Seminggu  yang lalu warga Surakarta dikejutkan dengan kemunculan coretan di Tugu Jam Pasar Gedhe yang sangat merusak keindahan tugu. Coretan tangan yang tidak diketahui siapa pembuatnya diketahui sejenak setelah penyalaan lampion pada tanggal 14 Januari 2020.Â
Selain itu, di Kota Rembang juga ditemukan aksi coretan yang sangat meresahkan warga karena merusak fasilitas umum pada tanggal 2 Januari 2020 warga menemukan coretan di Tugu Pasar kota Rembang.Â
Masyarakat pun segera memberi komentar yang beragam. Ada yang beranggapan graffiti dan mural mengganggu kebersihan atau kurang kerjaan mencorat-coret tembok. Salah satunya ditunjukkan pada ungkapan Anita penikmat lampion yang berasal dari Madiun. Dia menyatakan bahwa "graffiti hanyalah kegiatan yang merusak keindahan kota." ungkapnya.Â
Tetapi jika kita lihat lebih teliti, sebenarnya graffiti dan mural itu mengandung sebuah pesan sebagai penghubung antara masyarakat  dengan pemerintah seperti yang diungkapkan oleh Bapak  ST. Sunardi yang menyatakan "Kita tidak boleh cepat-cepat mengambil penilaian, karena  graffiti dan mural sebagai suara masyarakat dan merupakan bagian dari dinamika sosial." tutur nya.Â
Hal ini juga didukung oleh pendapat yang dituturkan oleh Pak Samuel yang sudah menggeluti bidang mural ini Juga menyampaikan beberapa fungsi graffiti. Antara lain sebagai bahasa rahasia kelompok tertentu, sarana ekspresi ketidak puasan terhadap keadaan sosial, sarana pemberontakan dan sarana ekspresi ketakutan terhadap kondisi politik dan sosial yang terjadi pada saat ini. Bahkan sebuah graffiti dapat dipakai untuk memotivasi seseorang, misalnya seperti graffiti "Mari membaca" dan "Jaga Kerukunan Antar Umat beragama".
Dampak positif yang terjadi dikalangan remaja yaitu para remaja yang tergabung didalam sebuah sebuah komunitas akan tersalurkan bakat dan imajinasinya untuk membuat sebuah graffiti ataupun mural. Bahkan dari situlah bakat mereka akan diasah.Â
Di Yogyakarta terdapat komunitas mural yang didirikan oleh Pak Samuel pada awal tahun 2006 yang terkenal dengan sebutan JMF ( Jogja Mural Forum ) anggota-anggotanya terdiri dari para pemerhati, seniman, maupun para anak muda yang tertarik dengan seni mural.
 JMF yang juga memiliki visi yaitu menjadikan seni mural sebagai sarana pendidikan seni kepada publik kota. Pendidikan seni ini tidak hanya terbatas pada teknik seni visual, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana warga kota bisa menggali permasalahan di sekitarnya dan mengemasnya menjadi sebuah pesan-pesan visual yang menarik.Â
Adapun prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi komunitas JMF adalah memposisikan seni ruang publik sebagai cara warga masyarakat mengekspresikan gagasannya. Dengan prinsip dasar seperti itu mural dapat dibuat untuk mewakili apa yang sedang dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Peran graffiti yang lainnya, seperti yang diungkapkan oleh salah satu anggota FAT yaitu Aris. Dia mengungkapkan bahwa komunitas membuat graffiti dan mural memiliki tujuan untuk mewarnai kota, karena sangat sayang sekali kalau tembok-tembok yang sangat strategis letaknya itu rusak akibat ditumbuhi oleh lumut, jadi lebih baik di beri warna agar lebih menarik.Â
Ungkapan senada juga disampaikan oleh Joko " Ya, lumayan untuk menambah pemandangan. Daripada nglihat tembok putih yang kosong, kan mending nglihat tembok yang di graffiti atau mural, kan ada nilai seninya." kata mahasiswa Rekam Medis UGM ini. Â
Jadi alangkah baiknya jika graffiti dan mural dibuat dengan sederhana sehingga dapat dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat dalam waktu sekejab. Seperti yang diungkapkan Pak Samuel, " graffiti yang menarik adalah graffiti yang menyuarakan sesuatu, ruangnya pas sehingga ruang yang kumuh dibuat full colour, menambah nilai ruang, menyampaikan gagasan yang unik, pesan-pesan politik, sosial dan lain-lain." ungkapnya.Â
Hal ini didukung oleh Dinas Pariwisata Yogyakarta yang membuat program muralisasi kota dengan tujuan menambah keindahan kota. Bahkan bapak walikota sangat tertarik dengan mural. Dia ingin kota Jogja diperindah dengan mural seperti yang beliau lihat saat jalan-jalan ke Jerman.
Pak Andre Tanaman juga memiliki pandangan yang sama tentang graffiti, "graffiti menjadi penyaluran bakat jika graffiti dilaksanakan dengan koordinasi, dapat dipastikan bahwa masalah estetika sudah diperhatikan, salah satu mural yang kita temui di daerah Lempuyangan ada yang unik karena menggambarkan salah satu sosok pewayangan yang sangat familiar di kota Yogyakarta yang masih sangat kental budaya jawa ini. Jadi walaupun graffiti dan mural itu berasal dari budaya luar, asalkan dapat disesuaikan dengan budaya lokal.Â
Graffiti dan mural akan dapat diterima oleh masyarakat. Dengan kata lain mural dapat juga digunakan untuk memperkenalkan sebuah kebudayaan kepada masyarakat sekitar.Â
Pada akhir-akhir ini graffiti dan mural dipakai untuk ajang bisnis. Seperti pembuatan graffiti atau mural untuk memperindah kafe, Distro (Distribution Store) ataupun untuk menyampaikan sebuah pengumuman event oleh sponsor.Â
Ada juga yang membuat graffiti di atas media lain dengan tujuan komersial antara lain sepatu, tas, skateboard, dan kaos. Sehingga graffiti bukan hanya ajang untuk sarana penyampaian kreatifitas, melainkan juga untuk menambah uang saku.
Sedangkan dampak negatif dari sebuah graffiti adalah seperti yang telah diungkapkan diatas. Graffiti hanya mampu merusak pemandangan jika di letakkan ditempat yang tidak sesuai dengan keaadaan lingkungannya. Contohnya gambar-gambar vulgar yang tidak sesuai dengan budaya kita yang kental dengan adat Jawanya. Bahkan pada akhir-akhir ini kita juga sering melihat gambar-gambar yang mengandung kampanye sebuah partai.Â
Apalagi jika ada tindakan menumpuk sebuah karya komunitas tertentu yang dilakukan oleh komunitas yang lain. Ini justru akan menyebabkan sebuah konflik panjang antar komunitas.Â
Jadi alangkah baiknya jika setiap komunitas itu menjalin komunikasi yang baik  dan saling menghargai karya masing-masing agar tidak timbul konflik. Sehingga mampu menghasilkan karya yang lebih baik dengan penuh rasa kedamaian.
Lalu bagaimana dengan alat-alat yang digunakan untuk membuat graffiti dan mural itu?
Para bomber dalam membuat graffiti ataupun mural itu selalu memakai spray paint atau yang dikenal dengan istilah pilox ini. Padahal setiap satu kali ngebomb membutuhkan lebih kurang tujuh kaleng cat semprot. Dan kita juga tahu kandungan yang terdapat pada spray paint dapat merusak lapisan ozon belum juga jika terkena kulit atau terhirup oleh kita.Â
"Menurutku tuh bahan yg dtimbulkan pilox tuh bahaya banget ya,bisa ngrusak kulit dan ngrusak ozon." Â Seperti yang disampaikan oleh Adib mahasiwa Desain Art Universitas Sebelas Maret ini. Adib juga bercerita "aku klo ngebomb tuh pake cat tembok trus, udah murah, hemat, hasilnya juga ga jauh beda ma pilox,dan aku juga ga ngrusak lingkungan sekitar. Aku juga pake pilox tapi dikit, pilox clear yang gunanya buat finishing agar cat tembok warnanya bisa mengkilat."ungkapnya.Â
Para bomber juga harus  memakai masker saat menjalankan  aksinya, agar tidak mengirup gas yang beracun itu. Untungnya, menurut Aris cat jaman sekarang telah free dari bahan-bahan berbahaya. Jadi dengan menggunakan cat yang telah ramah lingkungan, kita ikut dalam menjaga kelestarian hidup dimuka bumi ini.
Graffiti sampai kapan pun mungkin bakal jadi kontroversi. Di satu pihak bakal bilang kalau graffiti itu perbuatan vandalisme, tapi pihak yang lain mengartikan seni, kebebasan berekspresi.
Lain halnya di Yogyakarta, yang setiap seniman bebas berkarya, pihak pemerintah pun nggak perlu repot-repot ngejar-ngejar seniman yang bandel. Karya yang nggak bikin sakit mata, lebih-lebih sakit hati, tentu bakal diapresiasi dengan baik oleh masyarakat.
Semoga saja di kota besar lainnya dapat mencontoh kebijakan pemerintah Yogyakarta yang menyediakan tempat untuk para seniman menampilkan karyanya dan dapat memperindah kota.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI