Mohon tunggu...
Tri Mulyati
Tri Mulyati Mohon Tunggu... Guru - senang berpikir dan menulis

tak pernah berhenti berpikir. Memiliki lansekap imajinasi yang kaya. Senang mengamati kehidupan. Introvert yang kadang berpura-pura menjadi ekstrovert...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Budaya Konformitas di Balik Kata "Bestie"

13 Juli 2022   15:19 Diperbarui: 14 Juli 2022   03:28 1567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggunaan kata "bestie" yang populer di kalangan remaja maupun dewasa, perlu diwaspadai dimungkinkan dapat membentuk budaya konformitas. Ilustrasi: Freepik 

"Apa kabar hari ini bestie?"

Nah, siapa yang tak familiar dengan gaya sapaan semacam ini? Tentu saja sangat tak asing di telinga.

Sapaan ini terdengar ‘manis’ karena didalamnya terdapat kata ‘bestie’ yang merupakan sesuatu yang baru dan sedang menjadi populer penggunaannya saat ini. 

Mari kita telusuri lebih lanjut dari kata "bestie" ini.

Kata "bestie" merupakan salah satu kata slang (bahasa gaul) yang banyak digunakan saat ini khususnya oleh kalangan milenial. Kata "bestie" dapat diartikan sebagai teman dekat atau sahabat. 

Dalam penggunaannya, terdapat dua tujuan. Pertama memberi kesan akrab, dan kedua untuk membentuk identitas.

Menurut penulis, dalam hal ini kedua tujuan tersebut dimungkinkan menghasilkan dampak sosial yang berbeda, yaitu dampak positif dan negatif. 

Contoh dampak positif dari penggunaan kata "bestie" misalnya digunakan diantara kalimat candaan sehari-hari atau sapaan ringan pada banyak orang tanpa tertuju pada orang tertentu sebagai penjalin keakraban.

Sedangkan contoh dampak negatifnya yaitu jika seseorang mengatakan kata "bestie" hanya pada orang-orang tertentu atau kelompok yang ia sering terlihat bersamanya sehari-hari yang dapat diartikan bahwa ia sedang membentuk identitas yaitu ingin orang lain tahu pengakuan spesialnya “ini adalah kelompokku” terhadap kelompok tersebut.

Namun, apabila hal ini terlalu kuat, akan menghasilkan fenomena khas, yaitu budaya perkelompokan.

Dalam hal ini, penulis akan fokus pada dampak negatif dari penggunaan kata "bestie" yang populer. Dimana jangkauannya digunakan bukan hanya oleh kalangan remaja saja namun juga oleh kalangan dewasa yang menjadi benih dari budaya perkelompokan.

Melalui kata "bestie" ini dapat menjadikan sebuah perkumpulan (kelompok) akan semakin memperlihatkan dengan jelas identitasnya sebagai sebuah kelompok tertentu. Dapat dilihat dari ucapan yang disertai sikap yang ditunjukan dari manifiestasi kata "bestie" yang diucapkan.

Contohnya, saling menyapa diantara teman sekelompoknya dengan menggunakan kata "bestie" dan tidak untuk teman yang bukan kelompoknya. Dengan demikian ada semacam pemisah yang mereka bangun dalam lingkungan sosial. 

Belum lagi sikap-sikap yang mengandung arti semacam penolakan terhadap anggota di luar kelompok yang disebabkan rasa nyaman dan ingin saling menjaga antar anggota kelompoknya sehingga enggan untuk menerima sesuatu yang baru.

Contohnya, sikap tidak mau digabungkan dalam kelompok yang lain dan menganggap remeh anggota di luar kelompok.

Contoh lain, membuat keputusan yang sama untuk menjauhi seseorang di luar kelompoknya yang dinilai salah oleh salah satu anggota mereka karena adanya keinginan solidaritas. 

Di kalangan dewasa, hal ini dipertajam lagi dengan adanya komunitas-komunitas yang mengharuskan mereka bertemu secara berkala. Contohnya komunitas pekerja, komunitas ibu-ibu pengajian, komunitas sosialita, arisan, komunitas club olahraga, atau hanya sekedar komunitas ramai-ramai tanpa tujuan namun terlihat selalu bersama. 

Kemudian semakin dipertajam dengan adanya media sosial yang juga menjangkau berbagai kalangan, yang menyebabkan kata "bestie" selalu digunakan dimana-mana dan terasa semakin terlihat dampaknya. 

Dalam istilah psikologi sosial, Brehm dan Kassin (dalam Suryanto dkk., 2012) mengatakan bahwa dalam kehidupan sosial ada sebuah fenomena yang dinamakan konformitas.

Brehm dan Kassin mendefinisikan konformitas sebagai proses kecenderungan individu untuk mengubah persepsi, opini, dan perilaku mereka sehingga sesuai atau konsisten dengan norma-norma kelompok. 

Dalam bahasa sehari-hari kata konformitas disebut juga ikut-ikutan, sehingga orang yang terlalu tinggi level konformitasnya sering juga disebut sebagai orang yang tidak punya pendirian. 

Kenapa seseorang sering terjerumus melakukan konformitas?

Salah satu penyebab paling kuat adalah keinginan untuk mengikuti mayoritas dan merasa takut terlihat berbeda.

Bordens & Horowist (2008) melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa seseorang cenderung untuk melakukan konformitas karena ingin terlihat sama dengan mayoritas dikarenakan perubahan asumsinya sendiri.

Alasan lain kenapa seseorang melakukan konformitas, karena sejatinya manusia memiliki keinginan untuk disukai dan dipuji, takut terhadap penolakan agar dapat diterima oleh kelompok sosialnya, dan keinginan untuk merasa benar sehingga mengikuti keputusan orang lain yang dirasa benar untuk agar dirinya juga dianggap benar (wardana Eka, 2021).

Kesimpulan yang bisa penulis ungkapkan yaitu kita sebagai individu sosial hendaknya dapat menyadarkan kembali dalam memilah kata "bestie" agar dapat berdampak positif, yaitu hanya sekadar agar terjalin keakraban yang akan membentuk budaya sosial yang nyaman serta toleran. 

Jangan sampai tren yang dianggap asyik justru akan menimbulkan kesenjangan dan sikap intoleransi terhadap sesama, utamanya dalam menghadapi kurikulum merdeka yang di dalamnya memiliki nilai utama yaitu profil pelajar pancasila, hendaknya kita memberikan teladan toleransi sebagai bagian dari amanat sila ketiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun