri kita di kancah pergaulan internasional.
Pada saat memperkenalkan Pancasila kepada dunia dalam sebuah pidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada 30 September 1960, Presiden Soekarno pernah mengatakan,
"Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya".
Terbaca jelas bahwa Presiden Soekarno selaku pendiri negara kita menyadari pentingnya konsepsi dan cita-cita bangsa ini bagi keutuhan negara kita sejak dulu.
Posisi penting konsepsi kenegaraan dan hukum setiap negara bangsa tentu memiliki ciri khas masing-masing sesuai dengan latar belakang sejarah, kondisi sosial-budaya, serta karakteristik bangsa yang bersangkutan.Â
Adapun salah satu karakteristik Indonesia adalah sebagai negara-bangsa yang besar, luas dan majemuk. Dan karakteristik bangsa Indonesia ini tercermin pada nilai-nilai yang terkandung pada butir-butir pengamalan lima sila yang ada di dasar negara kita yaitu Pancasila.
"Bung Karno menyangkal pendapat Bertrand Russel, seorang filsuf Inggris, yang membagi dunia hanya ke dalam dua poros ideologi, yaitu kapitalisme dan komunisme. Bung Karno mengatakan, Indonesia tidak dipimpin oleh kedua paham itu," kata Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah kepada Kompas beberapa waktu silam.
"Bung Karno dengan lantang mengucapkan, 'Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok. Sesuatu itu kami namakan Pancasila'," papar Basarah menirukan ucapan Bung Karno di sidang PBB kala itu.
Pada masa arus informasi begitu deras mengalir seperti sekarang, maka karakteristik atau jatidiri bangsa ini semakin memiliki arti penting untuk dijaga sebagai salah satu kekuatan bangsa kita.
Penguatan jatidiri bangsa harus didukung dengan peran serta seluruh masyarakat, untuk menjaga nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang terkandung dalam empat pilar kebangsaan (yaitu Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika), serta mengedepankan nilai-nilai keagamaan yang moderat dalam hidup bermasyarakat sebagai benteng dari arus globalisasi.
Oleh karena itu kegiatan pendidikan di lembaga pendidikan formal dan nonformal diwajibkan mengandung muatan nilai-nilai luhur bangsa yang termaktub dalam kelima sila pada Pancasila.
Kesimpulan / Penutup
Globalisasi yang diikuti dengan era digital adalah sebuah proses yang tidak dapat dihindari. Penggunaan teknologi informasi membawa pengaruh banyak sekali pada berbagai aspek kehidupan kita.
Hal yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah bekerja sama. Tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh wanita, dan sebagainya harus memahami bahwa teknologi informasi hanya sebuah alat yang memiliki dua sisi: untuk memperoleh manfaat kebaikan atau justru dapat menimbulkan kerugian.
Bagi generasi muda, harus terus belajar dan mempersiapkan diri menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dan akan terus terjadi.
Berikut ini adalah beberapa hal yang harus diperhatikan oleh generasi muda penerus estafet kepemimpinan bangsa untuk menghadapi era digital:
1. PendidikanÂ
Pendidikan adalah kunci yang penting untuk menghadapi masa depan. Bangsa Indonesia pada umumnya dan generasi muda pada khususnya harus menguasai ilmu pengetahuan, utamanya teknologi, yang juga tidak mengesampingkan pendidikan moral (agama) dan budi pekerti (etika) sehingga mampu menggunakan teknologi untuk kesejahteraan seluruh bangsa.
2. Literasi digital
Generasi muda yang merupakan generasi penerus bangsa harus memiliki kemampuan literasi digital yang cukup tentang bagaimana menggunakan teknologi informasi secara baik. Dengan memiliki literasi digital yang baik, maka generasi muda tidak mudah terombang-ambing oleh derasnya arus informasi.
3. Jatidiri bangsa
Generasi muda harus menyadari arti pentingnya jatidiri bangsa yang terwujud dalam empat pilar, yaitu: Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Seperti yang dikatakan oleh Presiden Soekarno, bahwa konsepsi dan cita-cita itu jangan sampai kabur dan usang. Ini maksudnya agar generasi muda tidak tumbuh menjadi generasi yang tidak punya jatidiri kebangsaan, atau rendah diri dalam pergaulan antar bangsa,  mudah digoyahkan oleh ideologi asing, dan lemah dalam posisi geopolitik dunia internasional saat kelak menerima estafet kepemimpinan.
Generasi muda Indonesia harus menjadi generasi yang percaya diri menuju masa depan yang gemilang.
Generasi muda Indonesia yang memiliki jatidiri bangsa yang kuat, menguasai teknologi digital dan memiliki literasi digital akan dapat mengembangkan potensi dan kreativitasnya sebaik mungkin demi kesuksesan pendidikan dan masa depannya, sehingga mampu membawa Indonesia untuk memiliki kekuatan bersaing di dunia internasional.
Â
Demikian sekilas pandangan penulis tentang fenomena globalisasi dan era digital di kehidupan masyarakat Indonesia. Sumber tulisan diambil dari berbagai sumber dengan segala keterbatasan yang dimiliki penulis. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam memperkaya khasanah pengetahuan kita.
Sekian. Salam kebajikan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H