Dalam hal ini, penulis akan fokus pada dampak negatif dari penggunaan kata "bestie" yang populer. Dimana jangkauannya digunakan bukan hanya oleh kalangan remaja saja namun juga oleh kalangan dewasa yang menjadi benih dari budaya perkelompokan.
Melalui kata "bestie" ini dapat menjadikan sebuah perkumpulan (kelompok) akan semakin memperlihatkan dengan jelas identitasnya sebagai sebuah kelompok tertentu. Dapat dilihat dari ucapan yang disertai sikap yang ditunjukan dari manifiestasi kata "bestie" yang diucapkan.
Contohnya, saling menyapa diantara teman sekelompoknya dengan menggunakan kata "bestie" dan tidak untuk teman yang bukan kelompoknya. Dengan demikian ada semacam pemisah yang mereka bangun dalam lingkungan sosial.Â
Belum lagi sikap-sikap yang mengandung arti semacam penolakan terhadap anggota di luar kelompok yang disebabkan rasa nyaman dan ingin saling menjaga antar anggota kelompoknya sehingga enggan untuk menerima sesuatu yang baru.
Contohnya, sikap tidak mau digabungkan dalam kelompok yang lain dan menganggap remeh anggota di luar kelompok.
Contoh lain, membuat keputusan yang sama untuk menjauhi seseorang di luar kelompoknya yang dinilai salah oleh salah satu anggota mereka karena adanya keinginan solidaritas.Â
Di kalangan dewasa, hal ini dipertajam lagi dengan adanya komunitas-komunitas yang mengharuskan mereka bertemu secara berkala. Contohnya komunitas pekerja, komunitas ibu-ibu pengajian, komunitas sosialita, arisan, komunitas club olahraga, atau hanya sekedar komunitas ramai-ramai tanpa tujuan namun terlihat selalu bersama.Â
Kemudian semakin dipertajam dengan adanya media sosial yang juga menjangkau berbagai kalangan, yang menyebabkan kata "bestie" selalu digunakan dimana-mana dan terasa semakin terlihat dampaknya.Â
Dalam istilah psikologi sosial, Brehm dan Kassin (dalam Suryanto dkk., 2012) mengatakan bahwa dalam kehidupan sosial ada sebuah fenomena yang dinamakan konformitas.
Brehm dan Kassin mendefinisikan konformitas sebagai proses kecenderungan individu untuk mengubah persepsi, opini, dan perilaku mereka sehingga sesuai atau konsisten dengan norma-norma kelompok.Â
Dalam bahasa sehari-hari kata konformitas disebut juga ikut-ikutan, sehingga orang yang terlalu tinggi level konformitasnya sering juga disebut sebagai orang yang tidak punya pendirian.Â