Radius jangkauan pesanan yang terlalu luas juga menjadi beban tambahan bagi para pengemudi. Mereka seringkali diminta untuk mengambil pesanan yang jaraknya jauh dari lokasi mereka saat itu, tanpa jaminan mendapatkan pesanan lain di sekitar tujuan pengiriman. Hal ini tidak hanya menyita waktu dan bahan bakar, tetapi juga meningkatkan risiko kecelakaan.
Kurangnya transparansi dari pihak aplikator mengenai perubahan algoritma dan kebijakan baru semakin memperparah situasi. Pengemudi merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan seringkali hanya menerima informasi secara sepihak. Hal ini menimbulkan rasa ketidakpercayaan dan memicu konflik antara pengemudi dan platform.
Kemitraan atau Hubungan Kerja?
Mekanisme bagi hasil yang diterapkan dalam industri ojek online seringkali menjadi titik perdebatan sengit. Pihak perusahaan mengklaim bahwa para pengemudi adalah mitra kerja yang mandiri, memiliki kebebasan untuk bekerja kapan saja dan di mana saja. Namun, dalam praktiknya, banyak pengemudi merasa lebih seperti pekerja terikat yang harus mengikuti aturan dan target yang ditetapkan oleh perusahaan.
Perusahaan seringkali menekankan bahwa pembagian hasil yang diterapkan, misalnya 60:40, merupakan bentuk kerja sama yang adil. Namun, banyak pengemudi berpendapat bahwa pembagian tersebut tidak mencerminkan kontribusi mereka yang sebenarnya. Mereka harus menanggung seluruh biaya operasional kendaraan, termasuk bahan bakar, perawatan, dan pajak, sementara perusahaan menikmati keuntungan dari data pengguna dan teknologi yang mereka miliki.
Salah satu masalah utama adalah ketidakseimbangan kekuasaan antara perusahaan dan pengemudi. Perusahaan memiliki kendali penuh atas platform aplikasi, algoritma pembagian pesanan, dan penetapan tarif. Pengemudi, di sisi lain, hanya memiliki sedikit ruang untuk bernegosiasi dan seringkali merasa dipaksa untuk menerima kondisi yang ada.
Ketidakseimbangan dalam Sistem Kemitraan
Konsep kemitraan yang seharusnya memberikan kebebasan dan kesetaraan bagi kedua belah pihak, dalam praktiknya justru menciptakan hierarki yang tidak seimbang. Pengemudi seringkali dipaksa bekerja dalam kondisi yang kurang menguntungkan, seperti harus beroperasi pada jam-jam sibuk atau dalam cuaca buruk, hanya untuk memenuhi target pendapatan yang ditetapkan oleh perusahaan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah hubungan antara perusahaan dan pengemudi benar-benar bersifat kemitraan yang saling menguntungkan, atau lebih dekat dengan hubungan antara atasan dan bawahan? Ketidakpastian mengenai pembagian hasil dan kurangnya perlindungan sosial bagi para pengemudi semakin memperkuat anggapan bahwa mereka berada dalam posisi yang lemah dalam hubungan ini.
Ketidakseimbangan antara perusahaan dan driver tersebut mengakibatkan sejumlah isu yang serius. Sebagai mitra, driver ojek online seharusnya mendapat keistimewaan yang sama besar.
Belum lagi, sekalipun perusahaan memberikan kebebasan dalam setel ulang streaming, tidak ada jaminan bahwa driver tersebut benar-benar cukup "mampu" terhadap perusahaan tanpa mesti membangun waktu kerja tambahan. Beberapa driver merasa paksaan untuk bekerja di puncak jam dan cuaca buruk semata-mata untuk berkumpul uang yang cukup dan, bahkan kemudian, pembicaraan tersebut jauh tiada mencapai diskursus resi pembagian hasil mereka. Inilah yang mengakibatkan begitu banyak driver merasa terjebak dalam sebuah lingkungan di mana mereka dipaksa bekerja oleh sebuah perusahaan tanpa hak-hak sebagai gantinya (Pradana, 2024).