Baca juga: Warisan Budaya Dunia: Antara Borobudur dan Badaling, Batu Bertutur
Asal Mula Begalan
Dari literatur budaya Banyumas, disebutkan bahwa tradisi begalan muncul dari sebuah peristiwa pada masa pemerintahan Bupati Banyumas R. Adipati Tjakranegara (masa pemerintahan tahun 1832-1864).Â
Sekitar seminggu setelah pernikahan putera sulung R. Adipati Tjakranegara yang bernama Pangeran Tirtakencana dengan Dewi Sukesi puteri bungsu dari R. Adipati Wirasaba.
Disebutkan bahwa Pangeran Tirtakencana hendak memboyong Dewi Sukesi menemui orang tuanya di Banyumas yang berjarak sekitar 20 km jauhnya dari Wirasaba.
Setelah menyeberangi Sungai Serayu dengan menggunakan perahu, pengantin yang diikuti rombongan sesepuh dan beberapa pengawal itu di tengah perjalanan tiba-tiba dihadang oleh begal yang mau merampas semua barang bawaan rombongan tersebut. Percekcokan pun terjadi, hingga tak terelakkan lagi terjadi perkelahian sengit melawan begal tersebut.
Setelah beberapa jurus, begal itu akhirnya kalah. Begal itu pun langsung kabur melarikan diri ke dalam hutan.
Semua bernapas lega, perjalanan pun kemudian dilanjutkan kembali. Disebutkan bahwa rombongan kemudian melalui Desa Sokawera dan Desa Kedunguter.
Akhirnya rombongan pun tiba dengan selamat di tujuan. Acara syukuran pernikahan kemudian digelar di Banyumas. Tapi kejadian begalan di perjalanan itu menjadi pelajaran yang tidak dapat dilupakan oleh keluarga, kerabat sanak saudara dan warga masyarakat Banyumas pada umumnya.
Untuk menghindari kejadian serupa terjadi, para sesepuh berpesan agar mempelai tidak boleh ceroboh, hendaknya selalu mendengar pesan-pesan orang yang lebih tua, dengan harapan semoga kedua mempelai dapat selalu terhindar dari aneka marabahaya.Â
Dari pengalaman itu terbitlah hikmah pelajaran, dan kreativitas yang kemudian melahirkan seni Begalan.